Kekeringan Melanda, Islam Siaga Menanganinya
Oleh: Hamnah B. Lin
Sebanyak 13 kabupaten di Jawa Timur dinyatakan siaga kekeringan. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah langganan kekeringan setiap tahunnya. Kalaksa BPBD Jatim Gatot Soebroto membeberkan ke-13 kabupaten itu yakni Bangkalan, Bojonegoro, Lamongan, Ponorogo, Jombang, Kabupaten Blitar, Bondowoso, Pacitan, Kabupaten Malang, Sampang, Pamekasan, Trenggalek, dan Gresik.
Gatot mengungkap khusus daerah Kabupaten Blitar statusnya sudah tanggap darurat kekeringan. Karena sudah ada beberapa titik yang dilaporkan kekeringan. Dia memaparkan berdasar data tahun 2023, kekeringan di Jatim melanda 23 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, 232 kecamatan dan 699 desa/kelurahan mengalami kering kritis ( DetikJatim, 10/7/2024 ).
Kekeringan akibat bencana hidrometeorologi memang bagian dari fenomena alam. Namun, minimnya langkah antisipasi dan mitigasi menyebabkan makin parahnya akibat yang dirasakan masyarakat, khususnya krisis mendapatkan air bersih.
Hanya saja, perlu kita pahami pula bahwa krisis air bersih bukan terjadi kali ini dan bukan disebabkan musim kemarau saja, melainkan merupakan problem tahunan yang berulang. Saat ini, bencana kekeringan menimbulkan akibat yang makin parah.
Kesulitan mendapatkan air bersih dan aman memang merupakan masalah kronis. Bukan hanya dialami masyarakat yang tinggal pedesaan atau daerah 3T, tetapi juga menjadi problem masyarakat perkotaan. Data BPS pada 2021 menyebut sebanyak 83.843 desa masih belum mendapatkan layanan air minum bersih. Dari jumlah itu, tercatat 47.915 desa/kelurahan di antaranya bahkan belum memiliki akses air minum bersih.
Sementara itu, pada 2035 nanti, ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia diperkirakan hanya akan tersisa 181.498 meter kubik yang berkurang jauh dibanding 2010 (265.420 meter kubik). Dengan penurunan ini, tentu makin besar jumlah penduduk yang bertambah sulit mendapat air bersih. Begitu pula pemenuhan akses air bersih melalui perpipaan yang saat ini baru terwujud sebesar 22%, menyebabkan ketimpangan masyarakat perkotaan mendapat air bersih.
Sayangnya, belum terlihat langkah serius dan pasti untuk mengatasi krisis air bersih ini. Terlihat dari terus berulangnya krisis, bahkan dengan intensitas yang lebih luas dan parah. Pemerintah lebih mengandalkan pada langkah kebijakan kuratif, seperti distribusi dan dropping air bersih pada daerah yang terkena kekeringan.
Indonesia merupakan negara terkaya ke-5 dalam ketersediaan air tawar, yaitu mencapai 2,83 triliun meter kubik per tahun. Dari jumlah besar ini, kuantitas air yang dimanfaatkan baru sekitar satu per tiganya, yaitu 222,6 miliar meter kubik dari 691 miliar meter kubik per tahun.
Untuk memanfaatkan potensi tersebut, diperlukan konsep pengelolaan yang benar serta pembangunan infrastruktur dengan teknologi terbaik. Sayang sekali, buruknya konsep tata kelola sumber daya air dan lingkungan menyebabkan sumber yang berlimpah ini tidak memberikan manfaat besar bagi rakyat sehingga jutaan rakyat harus merasakan krisis air bersih setiap tahunnya.
Hari ini, konsep pengelolaan air telah diatur oleh prinsip sekuler kapitalisme yang melahirkan kebijakan politik demokrasi neoliberal dan politik ekonomi kapitalistik. Paradigma kapitalisme neoliberal memosisikan air sebagai komoditas ekonomi. Akibatnya, air menjadi objek bisnis yang bisa dikelola siapa pun untuk mencari untung.
Akibat adanya privatisasi sumber - sumber air, maka masyarakat umum tidak bisa menggunakannya. Yang selanjutnya, masyarakat dipaksa membeli air dengan mahal dan kwalitas yang buruk. Bagi masyarakat yang tidak mampu membelinya, maka jelas mereka tak bisa mendapatkan air yang itu jelas sebuah kedzaliman penguasa.
Penguasa sendiri terkesan tidak serius, juga bertindak sebatas perantara antara rakyat dan pengusaha. Tidak ada tindakan tegas dan nyata untuk membela kepentingan rakyatnya. Justru lagi - lagi pengusaha yang terus dibela dan diuntungkan.
Hal ini sungguh akan jauh kondisinya, jika menjadikan Islam sistem yang diterapkan secara nyata. Penyelesaian krisis air bersih ini hanya akan teratasi dengan konsep Islam yang tampak dalam kebijakan politik dan ekonominya. Secara politik, Islam menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pengurus/penanggung jawab dan pelindung umat.
Rasulullah saw. bersabda,
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk itu, pemerintahlah yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyelesaikan seluruh kesulitan mereka. Tanggung jawab ini meniscayakan negara melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi ataupun mengatasi kesulitan air, mulai dari membiayai risetnya, pengembangan teknologi, hingga pengimplementasiannya untuk mengatasi masalah. Tanggung jawab ini harus dijalankan langsung oleh pemerintah, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi korporasi.
Pemerintah Islam juga akan menghentikan tindakan perusakan lingkungan walaupun atas nama pembangunan atau proyek strategis nasional. Dalam Islam, pembangunan harus berpijak pada landasan berikut,
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»
“Janganlah memberikan kemudaratan pada diri sendiri, dan jangan pula memudarati orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Terkait pengelolaan lingkungan yang mampu mengakhiri deforestasi dan industrialisasi yang masif. Pertama, Islam memandang bahwa hutan dan sumber daya air adalah bagian dari kepemilikan umum sehingga tidak diperbolehkan untuk dikuasai oleh individu. Statusnya sebagai kepemilikan umum ini, menetapkan bahwa harta tersebut harusnya dimanfaatkan secara bersama dan tidak boleh ada satu pihak yang menghalangi pihak lainnya untuk memanfaatkan.
Kedua, pengelolaan sumber daya kepemilikan umum harus dilakukan sepenuhnya oleh negara sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa imam adalah ibarat penggembala dan hanya ia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.
Ketiga, untuk memenuhi kebutuhan setiap individu rakyat atas air, maka negaralah yang berkewajiban mendistribusikannya dengan cara mendirikan industri air perpipaan sehingga seluruh individu rakyat bisa mengakses kebutuhan air secara mencukupi kapan pun dan di mana pun.
Pengelolaan ini tidak dilakukan dalam konteks mencari keuntungan, tetapi semata-mata untuk melayani kebutuhan rakyat. Negara juga wajib membangun berbagai macam infrastruktur penyediaan air untuk kebutuhan konsumsi, termasuk untuk sektor pertanian, misalnya pembangunan bendungan ataupun jaringan irigasi. Pembangunan ini, emata-mata untuk melayani kebutuhan rakyat sehingga tidak boleh berbisnis di dalamnya.
Wallahu a'lam.
Posting Komentar