-->

SELAMATKAN PEMUDA DARI ARUS DIGITAL

Oleh : Iin Indrawati

Sebagai bentuk komitmen terhadap peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk Regional 2 Jabotabek Jabar menyelenggarakan webinar bertajuk “Kiat Sukses Wujudkan SMK Unggul”. Webinar ini dihadiri oleh enam ratus peserta yang terdiri dari kepala sekolah, guru, hingga tim IT sekolah. 

Executive Vice President Telkom Regional 2, Edie Kurniawan, menekankan pentingnya kesiapan lulusan SMK dalam menghadapi perubahan yang terjadi di industri, terutama yang dipicu oleh otomatisasi dan digitalisasi (TribunJabar.id, 10/09/2024).

Digitalisasi dalam kapitalisme menyibukkan para pemuda atau pelajar untuk mengejar kepentingan materi saja hingga melupakan potensi hakiki mereka, yakni potensi intelektual sebagai generasi. Perkembangan ekonomi digital saat ini mendorong perusahaan untuk memanfaatkan teknologi dan mempekerjakan lebih banyak karyawan bertalenta teknologi dan cerdas. 

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, yaitu penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan usia tidak produktif. Bonus demografi yang melimpah, ditambah tingginya akses para pemuda dan pelajar terhadap internet, disasar sebagai pelaku utama yang akan mendorong sekaligus mendongkrak nilai ekonomi digital pada era digitalisasi. Posisi mereka hanyalah sebagai pengguna digitalisasi, sedangkan yang menjadi pengendalinya tetaplah negara adidaya yang kini menguasai banyak teknologi. 

Salah satu faktor penyebabnya adalah mekanisme pembangunan infrastruktur digital di negeri ini yang masih mengandalkan investor yang bersedia mendanainya. Tentunya, para pemodal akan mengambil keuntungan dari investasinya. Faktor lainnya adalah Indonesia melakukan privatisasi dan liberalisasi sumber daya alam yang memposisikan negara tidak lagi sebagai pemilik tunggal BUMN, melainkan pihak lain bebas berinvestasi di dalamnya. Faktor-faktor inilah yang makin menihilkan posisi Indonesia untuk menjadi pengendali ekonomi digital.

Pengarusan ide-ide sekuler dan liberal serta gaya hidup hedonis begitu mudah kita dapati melalui digitalisasi. Hal ini sangat berpotensi mengikis bahkan menghilangkan identitas para pemuda muslim, sehingga melupakan potensi hakiki mereka, yakni potensi intelektual sebagai generasi untuk membangun peradaban Islam.

Akibatnya, pemuda muslim makin lemah keimanannya kepada Allah SWT. Mereka bahkan menganggap syariat adalah beban atau menghalangi kesenangan yang mereka inginkan. Mereka insecure dengan identitas dirinya sebagai muslim, sehingga berdampak terhadap kurangnya perhatian untuk mengkaji/menuntut ilmu agama. 

Nilai materialistik dan lemahnya iman di era digitalisasi telah mengakibatkan pemuda atau pelajar hari ini rentan dengan penyakit mental. Gen-Z saat ini memang lebih rentan depresi. Berbagai tantangan dan persaingan yang semakin berat diduga menjadi penyebab utama mental Gen-Z dianggap lemah. Media sosial juga membuat mereka sibuk membandingkan diri dengan sosok-sosok “sempurna” yang diunggah di dunia maya.

Sesungguhnya, digitalisasi adalah produk peradaban yang bersifat universal. Tetapi, pengaruh arus digitalisasi sangat ditentukan oleh sistem yang diterapkan di suatu negara. Ini dikarenakan kebijakan dan prosedur dalam arus digitalisasi tidak terlepas dari kebijakan negara.

Dalam kehidupan kapitalistik yang menempatkan materi sebagai tujuan hidup, digitalisasi dipandang sebagai alat untuk mengejar materi semata. Dalam penggunaannya pun diterapkan prinsip kebebasan. Tidak heran jika berbagai perangkat digital hanya digunakan untuk mencari keuntungan dan kesenangan tanpa ada unsur keimanan. Padahal, teknologi ibarat pisau bermata dua, dapat bermanfaat dengan visi misi yang tepat atau mendatangkan bahaya jika dimanfaatkan dengan cara pandang yang salah. 

Dengan demikian, dalam memanfaatkan teknologi pada era digitalisasi, Islam mempunyai arahan agar hal tersebut dapat berguna bagi masyarakat tanpa melalaikan kewajiban untuk taat kepada Allah SWT, yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. 

Sistem pendidikan Islam berfokus pada pembentukan pola sikap dan pola pikir generasi agar sesuai dengan Islam. Dengan akidah yang kuat, peserta didik akan memiliki visi misi hidup yang berorientasi akhirat. Mereka mampu menilai dan menimbang aktivitas yang bermanfaat dan yang tidak. Terhadap perkara wajib dan sunah, mereka akan lebih mengutamakannya ketimbang perkara mubah. Selain itu, mereka akan mampu meninggalkan segala bentuk keharaman.

Di sisi lain, negara melakukan proteksi penuh dalam mewujudkan generasi unggul dan bertakwa. Negara hanya akan memberlakukan pemanfaatan teknologi yang mengandung unsur edukasi dan hal lain yang sifatnya positif.

Kemudian sistem sanksi Islam diberlakukan untuk memberikan hukuman kepada siapa pun yang melanggar syariat dan yang bertentangan dengan visi misi pendidikan Islam. Sanksi yang diberikan tentu memberikan efek jera bagi pelakunya. Perusahaan yang mengembangkan industri yang merusak akan diberi sanksi berupa takzir, yaitu sanksi berdasarkan ketentuan khalifah. Dengan pemberlakuan sistem sanksi Islam, setiap tindak kejahatan atau kemaksiatan tidak akan berkembang luas atau bebas seperti saat ini.

Negara akan memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia. Bahkan, negara akan mengembangkan teknologi ini dengan memberdayakan SDM yang mumpuni. Dengan visi misi yang tepat, teknologi akan menjadi salah satu mercusuar berkembangnya peradaban Islam yang mendunia.

Agar tidak tergerus arus digitalisasi yang merusak ini, para pemuda mesti berada dalam sebuah inkubator, yakni dakwah secara berjamaah. Pemuda atau pelajar harus paham tentang perlunya mengkaji Islam secara intensif untuk menyelamatkan diri, berdakwah untuk melawan perusakan, serta berada bersama jamaah agar memiliki lingkungan perjuangan. Aktivis dakwah Islam harus berupaya mengembalikan akal dan kesadaran mereka sebagai hamba Allah. 

Umat Islam harus bersatu membangun visi politik bersama dengan pemuda mewujudkan generasi khayru ummah. Umat harus mampu menggambarkan bahwa Islam adalah sebuah tawaran dan solusi, bukan beban.

Demikianlah, Islam memiliki cara pandang yang khas dalam membangun manusia. Islam juga tidak menutup diri dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi. Hanya saja, Islam memiliki pengaturan, pengontrolan, dan pengawasan dalam arus digitalisasi agar tidak terbawa dampak negatif yang ditimbulkan dari teknologi tersebut. Dengan sistem Islam (Khilafah), generasi terlindungi dari kerusakan dan dampak buruk arus digitalisasi.

Oleh karena itu, dibutuhkan peran negara dengan sistem sahih untuk memastikan arus digitalisasi berjalan tanpa merusak fitrah dan identitas generasi. Sudah saatnya generasi pemuda muslim menyadari hal ini dan segera melepaskan diri dari jebakan digitalisasi yang membajak potensi dan merusak identitas diri mereka, serta terlibat dalam perjuangan menghadirkan sistem Islam kaffah. 

Wallahu a’lam.