Acara LGBT Dibatalkan, Pemikiran LGBT Tetap Berjalan
Oleh : Riani Kusmala Dewi
Pada tanggal 26 September lalu, JP Club yang berlokasi di Mal Bekasi Junction mengumumkan rencana penyelenggaraan acara bertajuk Rising the Queen. Acara ini menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat karena dianggap erat kaitannya dengan kaum LGBT.
Berdasarkan informasi dari rakyatbekasi.com, 28 September 2024, Pejabat (PJ) Wali Kota Bekasi, Raden Gani Muhammad, merasa kecolongan dengan acara LGBT yang sempat ramai diperbincangkan di Kota Bekasi. Hal ini disebabkan oleh adanya tempat hiburan malam yang memfasilitasi kegiatan untuk kaum LGBT.
Reaksi keras pun berdatangan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari protes oleh ormas hingga desakan tokoh agama untuk membatalkan acara tersebut. Akhirnya, manajemen JP Club mengumumkan pembatalan acara sebagai respons atas protes yang tak terbendung. Namun, pertanyaan besarnya adalah, apakah pembatalan ini menyelesaikan permasalahan sampai ke akarnya?
Sekilas, pembatalan acara tersebut mungkin terlihat sebagai kemenangan masyarakat yang ingin menjaga nilai-nilai agama, moral, dan sosial. Namun, jika kita telaah lebih dalam, pembatalan ini hanyalah solusi semu yang tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya. Fenomena LGBT tidak hanya terbatas pada acara-acara yang bisa dibatalkan, tetapi lebih kepada paham dan pemikiran yang terus tersebar melalui berbagai cara dan media.
Melalui tayangan televisi, sering kali kita jumpai adegan atau karakter seseorang yang menampilkan gestur feminin pada diri laki-laki. Beberapa konten bahkan menonjolkan peran bias gender yang secara tidak langsung mendukung normalisasi LGBT dan agenda-agendanya. Dalam framing media, tokoh transgender mendapatkan tempat dan tepuk tangan para penonton karena dianggap lucu dan menghibur.
Selain itu, media sosial pun menjadi saluran utama bagi penyebaran ide-ide yang merusak ini. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube secara aktif mempromosikan konten yang menormalisasi LGBT, menganggapnya sebagai bagian dari kebebasan individu dalam mengekspresikan diri.
Bagi generasi muda yang masih dalam tahap pencarian jati diri, paparan konten seperti ini tanpa filter dan pengawasan orang tua sangatlah berbahaya. Mereka bisa dengan mudah terpengaruh dan menganggap normal sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan fitrah manusia. Apa yang sebelumnya dianggap buruk atau hina, dengan terus-menerus digulirkan dan dipromosikan, bisa saja berubah menjadi sesuatu yang diterima secara luas. Ini adalah bagian dari fenomena yang disebut normalisasi, di mana batasan moral semakin kabur seiring dengan seringnya suatu isu atau ide diperkenalkan.
Kasus Rising the Queen seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua bahwa pembatalan acara semacam ini tidaklah cukup untuk melenyapkan penyebaran ide LGBT. Masyarakat mungkin bisa berhasil menghentikan satu acara, tetapi gelombang informasi yang mendukung LGBT akan terus mengalir melalui berbagai jalur lain. Tanpa disadari, pemahaman ini sudah menyusup ke dalam setiap lapisan masyarakat, mulai dari gaya hidup hingga pemikiran.
Dengan kata lain, acara LGBT bisa saja dibatalkan, tetapi bibit pemikirannya tetap disuburkan melalui media yang lebih masif dan sulit dikendalikan. Televisi, film, internet, hingga platform streaming menawarkan akses mudah bagi siapa saja untuk menyerap ide-ide yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral bangsa. Di sinilah letak masalah yang sesungguhnya. Pembatalan acara hanya memberikan solusi sesaat, sedangkan gelombang normalisasi LGBT terus berkembang secara sistematis.
Inilah akibat dari diterapkannya ideologi kapitalisme dan liberalisme. Selama ideologi ini masih diterapkan di berbagai negara, kaum LGBT akan terus berlindung di balik tembok HAM, dengan dalih bahwa mereka berhak menentukan orientasi seksual yang mereka ingini dan yakini, tanpa peduli apakah hal itu melanggar norma agama dan kesehatan.
Mereka tidak peduli jika aktivitas tersebut menjadi sumber berbagai penyakit yang mengerikan, seperti HIV/AIDS, dan yang terbaru adalah mpox atau cacar monyet. Jika sudah menjadi penyakit, bukan mereka saja yang kesusahan, orang normal dan taat akan agama dan norma pun ikut kesusahan.
Untuk menghadapi gempuran ide LGBT ini, diperlukan pendekatan yang lebih mendalam dan jangka panjang. Islam, sebagai agama yang menjadi pedoman hidup mayoritas masyarakat di Indonesia, secara tegas menolak praktik LGBT karena pelakunya akan mendapat azab Allah yang pedih. Seperti firman Allah dalam Surah Hud ayat 82-83:
فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنْضُودٍ مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
Artinya: "Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim."
Maka dari itu, penting melihat masalah LGBT ini dari sudut pandang agama. Pendidikan dan kesadaran akan bahaya paham LGBT harus terus digalakkan, terutama di kalangan generasi muda. Pendekatan berbasis agama tidak hanya fokus pada menolak perilaku LGBT secara eksplisit, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga moralitas, menghormati kodrat, dan menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama. Dengan pemahaman yang benar, diharapkan masyarakat tidak hanya bereaksi terhadap acara-acara tertentu, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam tentang bahaya pemikiran yang diusung oleh kaum LGBT.
Selain itu, keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat juga harus berperan aktif dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sejak dini. Orang tua harus lebih waspada terhadap konten yang dikonsumsi anak-anak melalui televisi, media sosial, atau platform hiburan lainnya. Kesadaran akan pentingnya filter informasi di era digital sangatlah penting untuk mencegah generasi muda terjerumus dalam arus pemikiran yang menormalisasi LGBT.
Yang tak kalah penting adalah peran negara dan kebijakan yang berpihak pada moral bangsa. Di samping pendekatan agama dan keluarga, peran negara sebagai pembuat kebijakan sangat penting dalam menutup celah bagi penyebaran ide LGBT. Negara harus tegas dalam menegakkan aturan yang melindungi moralitas publik. Kebijakan yang membatasi ruang gerak bagi acara-acara LGBT, baik di dunia nyata maupun di dalam media, harus ditegakkan dengan tegas dan konsisten. Bahkan, pelaku LGBT seharusnya mendapatkan rehabilitasi dan hukuman yang tegas agar penularan ide-ide yang mereka usung tidak lagi mudah menyebar.
Sayangnya, selama kapitalisme menjadi sistem yang mendominasi kebijakan global, selalu ada celah bagi ide-ide liberal seperti LGBT untuk menyusup.
Dalam sistem kapitalisme, kebebasan individu sering kali ditempatkan di atas kepentingan moral dan agama. Selama sistem ini masih dominan, kebijakan yang benar-benar berpihak pada kemaslahatan umat di dunia dan akhirat hanya akan menjadi angan-angan. Oleh karena itu, reformasi sistem dalam arah yang lebih berpihak pada kepentingan moral umat adalah suatu keharusan. Selain itu, hukum yang jelas dan tegas mengenai perilaku LGBT harus ditegakkan, tidak hanya dalam bentuk hukuman, tetapi juga dalam upaya rehabilitasi dan edukasi.
Ilmu psikologi yang memandang LGBT sebagai penyimpangan yang bisa disembuhkan juga harus lebih banyak diperkenalkan kepada masyarakat. Manusia sudah Allah desain berpasang-pasangan agar dunia tetap berjalan sebagaimana mestinya. Negara, bersama masyarakat, harus berperan aktif dalam menutup setiap ruang yang memungkinkan berkembangnya pemikiran LGBT, baik di ranah publik maupun privat.
Pembatalan acara Rising the Queen hanyalah langkah kecil dalam menghadapi tantangan besar berupa penyebaran ide LGBT. Untuk benar-benar menangani masalah ini, kita tidak bisa hanya fokus pada acara-acara atau kegiatan fisik semata. Penyebaran ide harus dilawan dengan ide. Pemahaman yang benar mengenai LGBT, berdasarkan nilai-nilai agama dan moral bangsa, harus terus disosialisasikan. Dengan begitu, kita bisa menjaga generasi muda dari pengaruh ideologi yang bertentangan dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
Penting bagi kita untuk tetap waspada dan selalu aktif dalam melawan normalisasi LGBT, baik melalui media, pendidikan, maupun kebijakan negara. Hanya dengan menerapkan sistem Islam yang menyeluruhlah semua itu akan terealisasi, sebab Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Posting Komentar