-->

Daya Beli Masyarakat dalam Ancaman Deflasi: Apakah Kapitalisme Mampu Menjawab?

Oleh : Umma Almyra

Permintaan Bank Sentral Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% tampaknya menghadapi tantangan signifikan, terutama karena hampir semua sektor industri mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yang mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat. Situasi ini semakin diperparah oleh deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024, yang menunjukkan bahwa "masyarakat kelas pekerja tidak memiliki cukup uang untuk berbelanja," seperti yang diungkapkan oleh ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana (BBC.com, 4-10-2024).

Deflasi, penurunan harga barang dan jasa, mencerminkan realitas yang dihadapi masyarakat. Ketidakmampuan pemerintah mengatasi penurunan daya beli menunjukkan masalah dalam kebijakan ekonomi. Penurunan konsumsi rumah tangga, pilar pertumbuhan ekonomi Indonesia, berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Banyak keluarga terpaksa mengurangi belanja dan mengorbankan kebutuhan pokok untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Deflasi menjadi indikator ekonomi dan sinyal bahwa kehidupan masyarakat semakin tidak sejahtera.

Di dalam sistem kapitalisme yang mendominasi perekonomian dunia saat ini, deflasi berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, pendekatan yang ditawarkan oleh Islam melalui sistem ekonomi yang berfokus pada keadilan dan keseimbangan memberikan harapan untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Deflasi dan Implikasinya dalam Ekonomi Kapitalis

Deflasi merujuk pada penurunan harga barang dan jasa secara umum yang berlangsung dalam jangka panjang. Fenomena ini dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti penurunan permintaan di pasar, peningkatan efisiensi dalam proses produksi, atau kelebihan pasokan barang. Namun, dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui konsumsi dan investasi, deflasi menjadi sebuah ancaman yang signifikan.

Salah satu alasan mengapa deflasi dianggap berbahaya dalam konteks kapitalisme adalah dampaknya terhadap pola konsumsi dan investasi. Ketika harga barang terus menurun, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga akan terus turun. Hal ini mengakibatkan penurunan permintaan, yang selanjutnya memaksa produsen untuk mengurangi kapasitas produksi. Pengurangan ini sering kali menyebabkan pemutusan hubungan kerja, peningkatan angka pengangguran, dan penurunan pendapatan masyarakat. Siklus negatif ini dapat berulang, menciptakan lingkaran yang semakin memperburuk kondisi ekonomi.

Di sisi lain, dalam sistem kapitalis, banyak perusahaan dan individu bergantung pada pinjaman. Dalam situasi deflasi, nilai riil dari utang meningkat karena daya beli uang yang digunakan untuk melunasi utang menjadi lebih tinggi. Ini menyulitkan perusahaan dan individu untuk memenuhi kewajiban utang mereka, yang bisa berujung pada kebangkrutan dan krisis di sektor perbankan. Dengan demikian, deflasi tidak hanya mengurangi daya beli masyarakat, tetapi juga memperburuk ketidaksetaraan ekonomi yang sudah ada.

Salah satu contoh deflasi dalam sistem kapitalisme adalah krisis ekonomi yang melanda Jepang pada tahun 1990-an, yang dikenal sebagai "The Lost Decade." Setelah periode pertumbuhan pesat di tahun 1980-an, Jepang mengalami pecahnya gelembung aset yang mengakibatkan penurunan drastis harga properti dan saham. Deflasi yang berkepanjangan membuat konsumen menunda pembelian, sehingga permintaan menurun dan perusahaan mengurangi produksi serta melakukan pemutusan hubungan kerja. Meskipun suku bunga diturunkan untuk merangsang ekonomi, siklus deflasi sulit diatasi, dan dampak jangka panjangnya masih dirasakan hingga kini.

Dalam konteks kapitalisme, deflasi menjadi indikasi bahwa sistem ini tidak berjalan sebagaimana mestinya dan menunjukkan bagaimana kapitalisme lebih memprioritaskan keuntungan perusahaan ketimbang kesejahteraan masyarakat.

Penyebab Utama : Sistem Kapitalisme

Pada dasarnya, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang menekankan pada keuntungan dan persaingan. Sistem ini memberi kesempatan kepada individu dan perusahaan untuk mengejar kepentingan pribadi tanpa batasan yang ketat. Dalam proses ini, tujuan utama menjadi akumulasi kekayaan, sementara distribusi kekayaan seringkali terabaikan. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin melebar, dan saat terjadi krisis, seperti deflasi, ketidakadilan ini semakin nyata.

Salah satu kelemahan utama dari kapitalisme adalah ketergantungannya pada konsumsi yang terus-menerus untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketika konsumsi menurun, seperti dalam situasi deflasi, sistem ekonomi secara keseluruhan akan terganggu. Selain itu, kapitalisme sering kali tidak berhasil menciptakan kesejahteraan yang merata, karena kekayaan cenderung terpusat pada segelintir individu atau perusahaan besar. Akibatnya, mayoritas masyarakat menjadi terpinggirkan, terutama di masa-masa sulit seperti krisis ekonomi.

Kapitalisme juga menciptakan kesenjangan dalam akses terhadap sumber daya, di mana orang-orang kaya memiliki lebih banyak sumber daya, sedangkan mereka yang miskin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Dalam kondisi deflasi, orang-orang yang sudah berada dalam kesulitan akan semakin terpuruk, karena penurunan harga sering kali tidak diimbangi dengan penurunan biaya hidup yang penting, seperti utang dan biaya perawatan kesehatan.

Solusi dari Perspektif Islam

Implementasi sistem Islam secara menyeluruh akan memungkinkan tercapainya kesejahteraan bagi setiap individu. Sistem ekonomi Islam menetapkan sumber-sumber pendapatan negara, sehingga negara dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tanpa harus bergantung pada utang dan pajak, seperti yang terjadi di negara-negara kapitalis.

Islam memberikan pendekatan ekonomi yang berbeda dibandingkan dengan kapitalisme, dengan fokus pada keadilan, keseimbangan, dan distribusi kekayaan yang merata. Dalam pandangan Islam, deflasi dapat dihindari jika ekonomi dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip syariat yang melarang riba (bunga), mendorong zakat, dan menekankan pentingnya kepemilikan publik atas sumber daya alam yang vital.

Pertama-tama, Islam secara tegas melarang praktik riba, yang berarti sistem keuangan tidak akan terbebani oleh hutang yang melebihi kemampuan pembayaran. Dengan menghilangkan bunga, risiko meningkatnya utang dalam situasi deflasi dapat diminimalkan, sehingga menciptakan stabilitas ekonomi. Al-Qur’an menegaskan larangan riba, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Baqarah ayat 275, yang menyatakan bahwa “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”

Selanjutnya, sistem zakat dalam Islam memiliki tujuan untuk mendistribusikan kekayaan dari orang-orang kaya kepada mereka yang kurang mampu, sehingga keseimbangan sosial dapat terwujud. Zakat bukan sekadar kewajiban ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai alat ekonomi yang efektif untuk mengurangi kesenjangan sosial dan mendukung masyarakat dalam menghadapi masa sulit. Dengan adanya distribusi kekayaan yang adil, daya beli masyarakat dapat lebih terjaga, dan kondisi ekstrim seperti deflasi dapat ditanggulangi.

Islam juga menyoroti pentingnya kepemilikan publik atas sumber daya esensial, seperti air, energi, dan lahan pertanian. Hal ini bertujuan untuk mencegah privatisasi yang berlebihan dan memastikan bahwa sumber daya tersebut dapat diakses oleh seluruh masyarakat, alih-alih hanya oleh segelintir individu kaya. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam lebih mengedepankan kesejahteraan bersama dibandingkan dengan fokus pada keuntungan pribadi semata.

Akhirnya, Islam menjamin kebutuhan pokok bagi masyarakat agar dapat terpenuhi dan diakses baik secara langsung maupun tidak langsung. Layanan yang dimaksud mencakup pendidikan dan kesehatan, yang seharusnya dapat dinikmati oleh setiap individu dalam masyarakat tanpa harus terbebani oleh biaya yang tinggi.

Wallahu A'lam bish-shawab