-->

DPR, Wakil Rakyat Atau Oligarki?

Oleh : Fitriyah Agustina (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakiln rakyat telah dilantik untuk masa bakti 2024/2029, yang terpilih dalam pemilu Februari kemarin. Mereka akan menjalankan tugas 5 tahun kedepan. Mereka akan siap bertugas sebagai badan legislatif yaitu bersama sama pemerintah membuat Undang Undang serta menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Untuk hal inilah mereka dipilih rakyat dalam pesta demokrasi 5 tahun sekali.

Rakyat mempunyai harapan ada wakilnya yang mewakili dalam menyampaikan keinginan atau aspirasinya kepada pemerintah. Sehingga ketika DPR akan membuat undang undang atau aturan-aturan sesuai keinginan rakyat. Semua apa yang dikehendaki oleh rakyat, akan tersalurkan melalui wakil mereka yang duduk di DPR. Namun apa yang terjadi jika para wakil rakyat yang mereka pilih ternyata syarat akan kepentingan pribadi. Mereka lebih mementingkan kepentingan parpol yang mengusung, bahkan mereka tersandera kepentingan politik.

Sejumlah wakil rakyat ternyata diketahui memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik hingga sesama anggota DPR, seperti suami istri, memiliki hubungan keponakan, anak, dan lain-lain. Hubungan dengan pejabat publik paling banyak ditemui. Caleg terpilih ada yang merupakan anak pejabat. Misal anak anggota DPR atau mantan anggota, gubernur atau mantan gubernur, bupati walikota dan lain lain. Keadaan ini kian sangat mengkhawatirkan karena akan mengganggu kinerja para wakil rakyat. Kredibilitas kerja mereka dipertaruhkan, karena syarat kepentingan. Senayan tempat para wakil rakyat berkumpul laksana tempat reuni keluarga.

Temuan ini misalnya tercermin dalam hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Mereka mencatat, sedikitnya 79 dari total 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 terindikasi dinasti politik atau punya kekerabatan dengan pejabat publik (tirto.id 2/10/2024). Kalau sudah seperti ini maka akan mempengaruhi kinerja mereka di dewan. Mereka akan dengan mudah mengamankan berbagai kebijakan elite atau bahkan berbagai kebijakan ekskutif. Maka tugas mereka sebagai wakil dari rakyat hanya lah formalitas saja tanpa ada aksi nyata.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Anisa Alfath, menegaskan politik kekerabatan atau nepotisme politik di DPR dapat mempengaruhi kinerja dan integritas lembaga legislatif ini. Mereka cenderung berpotensi mengadopsi pandangan dan kebijakan yang sejalan dengan keluarga atau kelompok tertentu. "Hal ini dapat membatasi diversitas ide dan inovasi dalam kebijakan publik yang seharusnya dihasilkan dari debat sehat di dalam parlemen," kata Anisa kepada reporter Tirto, Selasa ( 1/10/2024).

Hasil pemilu periode ini bisa dikatakan tidak ada pihak oposisi terhadap pemerintah, semua ada dalam satu koalisi pemerintah. Banyak pihak yang senang dan mendukung bila semua berkoalisi dengan pemerintah, dengan alasan akan mempermudah pemerintah dalam mengatur tanpa ada pihak yang menolak. Padahal oposisi sangat dibutuhkan untuk memberikan pertimbangan kepada pemerintah.

Apalagi kita ketahui pemerintah di negara sekuler kapitalisme lebih banyak dikendalikan oleh para oligarki. Para pemilik modal lah yang lebih berkuasa dari pemerintah. Politik transaksional memang sudah mendarah daging di negeri ini dan negeri negeri kapitalisme. Para pemilik modal bisa mengendalikan pemerintahan. Kebijakan kebijakan yang di keluarkan oleh legislatif yakni DPR dan ekskutif yakni pemerintah akan berpihak kepada mereka para oligarki. Kepentingan rakyat dan aspirasi aspirasiny kalah dengan kepentingàn politik, kepentingan pribadi para dewan. Rakyat terabaikan, kepentingannya teracuhkan. Semua wakil rakyat satu suara dalam koalisi pemerintah.

Dalam sistem Ini, sistem demokrasi kapitalisme wakil rakyat atau DPR biasanya terpilih bukan karena kapabilitasnya. Mereka terpilih lebih karena jabatan, kekayaan, atau karena adanya hubungan kekeluargaan. Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya politik transaksional adalah karena pendapatan sebagian besar rakyat rendah sehingga dimanfaatkan sebagian para pilitisi untuk meraup suara dengan mengiming imingi mereka dengan sejumlah uang atau jual beli suara.
      
Dalam politik transaksional rawan juga terjadi jual beli hukum oleh penegak hukum. Sehingga hukum dibuat atas permintaan. Tidak heran jika para anggota dewan juga melakukan hal yang sama dengan membuat undang undang sesuai pesanan atau melegalisasi Undang Undang yang tidak berpihak pada rakyat bahkan Undang Undang yang dapat merusak aqidah umat.

Jika sudah seperti ini maka solusinya tidak cukup hanya dengan para pemimpin, wakil rakyat dan para penegak hukum yang kompenten dan berwibawa. Politik dinasti dan politik transaksional melibatkan semua pilar demokrasi. Maka solusi yang paling tepat adalah refolusi secara sistematis dan menyeluruh, yakni kembali kepada sistem Islam. Seharusnya umat islam sadar inilah kedholiman yang terjadi jika sistem batil bernama demokrasi kapitalisme dipilih sebagai sistem pemerintahan. Dimana wakil rakyat sebagai raa'iin ( pengurus) tidak akan pernah lahir dari sistem buatan manusia. Dalam Islam memiliki aturan tentang wakil rakyat yang mana sangat berbeda jauh dengan wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme.

Dalam sistem Islam khilafah atau Negara Islam ada strukstur bernama Majelis Umat yang beranggotakan wakil kaum muslim dalam memberikan pendapat dan menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah pada para pejabat pemerintahan (al-hukkam). Mereka disebut "Majelis Umat" karena merupakan wakil umat dalam melakukan muhasabah( koreksi dan kontrol) dan syura (musyawarah).

Keberadaan Majelis Umat berbeda dengan perlemen atau DPR dalam sistem demokrasi. Parlemen mempunyai wewenang untuk mengatur anggaran dan membuat undang undang. Dalam Khilafah, Majelis Umat tidak mengatur anggaran karena wewenang baitul mal, dan bukan juga pembuat undang undang tapi tabani (adopsi) hukum dari Al Quran dan Al Hadist.

Keberadaan Majelis Umat diambil dari pengkhususan Rasulullah SAW terhadap 14 orang pemimpin yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin untuk menjadi tempat rujukan dan meminta masukan dalam berbagai persoalan. Ada juga beberapa sahabat beliau yang dimintai pendapat diantaranya Abu Bakar, Umar bin Khotab, Hamzah bin Abdul Muntholib, Ali bin Abi Tholib, Salman Alfarisi, dan Hudzaifah. 

Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilihan umum, bukan dengan penunjukan atau pengangkatan. Karena mereka mewakili semua rakyat dalam menyampaikan pendapat. Sedangkan seorang wakil hanya akan dipilih oleh orang yang akan mewakilkan. Karena anggota Majelis Umat merupakan wakil semua orang dalam menyampaikan pendapat baik secara pribadi maupun kolektif.

Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan apabila telah baligh maka memiliki hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Dia juga mempunyai hak untuk memilih anggota Majelis Umat, baik pria maupun wanita, muslim maupun non muslim. Karena Majelis Umat merupakan wakil umat dalam menyampaikan pendapat. Majelis Umat tidak mempunyai wewenang untuk memerintah dan membuat aturan.

Majelis Umat memiliki wewenang
1. Memberikan masukan kepada Khalifah, dalam masalah - masalah yang tidak memerlukan penelitiandan analisis semisal pemrintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, industri, pertanian, dan bersifat mengikat.
2. Dalam hal masalah yang memerlukan penelitian dan analisis Khalifah berhak merujuk kepada majelis untuk meminta pendapatnya dan ini sifatnya tidak mengikat.
3. Majelis Umat mempunyai hak untuk mengorekai Khalifah. Bika terjadi perbedaan antar Majelis dan Khalifah, maka dalam hal ini harus diserahkan kepada Mahkamah Madhalim untuk memastikan kesesuaian dengan hukum syara'.
4. Majelis Umat berhak untuk menampakkan ketidaksukaannya terhadap mu'win (pembantu khalifah), wali (gubernur),dan amil (kepala daerah).
5. Majelis Umat juga berhak untuk membatasi calon yang akan menjadi Khalifah.
     
Dengan demikian tanpa jelas bahwa wakil rakyat dalam Sistem Islam hanya bertugas untuk menyampaikan aspirasi dan tidak mempunyai wewenang dalam membuat aturan atau undang undang. Karena satu satunya dzat yang berhak untuk membuat hukum hanyalah otoritas sang Khaliq Allah 'azza wajallah. Manusia yang menjalankan aturan tersebut. 

Jika kita taat akan syariat Allah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk syariat tentang wakil rakyat maka pilitik dinasti, politik transaksional atau apapun itu yang dapat merugikan rakyat tidak akan terjadi. Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada Syariat Islam secara kaffah yang sudah terbukti memiliki maslahat buat manusia. Hal ini karena wakil rakyat yang berada dalam kehidupan Sistem Islam mereka akan menjalankan tugaskan semata-mata mencari keridhaan Allah yakni ri'ayatul su'unil umah (pelayanan kepada rakyat). 

Wallahu a'lambishowab.