-->

DPR Wakil Rakyat, Rakyat yang Mana?

Oleh : Alimatul Mufida (Pelajar)

Dikutip dari Tirto.id Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi dilantik untuk masa bakti periode 2024-2029. Lima tahun ke depan, ratusan anggota dewan diharapkan mampu untuk berpihak dan mewakili kepentingan rakyat dari seluruh lapisan masyarakat. DPR tidak boleh tunduk dan tersandera oleh kepentingan parpol, elite politik, kekuasaan eksekutif, apalagi menjadi anggota DPR RI hanya demi meraup keuntungan pribadi dan memperkaya diri. Namun, harapan itu kelihatannya butuh upaya ekstra dan pembuktian nyata dari DPR. Pasalnya, politik dinasti diduga masih kental melekat pada DPR periode 2024-2029. Sejumlah anggota DPR terpilih diketahui memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan pejabat publik, elite politik, hingga sesama anggota DPR terpilih lainnya. Belum lagi kebijakan yang lahir kian mencekik rakyat. 

Katanya wakil rakyat, tetapi banyak sekali aturan yang lahir justru tidak berpihak kepada rakyat, mulai dari UU KPK yang dinilai melemahkan KPK itu sendiri dan justru melanggengkan persoalan korupsi di negeri ini. UU Cipta kerja tetap melenggang menjadi undang-undang walaupun diwarnai penolakan. Pada akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetap mengetuk palu tanda disahkannya perppu itu menjadi Undang-undang yang memuat ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah sesuai putusan MK No.60/PUU-XXII/2024. Parpol atau gabungan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon kepala daerah. Dan masih banyak lagi aturan-aturan yang lahir disertai polemik di berbagai kalangan masyarakat. Kalaulah demikian, lantas DPR ini bertugas untuk mewakili rakyat yang mana?

Anggota DPR seharusnya merepresentasikan rakyat karena dipilih oleh rakyat dalam mewakilkan aspirasi. Seluruh kebijakan yang diputuskan harusnya juga berpihak kepada rakyat. Termasuk dalam proses pembuatan aturan dan undang-undang. Namun, realitanya kebijakan yang lahir tak pernah berpihak pada rakyat. Justru para pengusaha besar yang banyak diuntungkan, sehingga seluruh aturan yang lahir rawan dengan konflik kepentingan.  Apalagi diimbangi dengan keabsenan oposisi, semua kompak menjadi koalisi. Lantas, siapa yang  berpihak pada rakyat kalau semua berada dalam satu barisan? 

Jika demikian maka tak ada lagi istilah wakil rakyat, yang ada hanyalah pembela kepentingan oligarki. Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilihan umum saja,  setelah itu terabaikan dan tak mampu melawan. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, tetapi karena ketenaran, kekayaan atau seberapa dekatnya dengan kerabat maupun pejabat. 

Prosedur pemilihan dewan perwakilan rakyat saat ini diwarnai oleh mekanisme politik transaksional, sangat bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam terdapat dewan yang mewakili rakyat yaitu Majelis ummah. Majelis ummah memberikan wadah dalam menjaring aspirasi rakyat, dipilih oleh rakyat karena merupakan representasi dari umat.  Memiliki tugas dalam menyampaikan aspirasi, tetapi tidak memiliki wewenang dalam membuat aturan. Karena aturan hanya bersumber dari Al-Quran, sunnah, ijma, dan qiyas. Semuanya merupakan wahyu yang turun dari Allah melalui Rasulullah dengan perantara malaikat Jibril. Oleh karena itu, seluruh aturan yang diterapkan pun akan mensejahterakan seluruh alam. Wallahu a'lam bis shawwab. []