-->

Drama Pilkada: Ketika Rakyat Jadi Korban Pesta Demokrasi

Oleh : Henise

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam sistem demokrasi seringkali diwarnai dengan kisruh dan berbagai masalah. Meskipun Pilkada digagas sebagai ajang rakyat memilih pemimpin secara langsung, pada praktiknya, rakyat sering kali menjadi pihak yang dirugikan. Persaingan antar calon yang ketat hingga manipulasi aturan oleh pihak-pihak yang berkuasa menunjukkan kelemahan mendasar dalam proses Pilkada yang seharusnya demokratis.

Kisruh Pilkada dalam Sistem Demokrasi

Pada beberapa kasus, perubahan aturan dalam Pilkada, seperti revisi undang-undang dan pembatasan usia calon kepala daerah, dilakukan tanpa mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya bersifat mengikat. Upaya-upaya ini sering kali dilakukan oleh DPR dan partai politik dengan tujuan mempertahankan kekuasaan dan menyulitkan partai-partai kecil untuk mencalonkan kandidat. Akibatnya, muncul persepsi bahwa Pilkada telah diselewengkan menjadi alat bagi elit politik untuk memperkokoh posisinya, sementara aspirasi rakyat justru termarjinalkan.

Di sisi lain, muncul fenomena "koalisi gemuk" dalam Pilkada, di mana berbagai partai politik bersatu untuk mendukung satu calon tertentu. Ini menyebabkan terjadinya kontestasi yang tidak seimbang, seperti kotak kosong yang menguntungkan calon tunggal. Fenomena ini membuat Pilkada menjadi semakin tidak demokratis, karena pilihan rakyat semakin terbatas pada satu calon yang dominan atau calon independen yang kurang berdaya.

Pilkada dan Korupsi Politik

Persaingan sengit dalam Pilkada sering kali memicu praktik-praktik korupsi politik. Untuk memenangkan kontestasi, tidak jarang para calon kepala daerah mengandalkan dana besar dari pihak ketiga, termasuk dari kalangan pebisnis yang memiliki kepentingan tertentu. Setelah memenangkan Pilkada, kepentingan masyarakat sering kali diabaikan dan digantikan dengan agenda para penyokong dana kampanye. Hal ini merugikan rakyat karena para pemimpin yang terpilih cenderung lebih mementingkan kepentingan segelintir pihak daripada kebutuhan masyarakat luas.

Islam sebagai Solusi dalam Pemilihan Pemimpin

Dalam Islam, konsep kepemimpinan dan pemilihan pemimpin sangat berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis. Pemilihan pemimpin dalam Islam dilakukan dengan tujuan mencari sosok yang benar-benar dapat menegakkan syariat, bukan sekadar memenangkan kontestasi politik. Pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria keadilan, kejujuran, dan memiliki visi untuk menyejahterakan rakyat secara merata.

Sistem Islam juga tidak mengharuskan masyarakat memilih dalam kontestasi yang dipenuhi dengan kepentingan kapitalis. Pemilihan pemimpin dilakukan melalui musyawarah yang murni bertujuan mencari kandidat terbaik tanpa intervensi pihak-pihak yang berkepentingan secara ekonomi atau politik. Dengan demikian, kekisruhan yang sering terjadi dalam Pilkada modern dapat dihindari karena pemimpin yang terpilih benar-benar memiliki komitmen untuk melayani umat.

Kesimpulan

Kisruh Pilkada yang berulang dalam sistem demokrasi menunjukkan kelemahan struktural dalam proses pemilihan kepala daerah yang berbasis kapitalisme. Demokrasi dengan segala intrik politik dan kepentingan elit kerap menjadikan rakyat hanya sebagai objek politik. Sebagai alternatif, sistem Islam menawarkan solusi pemilihan pemimpin yang lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Dengan menerapkan prinsip Islam dalam pemilihan pemimpin, diharapkan rakyat akan mendapatkan pemimpin yang jujur, adil, dan bertanggung jawab atas amanah yang diberikan.

Wallahu a'lam