-->

Harga Beras Melangit, Petani Menjerit?

Oleh : Dewi Rachmawati

Menurut utusan Bank Dunia untuk wilayah Indonesia dan Timor Leste Carolyn Turk, harga beras di Indonesia 20% lebih mahal dibanding harga beras di dunia bahkan tertinggi di kawasan ASEAN. 

Memang polemik tingginya harga beras di negri ini belum tuntas. Bahkan beras saat ini seperti makanan mahal karena harganya yang terus meroket.
Menurut Carolyn utusan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, hal itu dipengaruhi oleh beberapa hal.

Diantaranya adalah adanya pembatasan impor, tingginya biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif.
Namun di sisi lain kenaikan harga beras tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani beras. Berdasar hasil survey BPS mencatat pendapatan petani beras hanya 1 dolar per hari atau setara dengan Rp 15.199 atau 5,2 juta per tahun (https://muslimahnews.net/2024/09/25/32259). 

Tingginya harga beras yang tidak sebanding dengan penghasilan dan kesejahteraan petani dipengaruhi beberapa faktor. Diantaranya:
1. Mahalnya biaya produksi. 
Ibaratnya besar pasak daripada tiang. Biaya yang dikeluarkan lebih tinggi dibanding pendapatan yang diterima petani. Dapat dikatakan pemerintah belum serius berupaya menyejahterakan petani baik dari aspek pendapatan maupun peningkatan kualitas pangan dengan sarana dan prasarana yang memadai.

2. Masalah rantai distribusi beras yang panjang sehingga harga beras di tingkat konsumen tidak mencerminkan pendapatan yang diperoleh petani. Misal beras petani dibeli tengkulak kemudian ke distributor dijual lagi hingga ke tangan konsumen terakhir dengan harga yang tinggi. Tengkulak, distributor dan penjual mendapat keuntungan tinggi sementara petani gigit jari.
Apalagi sistem tengkulak masih marak di masyarakat. Tengkulak bisa memainkan harga ke petani karena mereka membeli gabah saat belum panen. Kembali petani yang menjadi korban. 

3. Sektor pertanian dikuasai oligarki dari hulu hingga hilir. Petani kecil dengan teknologi seadanya akan bersaing dengan oligarki dengan lahan berhektar-hektar dan teknologi pertanian yang canggih.
Juga sempitnya lahan pertanian yang dimiliki oleh petani tradisional akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani tersebut. Banyak petani rugi ketika menggarap lahannya sehingga banyak diantara mereka yang memilih untuk menjual sawahnya pada para pemilik modal. Dan kebanyakan pemilik modal tidak menggunakan tanah tersebut sebagai lahan pertanian untuk produksi bahan pangan.

4. Meningkatnya harga beras karena impor beras yang dibatasi oleh pemerintah. Memang kebijakan impor bukanlah kebijakan yang tepat. Karena ketika impor tidak dibatasi, harga beras bisa terkendali tapi petani tetap merugi karena harga beras impor lebih murah dibanding harga beras lokal.

Namun kebijakan impor beras ini bukanlah solusi terbaik karena dengan adanya impor beras akan semakin menjauhkan negri ini dari kemandirian pangan. Selain itu akan membebankan APBN yang akan membuat negara tekor sementara negara pengimpor beras untung banyak. 

Juga dengan adanya kebijakan impor membuat negri ini makin tidak berdaulat terhadap ketahanan pangan. Bahkan negri yang luas dan subur tanahnya ini malah menjadi negri pengimpor beras sementara lahan pertaniannya disulap menjadi gedung-gedung, industri, pariwisata dan sebagainya. Keseimbangan alam terganggu, komoditas pertanian terancam dan petani pun kian suram.

Dari fakta diatas, menjadi bukti negri ini menerapkan sistem kapitalis sekuler. Dalam sistem kapitalis, negara atau pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bukan pengurus urusan rakyat. Dan solusi yang diberikan masih dalam tataran teknis sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah dengan tuntas hingga ke akar masalahnya. 
Masalah pangan bukan hanya pada tersedianya bahan pangan namun juga berkaitan erat dengan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan visi politik. Yang terjadi saat ini pemerintah abai dalam menjaga lahan pertanian dengan pembiaran beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi industri dan sebagainya.

Islam mengatur sistem ketahanan pangan. Dalam pandangan Islam, pangan termasuk masalah krusial sehingga akan mendapat perhatian yang besar dari negara. Negara akan memberi subsidi pada petani supaya mereka bisa mendapatkan hasil yang besar yang itu akan berdampak pada kesejahteraan rakyatnya.

Negara akan mendorong putra putri terbaiknya untuk menghasilkan teknologi pertanian yang canggih, bibit unggul, juga sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Negara akan memberi modal yang diambil dari Baitul mal untuk petani yang kesulitan modal untuk menggarap lahannya.

Dalam Islam, barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka dia berhak memiliki tanah tersebut.
Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." 
(HR Bukhori, Tirmidzi dan Abu Dawud)

Negara akan mengambil tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama 3 tahun berturut-turut dan diberikan pada orang yang mampu mengelolanya. Sehingga tidak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan tanpa dikelola dan dimanfaatkan.

Islam juga punya mekanisme pasar yang baik dan sehat. Islam melarang penimbunan, penipuan, monopoli, mematok harga juga praktek ribawi.