Huru-Hara Kabinet Merah Putih: Bentuk Nyata Politik Kepentingan
Oleh : apt. Ainani Tajriyani, S.Farm.
Belum genap tiga puluh hari sejak dikukuhkannya kekuasaan baru Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, berbagai kontroversi muncul dari jajaran elit kementerian hingga menuai kecaman masyarakat.
Suko Widodo, pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga dalam BBC.com (25/10/2024) menangkap kesan “ingin tampil dan dilihat” dari para pemangku kebijakan baru.
Misalnya pada ucapan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan. Yusril menyatakan bahwa tragedi 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat. Ia menyandingkan kekerasan HAM berat dengan aktivitas genosida. Padahal aksi kamisan yang diperingati para keluarga korban sudah bergulir ratusan pekan tanpa mendapat jawaban keadilan. Tentulah pernyataan Yusril memicu prasangka buruk, seolah-olah Yusril melindungi citra presiden terpilih yang terindikasi terlibat dalam tragedi 1998.
Belum lagi rekam jejak kotor para menteri. Ario Bimo Nandito (Menteri Pemuda dan Olahraga) dengan dugaan kasus korupsi senilai 27 miliar pada proyek pembangunan menara pemancar komunikasi. Airlangga Hartanto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) dengan kasus korupsi ekspor sawit yang merugikan negara hingga 6,47 triliun. Atau yang terbaru, teka-teki gelar honoris causa (HC) yang diterima pesohor negeri, Raffi Ahmad, yang kini menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni.
Sesungguhnya fakta bobrok yang terindera dari para pemangku kekuasaan bukanlah hal baru. Masyarakat sudah jemu menggantungkan harapan dari satu muka ke muka baru. Meski roda investasi dan pembangunan infrastruktur seolah berputar cepat mendorong perkembangan negeri, itu hanyalah oase di tengah gersangnya kesejahteraan, dan fananya keadilan. Tidak pernah ada perbaikan taraf hidup bagi masyarakat. Pendapatan per kapita yang katanya terus meningkat di Indonesia hanya bersumber dari kekayaan segelitir pemangku modal. Nilai itu tidak akan bisa menafsirkan nasib baik setiap individu di negeri kita tercinta ini. Si kaya tetap kaya, bahkan semakin kaya. Si miskin tetap bergumul dengan kemiskinan tak bertepi.
Apa alasan yang mendorong seseorang menjadi pejabat di negeri ini? Apakah murni karena kemampuan mereka dalam mengelola negara? Tidak. Sistem demokrasi telah menyediakan banyak kursi kekuasaan untuk orang-orang nirkompeten. Apalah arti rentetan gelar para penguasa, bila alasan yang mendasari mereka merengkuh pangku kekuasaan adalah asas kepentingan dan materialis. Sebuah ironi, yang sudah lama kita nikmati.
Siapa tak kenal, maka Ia tak sayang. Peribahasa masyhur itu ternyata berlaku saat bagi-bagi kue kekuasaan. Bagi mereka yang kenal baik, mendukung, mendanai, tentulah akan mudah untuk mendekat pada kekuasaan. Bukankah sudah sering kita melihat teman menjadi lawan, dan lawan menjadi teman dalam permainan demokrasi? Fufufafa dengan cemoohannya kepada Prabowo Subianto, kini fotonya terpampang di seluruh sekolah dan instansi pemerintahan, berdampingan.
Lantas, pada siapa masyarakat bisa menggantungkan harapan?
Penerapan Islam dalam Bernegara Menghasilkan Pelayan Masyarakat Sesungguhnya
Islam bukan hanya sebuah agama. Islam adalah aturan hidup yang sempurna. Ia mengatur mulai dari bangun tidur (kepentingan individu) sampai membangun negara (kepentingan bersama). Itulah mengapa Islam pernah menjadi negara adikuasa selama 1400 tahun lebih, melampaui kekuasan negeri-negeri barat. Rasulullah SAW membangun dan menata negara berlandaskan Islam sejak hijrah ke Madinah, sampai keruntuhannya di Turki Ustmani pada 3 Maret 1924.
Dalam tata negara Islam, terdapat posisi qadhi. Qadhi bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah antar manusia berlandaskan hukum dari Allah selaku pencipta manusia. Peran qadhi tidak hanya untuk menyelesaikan masalah sesame rakyat, namun juga antara rakyat dengan penguasa. Qadhi mendukung kepala negara Islam (Khalifah) agar penerapan Islam berjalan dengan benar di dalam negeri. Qadhi adalah wajah baru dari kementrian demokrasi yang busuk.
1. Qadhi Al-Khusumat : Berfungsi menyelesaikan persengketaan yang terjadi di tengah masyarakat, dan bertanggung jawab menegakkan sanksi atas kesalahan atau kejahatan berlandaskan aturan Allah Ta’ala.
2. Qadhi Al-Hisbah : Berfungsi mengontrol penerapan amar makruf nahi mungkar di tempat-tempat umum. Misalnya mencegah tindakan licik di pasar yang merugikan banyak orang, mengawasi adab masyarakat dalam berkehidupan, mencegah pembegalan atau hal tidak aman, dan lainnya. Qadhi ini juga menetapkan vonis atas suatu penyimpangan berdasarkan aturan Allah Ta’ala.
3. Qadhi Al-Madzalim : Berfungsi menyelesaikan perselisihan antara rakyat dengan negara, baik itu rakyat dengan kepala negara atau perangkatnya. Qadhi ini berhak memecat kepala negara (khalifah) jika kepala negara melakukan pelanggaran berat. Standar pelanggaran adalah aturan dari Allah Ta’ala.
Tidak berhenti pada para qadhi, Islam menjabarkan syarat yang jelas tentang kriteria pemimpin dalam Islam. Ini berlaku dalam menentukan kepala negara dan perangkatnya.
Dalam Kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah karya Imam Al-Mawardi kriteria yang wajib ada pada seorang pemimpin adalah muslim, laki-laki (pada posisi tertentu yang berkaitan dengan keputusan penting negara, misal kepala negara, qadhi mazalm. Adapun Perempuan dalam Islam tetap memiliki kesempatan untuk mengepalai bagian-bagian lainnya), balig, Merdeka (tidak dibawah kekuasaan pihak lain), adil (bukan ahli maksiat), dan mempunyia kapasitas untuk memimpin (misalnya pemahaman luas tentang geopolitik, fasih berbahasa asing, sifat leadership kuat, dan standar umum lainnya yang tidak keluar dari aturan Islam.)
Pemimpin yang secara pribadi tampak santun, berwawasan, bijaksana, cerdas, jiwa pemimpinnya bagus, gelar pendidikannya panjang, dan apapun faktor pendukung lainnya, bukanlah acuan untuk menjadi seorang pemimpin dalam Islam. Ketika seorang pemimpin atau perangkatnya engga menerapkan aturan Allah, bahkan berbuat maksiat, maka Ia tidak layak menjadi seorang pemimpin. Begitupun tidak layak untuk ditaati oleh rakyatnya.
Bayangkan, bagaimana indahnya kehidupan di bawah kepemimpinan yang solih, tentulah tidak aka nada dorongan hawa nafsu sekedar memuaskan keinginan untuk berkuasa dan bagi-bagi kekuasaan. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan. Kisah masyhur Umar Bin Khattab yang setiap malam memanggul beras sendirian mengitari negerinya untuk memastikan tidak ada satupun rakyatnya yang kelaparan. Sistem Islam akan mencetak manusia-manusia dengan keimanan, sehingga para penerus tongkat kepemimpinan adalah mereka yang cakap dalam ilmu agama dan juga ilmu dunia.
Lahirnya Salahuddin Al Ayyubi, pembebas palestina, dan Muhammad Al Fatih penakluk Konstatinopel, adalah karena pembinaan yang berkualitas dari sisi pemahaman ilmu dunia yang juga disanggah dengan keimanan pada Allah sang pencipta. Melahirkan anak-anak muda yang mempunyai tujuan lebih jauh dari sekedar mengeruk tahta di dunia. Visi pemimpin mudah di bawah naungan Islam adalah visi akhirat, yaitu menolong agama Allah tetap tegak, semakin menyebar, sehingga Islam menjadi Rahmat bagi seluruh makhluk.
Posting Komentar