-->

Ironis, Tunjangan Rumah Untuk DPR Ditengah Penderitaan Rakyat

IRONIS, TUNJANGAN RUMAH UNTUK DPR DITENGAH PENDERITAAN RAKYAT

Oleh : Bunda Azza

Kebijakan terbaru DPR periode 2024-2029 tentang tunjangan rumah bulanan, karena tak lagi menerima rumah dinas menuai kontroversi. Kebijakan ini dinilai berpotensi membebani anggaran negara. Lewat Surat nomor B/733/RT.01/09/2024 yang diterbitkan Sekjen DPR pada 25 September 2024 kemarin, menyatakan bahwa DPR periode 2024-2029 tidak akan lagi mendapatkan rumah dinas. Sebagai gantinya, anggota DPR akan diberikan tunjangan rumah bulanan. (tirto.id 14 Oktober 2024) 

Hal ini menambah panjang tunjangan yang akan diterima anggota DPR, dengan harapan anggota DPR bisa bekerja sesuai fungsinya dan lebih kompeten dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Akan tetapi pada faktanya anggota DPR di periode lalu meskipun mereka mendapat banyak tunjangan mereka tidak bekerja dengan optimal dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Malah mereka bekerja untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Buktinya DPR bergerak cepat saat mengesahkan Rancangan undang-undang yang berkaitan penguasa dan pengusaha. Seperti RUU dewan pertimbangan presiden dan RUU kementrian negara. Beda dengan saat rakyat menjerit dan memprotes Undang-Undang Ciptakerja, DPR tetap mengesahkanya. Sementara undang-undnag yang terkait dengan RUU perlindungan pekerja rumah tangga, dan RUU masyarakat Adat tidak tersentuh sama sekali oleh DPR. Dengan demikian harapan para wakil rakyat yang akan bekerja dengan optimal setelah mendapat tunjangan sangat mustahil diwujudkan. Selain itu dengan adanya tunjangan rumah anggota DPR. Tunjangan ini bisa menjadi pemborosan anggaran negara seperti yang dikatakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), "Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik," kata peneliti ICW Seira Tamara. Seira juga mengatakan, total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. (Kompas.com 11 Oktober 2024). 

Belum lagi masalah lain yang muncul dari mekanisme pemberian tunjangan ini. Seira Tamara, mengatakan, dalam peralihan dari pemberian rumah fisik menjadi tunjangan, akan sulit mengawasi penggunaan tunjangan tersebut. Terlebih tunjangan tersebut ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. Jadi tidak salah bila ada yang menilai tunjangan perumahan DPR hanya untuk memperkaya diri para anggota DPR. (Nasional.kompas.com 12/10/24) 

Tunjangan tersebut merupakan kebijakan yang ironis bila dibandingkan dengan realita yang dihadapi pada saat ini. Saat terdapat 12,71 juta perumahan diindonesia sementara harga properti terus mengalami kenaikan setiap tahunya. Pada tahun tahun 2022 kenaikannya tercatat 4℅ dari tahun sebelumnya. Bahkan ada pula rakyat tidak memiliki rumah bahkan harus tinggal di jalanan. Ada sekitar 3 juta tunawisma di Indonesia dengan 28.000 berada di Jakarta. Sebanyak 77.500 gepeng (gelandangan dan pengangguran) tersebar di banyak kota besar di seluruh Indonesia pada tahun 2019. Demikianlah kondisi rakyat yang diwakili oleh wakil rakyat di sistem demokrasi kapitalisme. Sistem ini hadir dalam legalisasi penjajah ekonomi atas nama hukum oleh para kapital yang memiliki simbiosis mutualisme dengan pejabat, termasuk wakil rakyat. 

Perwakilan Rakyat di Era Kekhilafahan. 

Syekh taqiyudin an nabhani dalam kitab ajhizah ad Daulah al khilafah menjelaskan wakil rakyat dalam islam adalah Majlis Umah, mereka terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan, mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al hukam). 

Keberadaan majlis ini diambil dari aktifitas Rasulullah SAW yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Ansor,yang mewakili kaum mereka, dari konsep wakil rakyat seperti ini keberadaan majlis umat dengan DPR sangat berbeda dari segi peran dan fungsinya, majlis umat murni mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan sebab status sebagai majelis umat merupakan amanah yang akan dipertanggung jawabkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara. Apalagi islam juga memiliki aturan terkait harta, kepemilikan, maupun pemanfaatanya. 

Dalam sistem ekonomi islam yang telah dijelaskan oleh Syekh taqiyudin an nabhani dalam kitab nidhamul iqtishodi kepemilikan harta dalam islam dibagi menjadi tiga yakni harta milik individu seperti tambak, sawah ladang kebun dan sejenisnya, harta milik rakyat seperti sumber daya alam dan harta milik negara seperti iqtha', jizyah, usyur, dan sejenisnya. Konsep ini akan membawa keadilan bagi semuanya, sebab islam melarang pencampuran pemanfaatanya, misalnya harta milik rakyat haram dimonopoli oleh swasta, harta sumber daya alam harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat salah satunya bisa berupa kemudahan memperoleh rumah untuk tempat tinggal, dengan begitu tidak ada lagi kesenjangan sebagaimana DPR saat ini dan rakyat, seperti inilah khilafah menyelesaikan masalah rakyat.

Wallahu A'lam Bishowab