-->

Kasus Kekerasan Berulang, Mengapa Penyebabnya Tidak Ditebang?

Oleh : Ummu Hanan

Viral kasus pemerkosaan hingga terbunuhnya seorang gadis oleh beberapa orang pelajar di Palembang. Miris. Hal ini bukan pertama kalinya terdengar di telinga warga 62. Seolah, kasus seperti ini berulang tanpa adanya efek jera bagi pelaku terutama usia pelajar yang menurut undang-undang termasuk usia dibawah umur.

Pemerintah kota Pangkalpinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pun memfokuskan upaya mengatasi dan menekan kasus kekerasan, pelecehan seksual terhadap anak yang cukup tinggi. Diberitakan oleh Antaranews.com bahwa PJ Walikota Pangkalpinang Budi Utama mengatakan data kasus kekerasan terhadap anak selama Januari hingga Agustus 2024 sudah mencapai 80 kasus. Bahkan, ada dua kasus anak yang masih duduk di sekolah dasar hamil akibat pergaulan bebas. Sedangkan menurut CMM.com data yang diperoleh dari Unit pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA) Prov. Kep. Bangka Belitung di tahun 2023 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 249 kasus, naik dari jumlah sebelumnya di tahun 2022. Terus bertambah di tahun 2024 ini.

Bila ditelisiki, faktor penyebabnya sangat akumulatif. Mulai dari tayangan pornografi dan pornoaksi yang mudah diakses baik kalangan dewasa, remaja bahkan anak-anak melalui gadget siapa pun yang dapat mereka pakai. Adapun game yang mewarnai hiburan gen Z hari ini penuh dengan adegan kekerasan. Judi online pun mendorong seseorang untuk melakukan tindak kriminal dikarenakan tertantang untuk melanjutkan permainan judinya. Dan hal-hal buruk ini sudah mewarnai masyarakat. 

Sungguh berat tantangan orangtua dan tenaga pendidik hari ini. Karena tontonan yang terus berulang akan dengan sendirinya berubah menjadi tuntunan. Minim sensivitas terhadap moralitas bahwa hal itu tidak pantas dilakukan. Rasa tak ingin membuat orang lain tersakiti itu hilang. Bahkan, sifat malu dan akhlakul karimah tak berada lagi di dalam dirinya. Buruknya lagi ketika tontonan itu tanpa sadar telah berubah menjadi tuntunan maka pelaku akan merasa bangga telah melakukan hal yang sejatinya buruk dan merugikan orang lain tanpa ada rasa penyesalan. Inilah salah satu potret buruk pendidikan yang harus segera dibenahi.

Fenomena ini sangat berbahaya dan harus diwaspadai, bila solusi yang diberikan hanya terfokus pada hal-hal ranting. Seperti pemberlakuan jam malam bagi anak, menyiapkan pendampingan hukum terhadap korban dan penyediaan rumah singgah untuk pemulihan fisik dan psikologi korban. Hanya dengan ini bahaya laten akan terus mengancam. 

Pihak-pihak yang harus bertanggungjawab dalam menghentikan kasus kekerasan ini yang pertama adalah orangtua. Karena pendidikan pertama bagi anak adalah orang tuanya. Teladan yang paling dekat adalah orangtua. Orangtua harus belajar dan memahami perubahan zaman agar dapat mendidik dan membentengi anak-anaknya dari kerusakan moral di lingkungan sekitarnya. 

Benteng terdekat adalah ketaqwaan individu. Keimanan dan ketaqwaan ini harus terbentuk sedari dini. Ada atau pun tidak adanya manusia yang melihat, anak akan tetap berjalan di jalan yang lurus. Dibutuhkan peran pemerintah untuk mengembalikan peran dan fungsi keluarga. Agar tidak selalu fokus pada peningkatan kesejahteraan keluarga dalam hal ekonomi semata.

Pihak yang kedua adalah sekolah dan guru. Menanamkan budi pekerti, berakhlakul karimah, mengajarkan hak dan kewajiban termasuk aktifitas belajar di sekolah. Keteladanan guru pun sangat mempengaruhi pribadi pelajarnya. Bukan hanya sains dan tekhnologi semata. Pendidikan dan pengajaran yang berlangsung tidak cukup hanya untuk meraih nilai tinggi pada selembar kertas atau pada rapor. Tidak juga hanya tuk memiliki ijazah dan kemampuan bekerja. NIlai yang hakiki adalah realisasi ilmu dan pendidikan yang pelajar dapatkan untuk diterapkan di kehidupan bermasyarakat. Sehingga membentuk pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah dilingkungan sekolah memiliki urgensi yang tinggi. Usia pelajar harus mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Pelajar pun harus memahami perbuatan apa saja yang mendapatkan pahala dan apa yang mendapatkan dosa. 

Lucunya, hari ini pelajaran agama dianggap tidak penting dan dianggap memicu radikalisasi di kalangan pelajar. Dampaknya, kasus kriminalitas pelajar semakin hari semakin meningkat dan beragam. Sudah saatnya, negara mengembalikan peran dan fungsi sekolah dalam membentuk kepribadian dan ketaqwaan pelajarnya. Sungguh, kemaksiatan dan kejahatan terjadi bukan hanya adanya kesempatan namun itu semua terjadi dikarenakan tidak adanya ketaqwaan.

Adapun peran negara adalah yang paling utama, negara harus berani menebas habis faktor-faktor yang menjadi pemicu kekerasan terhadap anak ataupun perempuan. Keminfo harus lebih agresif untuk menutup semua tontonan pornografi dan pornoaksi, menutup semua link judi online. Membuat aturan larangan yang tegas berikut sanksinya.

Dalam Islam, negara dapat memberikan sanksi tegas terhadap anak usia baligh, yang mana mereka telah mampu memilah mana yang salah dan mana yang benar. Telah mengetahui konsep pahala dan dosa. Perlindungan hukum bagi anak dibawah umur 17 tahun untuk kasus kriminal apalagi kasus kriminal berencana di negri ini harus dikaji ulang. Karena, keberadaannya bak angin segar bagi anak-anak yang terjerumus perilaku kriminalitas. Mereka merasa terlindungi dengan undang-undang dan aturan yang ada. Bila itu tidak ditegakan, maka anak-anak yang sebenarnya sudah baligh itu akan merasa aman, tidak jera dan bisa saja kemudian mengulanginya kembali, bahkan mengajak anak seusianya melakukan tindakan amoral lagi.

Wallahu a’lam bish-shawabi.