-->

Mengurai Akar Korupsi dalam Retorika Demokrasi

Oleh : Novi Ummu Mafa

Presiden Joko Widodo menandatangani sejumlah Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden menjelang masa purna tugasnya pada 20 Oktober 2024. Salah satunya adalah pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) di tubuh Kepolisian RI. (Kompas.com, 18-10-2024).

Keputusan tersebut memunculkan polemik di tengah masyarakat. Meski bertujuan membantu Polri dalam membina dan menyelenggarakan pencegahan, penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana korupsi, kebijakan ini menuai kritik dari banyak pihak. Isu mendasar yang menjadi sorotan adalah efektivitas langkah ini dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yang selama satu dekade terakhir mengalami tren penurunan.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Jokowi telah melemah, terutama melalui revisi undang-undang KPK, pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), hingga turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK). (Kumparan.com, 18-10-2024). 

Di tengah situasi ini, pembentukan lembaga baru seperti Kortas Tipikor dianggap bukan solusi yang tepat, melainkan hanya menambah kompleksitas struktural, memperbesar beban anggaran, dan membuka peluang tumpang tindih kewenangan dengan KPK. Lalu, apakah penambahan lembaga baru dapat menjawab tantangan korupsi yang semakin mengakar, ataukah ini justru semakin menjauhkan Indonesia dari pemberantasan korupsi yang substansial?

Tumpang Tindih Kewenangan dan Pelemahan KPK

Pembentukan Kortas Tipikor berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan KPK, yang secara historis telah menjadi lembaga utama dalam pemberantasan korupsi. Idealnya, fokus pemerintah seharusnya pada penguatan sinergi antar lembaga dan komitmen penuh seluruh komponen negara untuk mendukung KPK, bukan mendirikan lembaga baru yang justru dapat memperlemah peran KPK. Pelemahan terhadap KPK, yang telah terjadi melalui berbagai kebijakan, seperti revisi undang-undang dan pembatasan kewenangan, telah memperlemah harapan masyarakat dalam melihat korupsi diberantas secara serius.

Di sisi lain, pembentukan lembaga baru ini juga berpotensi menambah beban anggaran negara yang sudah besar. Anggaran ini seharusnya dialokasikan untuk mengoptimalkan kinerja KPK dan lembaga-lembaga lain yang sudah ada, bukan untuk menciptakan institusi baru yang efektivitasnya masih dipertanyakan. Realitasnya, penambahan lembaga tanpa diiringi dengan perbaikan integritas individu yang menjalankan lembaga tersebut hanya akan melanggengkan praktik korupsi, bukannya mengurangi.

Kelemahan Demokrasi dalam Pemberantasan Korupsi

Kritik tajam terhadap sistem politik demokrasi di Indonesia juga tidak dapat diabaikan. Demokrasi, dengan fondasi sekularisme dan liberalisme, telah menciptakan ruang bagi berkembangnya praktik korupsi di berbagai level, baik individu, komunal, maupun lembaga. Kelemahan dalam penegakan hukum dan lemahnya kontrol sosial membuat hukum lebih sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga negara, bahkan lembaga pemberantasan korupsi, menunjukkan betapa dalamnya masalah ini tertanam dalam sistem politik yang ada.

Sistem politik demokrasi sejatinya memiliki kelemahan fundamental dalam membentuk pejabat publik yang memiliki integritas tinggi. Sekularisme, yang memisahkan agama dari politik dan kehidupan publik, tidak membangun ketakwaan yang kuat dalam diri pejabat. Alhasil, pejabat menjadi rentan terhadap godaan harta, kekuasaan, dan pengaruh. Budaya individualisme dan liberalisme yang terbentuk dalam demokrasi juga mengikis semangat saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Solusi Sistem Islam

Dalam menghadapi masalah korupsi yang begitu kompleks, sistem Islam menawarkan solusi yang lebih menyeluruh, baik secara preventif maupun kuratif. Dalam Islam, korupsi adalah tindakan khianat yang haram, yang mencakup suap (risywah), gratifikasi, serta penyalahgunaan kekuasaan.

Sistem Islam tidak memerlukan banyak lembaga untuk menangani korupsi, tetapi fokus pada penguatan integritas individu dan penegakan hukum yang tegas. Islam menegakkan administrasi negara yang sederhana, efisien, dan dilaksanakan oleh individu yang kompeten dan bertakwa.

Islam juga menetapkan tiga pilar utama dalam pencegahan korupsi: keimanan individu, semangat amar makruf nahi mungkar di masyarakat, dan aturan negara yang tegas. Keimanan yang kuat terbentuk melalui sistem pendidikan Islam yang tidak berorientasi pada materi semata, tetapi membentuk kepribadian yang bertakwa dan bertanggung jawab. Pendidikan Islam inilah yang akan melahirkan pemimpin yang amanah, profesional, dan sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.

Dalam penerapan hukum, sistem sanksi dalam Islam memberikan efek jera (jawabir) dan pencegahan (zawajir). Pelaku korupsi akan dihukum secara tegas, tidak hanya untuk menebus dosa, tetapi juga sebagai peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan hal yang sama. Sistem ini jauh lebih efektif dalam menciptakan efek jera daripada sistem sanksi dalam demokrasi yang sering kali tidak menakutkan bagi para koruptor.

Kembali Pada Islam Kaffah

Pembentukan Kortas Tipikor hanyalah langkah jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar masalah korupsi di Indonesia. Sistem demokrasi yang sekular tidak mampu mengatasi persoalan ini secara mendasar, karena ia gagal membentuk individu yang bertakwa dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, solusi yang paling tepat adalah kembali kepada sistem Islam yang kaffah, yang mampu memberantas korupsi melalui pendekatan yang integral—membangun keimanan individu, memperkuat kontrol sosial, dan menerapkan hukum yang tegas. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, masyarakat akan terbebas dari praktik korupsi yang membudaya, dan kepemimpinan yang amanah serta adil dapat diwujudkan.