-->

Menyoal Tunjangan Rumah Dinas Anggota DPR

Oleh : Rini PujiA

Pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR menuai polemik. Hal ini merupakan imbas dari adanya surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang telah ditandatangani pada 25 September 2024 lalu. Salah satu poin yang disampaikan dalam surat tersebut yakni anggota DPR periode 2024-2029 akan diberikan Tunjangan Anggota Perumahan dan tidak diberikan fasilitas Rumah Jabatan 
Anggota (RJA).

Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik. Informasi detail terkait pemborosan uang yang dimaksud, didapat dengan membandingkan antara pola belanja untuk pengelolaan RJA pada periode 2019-2024 dengan penghitungan tunjangan perumahan bagi anggota DPR selama satu periode.

ICW melakukan penelusuran terhadap belanja pengadaan oleh Sekretariat Jenderal DPR melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). ICW menelusuri pengadaan DPR menggunakan sejumlah kata kunci yakni Rumah Jabatan Anggota, RJA, Kalibata, dan Ulujami pada periode 2019-2024.

Hasilnya, terdapat 27 paket pengadaan dengan total kontrak senilai Rp374,53 miliar. Dua paket di antaranya dilakukan pada tahun 2024 untuk pemeliharaan mekanikal elektrikal dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar. Hal ini menunjukan bahwa telah ada perencanaan yang dirancang agar anggota DPR dapat menempati RJA. 

Sementara itu, ICW juga menghitung tunjangan yang nantinya akan didapatkan oleh 580 anggota DPR selama 2024-2029. Berdasarkan penelusuran dari sejumlah media, Indra Iskandar selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR menyampaikan bahwa per bulan anggota DPR akan menerima tambahan tunjangan untuk perumahan sekitar Rp50-70 juta. Jika dikalkulasi, maka hasilnya sebagai berikut:
1. Tunjangan yang diberikan sebesar Rp50 juta: 580 x Rp50 juta x 60 bulan = Rp1,74 triliun
2. Tunjangan yang diberikan sebesar Rp70 juta: 580 x Rp70 juta x 60 bulan = Rp2,43 triliun

Apabila ketentuan ini diteruskan, maka ada pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Perhitungan tersebut didapatkan dari pengurangan antara tunjangan yang didapatkan oleh anggota DPR selama lima tahun dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki RJA menggunakan mekanisme pengadaan. Selain itu, ICW menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik.

Kebijakan Ironis Wakil Rakyat, Di Tengah Jeritan Miris Rakyat

Tunjangan rumah dinas anggota DPR menambah daftar panjang fasilitas yang di terima anggota dewan. Tunjangan ini tentu diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Hanya saja, harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Anggota dewan periode sebelumnya, sekalipun mereka mendapat berbagai tunjangan, kenyataannya mereka tidak bekerja untuk menyalurkan aspirasi rakyat namun bekerja untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

Buktinya, DPR bergerak cepat untuk mengesahkan RUU yang mewakili penguasa dan pengusaha. Seperti, RUU Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU Kementrian Negara.

Belum lagi saat rakyat menjerit dan menolak adanya UU Ciptaker, DPR justru tetap mengesahkannya. Sementara, UU terkait kepentingan masyarakat seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat belum tersentuh DPR.

Pragmatisme dalam penyusunan legislasi DPR juga terlihat saat DPR menganulir keputusan MK terkait RUU Pilkada dalam waktu sehari demi menjaga eksistensi kekuasaan pihak tertentu.
Sedangkan realita anggota DPR periode ini, sangat kental dengan DInasti Politik. Pasalnya, sebagian besar dari anggota DPR tersebut memiliki relasi kekerabatan dengan pejabat public yang beragam. Mulai dari suami istri, anak, keponakan, dll.

Dengan demikian harapan para wakil rakyat bisa bekerja dengan optimal dengan tunjangan, sangat terlihat mustahil di wujudkan.

Disisi lain, tunjangan tesebut merupakan kebijakan yang ironis jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini. Banyak rakyat yang kesulitan memiliki rumah, karena mahalnya harga rumah.
Saat ini, terdapat 12,71 jt backlog perumahan di Indonesia. Sementara, harga property terus mengalami kenaikan tiap tahunnya – pada 2022 kenaikannya tercatat sebesar hampir 4% dari tahun sebelumnya.

Bahkan ada pula rakyat yang tidak memiliki rumah dan harus tinggal di jalanan. Ada sekitar 3 jt tunawisma di Indonesia, dengan 28.000 berada di Jakarta. Sebanyak 77.500 gepeng (gelandangan pengemis) tersebar di banyak kota besar di seluruh Indonesia pada tahun 2019.

Belum lagi ada beban iuran Tapera bagi pekerja, kebijakan tersebut membuat rakyat makin susah hidupnya.

Demikianlah kondisi masyarakat yang diwakili oleh wakil rakyat dalam system Demokrasi Kapitalisme. System ini meniscayakan adanya politik dinasti, politik balas budi, hingga politik untuk memperkaya diri dan golongan.
Sebab system ini lahir sebagai legalisasi penjajahan ekonomi atas nama hukum oleh para capital yang memiliki simbiosis mutualisme dengan pejabat, termasuk wakil rakyat.

Fungsi Dan Tugas Wakil Rakyat Dalam Sistem Islam

Syaikh Taqiyyudin An Nabhani dalam kitab Ajhizah Daulah Khilafah menjelaskan, wakil rakyat di dalam islam di sebut Majelis Ummah.

Mereka terdiri dari orang – orang yang telah di pilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan / nasihat mereka dalam berbagai urusan.

Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah yakni mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan (Al- Hukkam). Keberadaan majelis ini di ambil dari aktivitas Rasulullaah SAW, yang sering meminta pendapat atau ber-musyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar, yang mewakili kaum mereka.

Dari konsep wakil rakyat seperti ini, keberadaan Majelis Umat dengan DPR sangat berbeda dari segi peran dan fungsinya.
Majelis Umat murni mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat, yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadikan mereka focus pada fungsi yang harus di wujudkan.

Sebab, status sebagai Majelis Umat merupakan amanah yang akan di pertanggung jawabkan kepada Allaah SWT dan bukan pada keistimewaan yang di berikan Negara.

Apalagi islam juga memiliki aturan terkait dengan harta, kepemilikan, maupun pemanfaatannya. Dalam system ekonomi islam, sebagaimana yang di jelaskan oleh Syaikh Taqiyyudin An Nabhani, dalam kitab Nidzomul Iqtishadiy, kepemilikan harta dalam islam di bagi menjadi tiga yakni
- Harta milik individu, seperti tambak, sawah, ladang, kebun dan sejenisnya
- Harta milik rakyat, yakni Sumber Daya Alam
- Harta milik Negara, seperti iqtha’, jizyah, usyur, dan sejenisnya

Konsep ini akan membawa keadilan bagi semuanya. Sebab, islam melarang adanya pencampuran pemanfaatannya. Misalnya, harta milik rakyat haram di monopoli swasta.

Harta Sumber Daya Alam harus di kelola oleh Negara, yang hasilnya di kembalikan kepada rakyat, salah satunya bisa berupa kemudahan dalam memperoleh rumah untuk tempat tinggal.
Dengan begitu, tidak ada lagi kesenjangan sebagaimana DPR saat ini dan rakyat.

Seperti inilah Khilafah menyelesaikan masalah rakyat, begitu Adil bukan??

Wallahu’alambishawab