-->

Parlemen Nihil Oposisi, Keadilan Sekedar Halusinasi

Oleh : Erin Azzahroh (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029 telah dilantik. Usai momen tersebut, muncul kekhawatiran jika seluruh partai politik yang lolos ke legislatif bergabung ke dalam koalisi pendukung pemerintah. Apalagi diketahui bahwa sejumlah anggota DPR terpilih memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dengan pejabat publik elit politik hingga sesama anggota DPR terpilih lainnya. Sedikitnya 79 dari total 580 anggota DPR terpilih periode 2024 hingga 2029 terindikasi dinasti politik. Temuan ini tercermin dalam hasil riset terbaru forum masyarakat peduli parlemen Indonesia (Formappi). (nasional.tempo.co, 25/9/2024)

Sinyalemen dinasti politik yang kental pada DPR periode 2024-2029 juga terpotret dari hasil riset Litbang Kompas. Ditemukan ada 220 anggota DPR RI periode ini terindikasi mempunyai ikatan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional. 

Dari fakta-fakta tersebut, setidaknya ada empat hal yang dapat disimpulkan. Pertama, maraknya indikasi dinasti politik di Senayan ini mengancam akuntabilitas kinerja parlemen. Anggota dewan yang seharusnya menyampaikan aspirasi publik menjadi rawan terlibat konflik kepentingan relasi kekerabatan antara anggota DPR dengan pejabat publik atau elite parpol. Sebagaimana kata Adi Prayitno, pengamat sekaligus dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adi menuturkan bahwa terdapat potensi berdampak besar terhadap demokrasi Indonesia jika semua partai politik bergabung dalam koalisi pemerintah. Kondisi itu, kata Adi, berisiko melemahkan peran oposisi, yang seharusnya secara tradisional dalam prinsip demokrasi menjadi penyeimbang dan pengawas eksekutif. (kompas.com, 1/10/2024)

Apalagi dalam sistem Demokrasi, wakil rakyat berhak membuat aturan atau Undang-Undang. Ketika manusia diberi kedaulatan untuk membuat aturan, tentu aturan itu akan disesuaikan dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Misalnya revisi undang-undang Pilkada beberapa waktu lalu. Ditambah realita bahwa hampir tidak ada oposisi. Semua menjadi koalisi. Bisa dibayangkan, siapa yang berpihak kepada rakyat kalau semua berada dalam satu barisan? Fakta yang tidak bisa diabaikan, gerakan barisan koalisi tentu juga membela kepentingan oligarki. Ujung-ujungnya rakyat akan terabaikan dan tak mampu melawan.

Kedua, nestapa akibat politik dinasti tidak berhenti sampai di situ. Sebab wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya. Namun karena kekayaan atau jabatan dalam mekanisme politik transaksional. Sehingga Senayan hanya menjadi tempat 'kumpul-kumpul' keluarga. Bukan tempat suara aspirasi rakyat yang didengar oleh wakil rakyat. Karakter sistem demokrasi memang demikian, rentan menzalimi rakyat. Wakil rakyat berwatak ra'in (pengurus) akan sulit, atau bahkan tidak akan pernah lahir dari sistem buatan manusia ini.

Ketiga, Indonesia dikenal sebagai negeri dengan komposisi umat Islam yang besar. Jika umat Islam menilik syariatnya, sejatinya Islam memiliki aturan terkait wakil rakyat. Aturan ini sangat berbeda dengan pengaturan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.

Dalam sistem pemerintahan Islam, wakil rakyat disebut majelis umat. Pada kitab Ajhizah karya Taqqiyuddin An Nabhani, dijelaskan bahwa majelis umat merupakan majelis atau dewan yang terdiri dari beberapa orang. Orang-orang ini dipilih oleh umat dan dijadikan perwakilan sebagai tempat merujuk bagi penguasa untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Selain itu, majelis umat juga mewakili umat dalam mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah SAW. Beliau sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshor yang mewakili kaum mereka. Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah SAW terhadap orang-orang tertentu di antara para sahabat beliau untuk meminta masukan dari mereka. 

Dalam kitab Ath-Thariq, Syaikh Ahmad Athiyat menjelaskan beberapa wewenang utama majelis umat. Majelis umat bisa memberikan pendapat atau usulan kepada penguasa dalam setiap urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sebagaimana juga usulan mendirikan sekolah, membuat jalan, atau mendirikan rumah sakit. 

Majelis umat juga berwenang mengoreksi penguasa tentang berbagai hal yang dianggap sebagai sebuah kekeliruan. Pendapat majelis ini bersifat mengikat. Bila terjadi perbedaan dengan penguasa, maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Mazhalim.

Wewenang berikutnya, majelis umat bisa menampakkan ketidaksukaan terhadap pejabat yang memberatkan rakyat. Misalnya ketika menjadi imam bacaan suratnya terlalu panjang. Penguasa harus memberhentikan mereka yang diadukan itu. Majelis umat pun bisa memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat pemimpin. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wakil rakyat dalam sistem Islam, yakni majelis umat, hanya bertugas menyampaikan aspirasi namun tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan. Sebab dalam sistem Islam, hanya Allah Azza wa Jalla sajalah satu-satunya zat yang berhak membuat hukum. Sementara manusia hanya sekedar menjalankan aturan tersebut. 

Keempat, jika manusia taat kepada syariat Allah dalam setiap aspek kehidupan termasuk menaati syariat wakil rakyat, niscaya politik dinasti akan berakhir dengan sendirinya. Karena itu, sudah menjadi kebutuhan bahkan kewajiban bagi umat Islam untuk kembali kepada ajaran Sang Pencipta alam semesta. 
Wallahu'alam