-->

Pelaku Kriminalitas Anak Meningkat dan Dilema Hukum Peradilan

Oleh : Ainaya Afifah

Tindakan kriminal yang dilakukan anak berusia di bawah umur terus meningkat dan berkembang. Meningkatnya kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku kriminalitas semakin mengkhawatirkan banyak pihak.

Seperti kasus tawuran di Semarang, dari Januari hingga September tercatat ada 21 kejadian dengan 117 tersangka yang ditangkap.

Begitu pula berita tindakan asusila yang baru-baru ini terjadi antara guru dan murid di MAN 1 Kabupaten Gorontalo yang viral di dunia maya. Video berdurasi 5,48 detik itu memperlihatkan adegan tidak senonoh atau perzinaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh guru dan murid.

Ditambah kasus empat anak terkait kasus mayat terikat di Banten, di mana tiga di antara pelaku adalah dua siswa SMP kelas 3 dan satu siswa SD kelas 6.

Dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan adanya peningkatan mulai dari tahun 2020 hingga 2023. Tercatat 2.000 anak berkonflik dengan hukum (ABH) per Agustus 2023, di mana 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan 526 anak lainnya menjalani hukuman sebagai narapidana.

Dilematis Hukum Peradilan

Dari sejumlah tindak kriminalitas anak yang terjadi, tampaknya masyarakat mulai jengkel. UU Perlindungan Anak seakan menjadi tameng bagi pelaku dengan dalih "masih di bawah umur". Pelaku kriminalitas hanya diberlakukan rehabilitasi tanpa tersentuh hukum secara adil.

Tentu ini menjadi dilema, di mana hukum harus memberi perlindungan dan pendampingan hukum kepada pelaku, sementara di sisi lain harus meniadakan hukuman yang justru mencoret keadilan bagi korban.

Faktor Tindak Kriminal

Terdapat sejumlah faktor yang mendorong anak melakukan berbagai aksi kejahatan itu. Panduan hukum untuk menangani kasus ini tampaknya perlu dievaluasi. Penanggulangan melalui pengendalian faktor pendorong juga sangat dibutuhkan.

Contohnya, dalam kasus pembunuhan siswi di Palembang, motifnya adalah memuaskan hasrat seksual. Hasil penyidikan polisi menemukan bukti adanya paparan konten pornografi di ponsel salah satu tersangka.

Melakukan pembinaan hukum tentu adalah langkah yang baik. Hanya saja, upaya untuk meredam bahkan meniadakan tindak kriminalitas anak tidak cukup dengan mengoreksi pola asuh orang tua atau mengembalikan tanggung jawab kepada institusi pendidikan.

Kenyataannya, perilaku anak terbentuk dari interaksi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Melindungi anak sesungguhnya membutuhkan kerangka sistematis. Jika merujuk pada institusi terkecil (keluarga), anak memang tanggung jawab orang tua yang berkewajiban memberikan perlindungan dan edukasi.

Namun, sebagai manusia yang terus mengalami perkembangan, secara komprehensif pembentukan kepribadian anak merupakan proses yang kompleks. Proses ini melibatkan aspek individu anak, peran masyarakat yang terikat oleh suatu pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama, serta kehadiran negara yang berperan sebagai pengurus dan pelindung.

Membentuk Kepribadian Anak Menurut Pandangan Islam

Dalam Islam, menjaga tumbuh kembang anak agar menjadi individu yang bertakwa adalah perkara penting. Dalam proses pola asuh, orang tua bertanggung jawab membentuk pola pikir dan sikap anak.

Orang tua juga bertanggung jawab mengenalkan akidah dan membentuk pemahaman tentang Sang Pencipta. Ini bertujuan agar anak memahami keberadaan Sang Pencipta sekaligus memiliki kesadaran hubungan dengan Allah.

Fase akil balig merupakan fase kritis. Anak yang memasuki usia remaja berada pada fase yang membutuhkan perhatian semua pihak: individu/keluarga, masyarakat, dan negara.

Dalam Islam, anak yang berada di fase balig seharusnya sudah dapat menyadari masalah hukum perbuatan. Untuk segala perbuatan yang melanggar hukum syara, anak tidak bisa berdalih mengenai batasan usia seperti yang terjadi hari ini. Anak akan berproses menjadi individu yang bertakwa dan mampu memilah perbuatan baik dan buruk sesuai standar syariat.

Islam dengan jelas menguraikan batasan “anak di bawah umur,” yang dalam sistem sekuler hari ini justru bersifat abu-abu.

Memang, proses setiap anak bisa berbeda-beda. Namun, melihat situasi sosial masyarakat saat ini, fase balig anak cenderung terjadi lebih cepat. Akal mereka dipaksa cepat mencerna berbagai informasi. Dengan sistem sosial yang berlandaskan hukum sekuler, fase tumbuh kembang anak menjadi kian kompleks dengan berbagai masalah.

Peran Masyarakat dan Negara

Jika saat ini masyarakat bingung dengan sistem hukum, khususnya mengenai kriminalitas anak, Islam berbeda. Islam tidak hanya membahas pola asuh atau sekadar tips-tips parenting untuk membentengi anak. Lebih dari itu, Islam menganjurkan adanya pengawasan dan perlindungan hukum bagi anak secara sistematis dan komprehensif.

Masyarakat yang terikat oleh pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama akan menjadi pengontrol sosial pada setiap individu mukalaf. Aktivitas amar makruf nahi mungkar akan menghiasi kehidupan sosial masyarakat. Anak-anak akan tumbuh dalam sistem yang mendukung terbentuknya ketakwaan.

Sementara itu, negara berperan dalam menjamin kebutuhan anak. Negara harus menciptakan mekanisme yang mendukung terpenuhinya kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pergaulan, termasuk sistem hukum bagi anak. Inilah wujud peran negara sebagai pengurus rakyat, khususnya anak.

Di sisi lain, negara berperan dalam memberikan perlindungan kepada anak dengan membentengi mereka dari paparan pemikiran negatif. Negara memastikan anak hanya mengonsumsi informasi yang bersih dan sehat dalam tumbuh kembang mereka, serta mengaruskan edukasi yang mendukung fase perkembangan melalui media yang mendukung pola asuh orang tua.

Negara juga berperan menjalankan sistem hukum sesuai syariat. Di sini, negara berperan dalam memberikan edukasi syariat yang berkaitan dengan hukum perbuatan seorang hamba. Walhasil, anak akan tumbuh menjadi individu bertakwa dengan dukungan masyarakat dan negara. Inilah proses kompleks dan sistematis dalam Islam.

Jadi, masalah anak tidak cukup hanya dilihat dari konteks keluarga dan pendidikan. Selain memahami pola asuh yang tepat, masyarakat dan negara memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian anak. Masyarakat berfungsi sebagai pengontrol, sedangkan negara berperan dalam memberikan perlindungan dan pengurusan pada anak.

Oleh karena itu, perlu kajian sistematis untuk merumuskan upaya yang tepat dalam menekan kriminalitas anak.