-->

Pemerintah Gagal Atasi Deflasi, Islam Beri Solusi

Oleh : Novi Ummu Mafa

Penurunan daya beli masyarakat Indonesia selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 telah memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola stabilitas ekonomi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen pada bulan September 2024. Menurut Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan hal ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024. Bahkan, menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo. (cnnindonesia.com, 01-10-2024).

Hal ini menandakan adanya masalah struktural yang serius dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam hal konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi nasional.

Deflasi dan Penurunan Daya Beli: Indikasi Krisis Ekonomi

Deflasi, yang secara umum ditandai dengan penurunan harga-harga barang dan jasa, tidak selalu merupakan indikator ekonomi yang sehat. Dalam kasus ini, deflasi yang terus berlanjut selama lima bulan menjadi indikasi jelas bahwa masyarakat, terutama kelas pekerja, mengalami penurunan daya beli yang signifikan. Muhammad Andri Perdana, ekonom dari Bright Institute, menyatakan bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa "masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja." Ketika daya beli masyarakat menurun, mereka cenderung menahan konsumsi, sehingga harga-harga turun, namun pada saat yang sama permintaan juga berkurang drastis. (bbc.com, 04-10-2024).

Penurunan daya beli rumah tangga ini diperparah dengan meningkatnya biaya pendidikan dan kesehatan. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, dua sektor ini menyerap sebagian besar anggaran keluarga. Apabila untuk kebutuhan pokok seperti bahan pangan strategis—cabai, telur, daging ayam, dan tomat—keluarga sudah harus mengurangi konsumsinya, maka pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan akan semakin sulit dijangkau. Dampak jangka panjangnya adalah penurunan kualitas kesehatan dan pendidikan generasi mendatang.

Kegagalan Pemerintah: Kebijakan yang Tidak Efektif

Kondisi ini memperlihatkan kelemahan fundamental dalam kebijakan ekonomi pemerintah saat ini. Deflasi yang berkepanjangan bukan hanya masalah teknis, tetapi cerminan dari ketiadaan strategi yang efektif dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Ketergantungan ekonomi pada konsumsi rumah tangga tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung peningkatan pendapatan masyarakat. Akibatnya, deflasi ini tidak hanya berpotensi mengurangi konsumsi, tetapi juga memperlambat produksi, yang pada akhirnya dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Efek domino ini semakin memperparah krisis ekonomi yang tengah dihadapi.

Lebih jauh lagi, ketergantungan pemerintah pada sumber pemasukan dari utang dan pajak sebagai solusi untuk menutupi defisit anggaran justru memperburuk situasi. Pajak yang lebih tinggi membebani rakyat, sementara utang yang semakin membengkak membatasi ruang fiskal pemerintah untuk memberikan stimulus ekonomi yang efektif. Pemerintah tampaknya tidak memiliki kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi ketidakstabilan ekonomi, sehingga masalah ini terus berlarut-larut.

Solusi Islam: Sistem Ekonomi yang Berbasis Kesejahteraan Rakyat

Dalam menghadapi krisis ini, sistem Islam menawarkan solusi yang lebih menyeluruh dan berfokus pada kesejahteraan individu per individu. Sistem ekonomi Islam tidak bergantung pada utang dan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Sebaliknya, negara di bawah sistem Islam memiliki sumber pemasukan yang lebih berkelanjutan, seperti zakat, kharaj, jizyah, dan sumber daya alam yang dikelola secara mandiri oleh negara.

Islam juga memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu. Dalam sistem Islam, pendidikan dan kesehatan adalah hak yang dijamin oleh negara. Negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis atau dengan biaya yang sangat terjangkau.

Hal ini memungkinkan setiap keluarga, terlepas dari tingkat pendapatan mereka, untuk mengakses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas tanpa terbebani oleh biaya yang tinggi.

Sebagai contoh, dalam sejarah pemerintahan Islam, layanan kesehatan dan pendidikan diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, menerapkan kebijakan yang memastikan setiap individu, termasuk yang paling miskin, mendapatkan akses yang adil terhadap kebutuhan pokok ini. Pendekatan ini mengakui pentingnya investasi jangka panjang dalam sumber daya manusia sebagai aset utama dalam pembangunan suatu bangsa.

Menuju Sistem Islam yang Kaffah

Dalam konteks Indonesia, penerapan sistem Islam secara kaffah dapat menjadi solusi komprehensif bagi masalah yang saat ini dihadapi oleh bangsa. Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan hanya memperparah ketimpangan ekonomi. Sistem ekonomi Islam, dengan fokus pada keadilan sosial dan distribusi kekayaan yang merata, akan memungkinkan terciptanya kesejahteraan yang lebih luas dan berkelanjutan.

Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma dalam pengelolaan negara. Pemerintah harus mulai mempertimbangkan alternatif yang lebih berbasis pada nilai-nilai keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan menerapkan sistem Islam, negara akan mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyat tanpa bergantung pada utang dan pajak yang mencekik. Negara juga harus memprioritaskan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan, sehingga masyarakat dapat hidup dengan lebih sejahtera.