Pemimpin Baru Dengan Harapan Baru? Tunggu Dulu
Oleh : Ilmasusi
Ibu Rumah Tangga
Presiden baru Prabowo telah membuat target genjot pertumbuhan ekonomi hingga capai 8%. Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat pada Rabu (9-10-2024).
Sementara itu, Jokowi mendukung pandangan penggantinya. Hal itu disampaikan dalam pidato sambutan untuk acara Kompas 100 CEO Forum di Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, Sabtu (12-10-2024). Jokowi begitu yakin target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Prabowo akan mampu diwujudkan.
Apakah Realistis?
Sementara itu pimpinan PKS
saat hadir di kediaman Prabowo baru-baru ini, mengatakan bahwa Presiden baru ini akan mampu membawa Indonesia menjadi leader di kawasan Asia Tenggara.
Sikap optimis terhadap sebuah impian itu sah saja, termasuk capaian sebuah kepimpinan. Namun, penting juga untuk berpikir realistis. Sebab secara real, di negeri ini diliputi problem multi dimensi. Aneka problem yang merupakan tinggalan dari rezim-rezim sebelumnya, belumlah terurai. Terutama di dua periode kepemimpinan terakhir, bukanlah perkara yang remeh. Bukan hal mudah karena masalahnya saling berkait satu sama lain. Tak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak dikungkung oleh persoalan. Negeri kaya dengan sejuta problema.
Bidang politik misalnya, tampaknya para pejabatnya kian tak memiliki empati. Urusan rakyat dijadikan kesempatan untuk meraih keuntungan. Di bidang ekonomi yng coraknya kapitalistik, negeri ini dikuasai pemilik modal. Utang ribawi tak pernah surut, terus menumpuk capai lebih dari Rp8.500 triliun. Sumber daya alam yang melimpah kini tengah dikuasai asing, hingga negara kehilangan modal. Negara tak kelar untuk menyejahterakan rakyatnya. Bukan membuat sejahtera, rakyat malah ditekan dengan aneka pajak. Gelombang PHK juga menambah masalah semakin pelik.
Di bidang bidang sosial, apalagi. Dekadensi moral melanda seluruh level generasi. Kasus kecanduan judol, tak hanya menimpa warga sipil, nqmun juga aparat kepolisian dan anggota dewan.
Di bidang pendidikan, digelarnya kurikulum merdeka tak membuat membuat generasi membaik bahkan semakin tumbuh dalam kebebasan. Ajakan untuk membuat lingkungan sekolah bebas dari buliying membuat guru tak berdaya untuk mendidik generasi. Ditambah dengan pengarusan moderasi beragama arahan Barat, membuat generasi muslim memahami agamanya dengan abu-abu.
Di bidang hukum dan hankam, negara semakin kehilangan fungsi kendalinya. Hukum dan perangkatnya menjadi mandul saat dikooptasi oleh kekuatan uang. Sementara di bidang hankam yang hari ini tampak kian melemah. Terbukti kasus-kasus perbatasan dan isu disintegrasi tak kelar untuk diatasi.
Pemerintah seperti kehilangan wibawa dan kemandirian. Kemajuan di berbagai bidang yang dinarasikan berhenti pada kalimat retoris di berbagai mimbar orasi.
Beragam problem yang mengemuka ini seluruhnya bersifat sistemis. Lalu, bagaimana bisa muncul optimisme kemajuan, hanya dengan pergantian sosok pemimpin, tanpa menyentuh sistemnya?
Semua persoalan itu tak mudah diselesaikan. Untuk menguraikan anaka masalah ini haruslah dengan membongkar akar persoalannya, yaitu sistem yang rusak.
Parameter Kemajuan Harus Benar
Mengukur kemajuan ekonomi suatu bangsa hanya dengan membandingkan angka pertumbuhan ekonomi dengan parameter
Gross Domestic Product (GDP), tidaklah tepat. GDP merupakan rata-rata aktifitas ekonomi suatu negara. Angka ini tak menggambarkan realitas kesejahteraan rakyat orang per orang. Indikator dan nilai akhir yang dicapai dari data GDP hanya merupakan nilai rata-rata yang bisa menyesatkan. Karena ada variabel penentu yang tidak masuk dalam perhitungan yaitu distribusi kekayaan.
Melihat sekilas pada profil pemerintahan yang baru dibentuk rezim saat ini menimbulkan pertanyaan besar. Koalisi yang gemuk di parlemen akan membuka peluang untuk mengubah negeri ini ke arah negara diktator. Ketiadaan institusi politik penyeimbang akan mempercepat perubahan itu. Kekuatan penyeimbang yang muncul dari masyarakat tentu tidak memadai. Itu juga bila masyarakatnya peka dan memiliki kepeduliannya. Belum lagi soal anggaran, yang dipastikan membengkak mengingat pasukan kabinet yang superbesar.
Adapun dari sisi kualitas sumber daya manusia juga masih abu abu. Baik kredibilitas maupun kapabilitasnya masih tanda tanya. Terdapat nama mantan menteri yang justru selama ini memunculkan berbagai persoalan. Ada juga dari kalangan artis, aktivis ormas, bahkan ustaz moderat yang menyerukan kebebasan.
Semua realitas ini sangat mungkin dalam sistem kepemimpinan demokrasi kapitalisme liberalis. Sistem kepemimpinan yang asasnya rusak seperti ini tidak bisa diharapkan akan membawa kebaikan.
Sumber petaka di negeri ini justru berasal dari sistem yang menganut “kedaulatan ada di tangan rakyat” dan “suara rakyat suara Tuhan” . Karena dari konsep yang salah ini mula dibuatnya berbagai aturan hidup. Aturan yang bersandar pada akal, bukan dari dzat pencipta alam yang mewajibkan manusia tunduk kepadaNya. Dalam sistem Kapitalisme, kepemimpinan menjadi sangat terbuka bagi siapapun, asal mampu membeli harganya. Adapun bila berhasil menjabat arah dan haluan kepemimpinan adalah menarik modal kembali, bukan pelayanan kepada rakyat.
Berharap memperoleh kebahagiaan atau meraih kesejahteraan pada kepemimpinan seperti ini hanyalah mimpi. Justru yang diproduksi sistem dengan kepemimpinannya adalah kerusakan. Kerusakan sistemik ini bakal terus diwariskan. Ancaman kehancuran bangsa dan negara pun tak bisa terelakkan, kecuali ada tekat yang kuat dari rakyat
untuk melakukan perubahan yang mendasar. Perubahan itu harus ditempuh tanpa kekerasan.
Peringatan dan Harapan
Allah Swt. telah memberi peringatan dalam firmanNya yang mulia. Dalam QS Thaha ayat 124 Allah Swt. berfirman, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan himpun mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Ibnu Abbas menafsirkan ayat peringatan ini bahwa makna “berpaling dari peringatan-Ku” artinya adalah, “Menentang perintah-Ku dan segala yang Aku turunkan kepada para rasul-Ku, melupakan keduanya dan mengambil petunjuk dari selain petunjuk itu (maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit), yaitu yang sempit di dunia.”
Pada saat yang sama, Allah Swt. juga memberikan arah untuk meraih kebahagiaan dan keberkahan di sebuah masyarakat. Dalam QS Al-A’raf ayat 96 Allah Swt. berfirman, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.”
Para mufasir sepakat menafsirkan, makna “beriman dan bertakwa” dalam ayat ini adalah kesiapan kaum tersebut untuk menjalankan seluruh syariat Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Jalan satu-satunya untuk keluar dari kehidupan serba sempit saat ini adalah menegakkan syariat Islam secara menyeluruh.
Harapan Itu Adalah Kepemimpinan Islam
Sistem kepemimpinan Islam lahir dari asas akidah yang lurus dan sesuai fitrah penciptaan. Aturan yqng lahir darinya berfungsi sebagai panduan dan solusi kehidupan. Jika ditegakkan dengan sempurna, aturan diturunkan oleh Sang Maha Pencipta ini dipastikan akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia dan seluruh alam semesta.
Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai amanah, berdimensi dunia dan akhirat. Alhasil, dalam Islam, mengukur keberhasilan pengurusan, bukanlah dilihat dari angka rata-rata. Kesejahteraan diukur dari kepastian terpenuhinya semua kebutuhan pokok dan kemudahan pemenuhan kebutuhan sekunder, bahkan tertier. Kesejahteraan yang harus dicapai berlaku bagi setiap orang, bukan rata-rata.
Setiap pemimpin tanggungjawabnya adalah dunia akhirat. Nabi saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Itulah makna pemimpin dalam Islam. Ia berperan sebagai pengurus dan penjaga yang diamanahi Allah untuk memastikan seluruh rakyatnya bahagia dan sejahtera. Semua itu hanya bisa terwujud melalui penerapan syariat Islam secara kafah, dalam sistem kepemimpinan bernama Khilafah, bukan dalam sistem kepemimpinan demokrasi.
Karenanya, berharap muncul pemimpin yang ideal pada sistem yang ada saat ini adalah mustahil. Siapa pun pemimpinnya, jika tidak menerapkan syariatnya Allah secara kafah, jangan berharap kehidupan ideal akan terwujud.
Posting Komentar