-->

Pengusaha Ngemplang Pajak, Potret Suram Penerapan Ekonomi Kapitalis

Oleh : Ria Imazya, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Terkuaknya kebocoran anggaran negara yang disebabkan pengusaha sawit nakal yang ngemplang pajak sebesar Rp300 Triliun akan segera ditindak oleh Kejaksaan Agung. Sejumlah pengusaha yang terlibat kasus tersebut bersedia membayar kewajiban mereka dalam beberapa tahap (cnnindonesia.com, 24/10/2024)

Meski akan segera ditindaklanjuti, namun hal ini menunjukkan negara tidak tegas terhadap pengusaha yang tidak membayar pajak yang diakumulasikan tahunan tersebut. Bagaimana bisa para pengusaha tersebut leluasa selama belasan tahun tidak membayar kewajiban pajaknya tanpa ketahuan. Belum lagi mereka juga bebas menyerobot lahan hutan hingga jutaan hektar milik negara tanpa tersentuh hukum seolah menganakemaskan para pengusaha. 

Tentunya hal tersebut menjadi bukti negara memihak pada pengusaha dan menambah daftar kebijakan yang memihak pengusaha dengan berbagai program keringanan pajak. Berbanding terbalik dengan kebijakan pajak atas rakyat. Rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak dan terus mengalami kenaikan. Sikap keras negara terhadap rakyat ini berbeda dengan sikap lunak negara terhadap pengusaha. Teringat slogan untuk rakyat agar bayar pajak, ‘Orang bijak taat bayar pajak’.

Jelaslah penerapan kebijakan pajak yang berbeda antara individu dan pengusaha adalah kesewenangan yang nyata dalam sistem ekonomi kapitalistik karena pendapatan utama negara dibebankan kepada pajak yang sangat menzalimi rakyat. Rakyat dipaksa untuk membayar pajak, jika tidak bayar, akan didenda, sementara pengusaha dibiarkan mengemplang pajak sampai bertahun-tahun. Dari sini jelas sudah, ketika pengusaha ngemplang pajak, maka inilah potret suram penerapan ekonomi kapitalis.

Berbeda dalam sistem ekonomi Islam yang memiliki pos pendapat negara. Dalam sistem keuangan negara Khilafah, baitul mal memiliki 3 pos sumber pemasukan yakni, bagian fa'i dan kharaj, bagian kepemilikan umum, dan bagian shadaqah. Semua itu diperuntukkan untuk mengurusi seluruh urusan rakyat agar mereka bisa merasakan kesejahteraan hidup.

Adapun kondisi khusus seperti adanya bencana alam, paceklik dan sebagainya yang mengakibatkan kas tidak mencukupi maka Khilafah akan menarik pajak namun tidak berlebih. Tentunya pajak ini diminta hanya untuk menutupi kekurangan tersebut. Penarikan pajak pun ada syarat dan ketentuannya yaitu hanya diambil pada kaum Muslim yang kaya saja dan itu pun sesuai kebutuhan saja. Dengan mekanisme pajak yang seperti ini tentu tidak akan ada rakyat yang terzalimi seperti yang terjadi saat ini.[]