-->

Penurunan Daya Beli Indikasi Resesi ekonomi?

Oleh : Fadhilah Nur Syamsi (Aktivis Muslimah)

Menurut laporan BPS, Indonesia mengalami deflasi mulai bulan Mei 2024 dengan angka 0,03%. Kemudian terjadi penurunan angka menjadi 0,08% di bulan Juni, 0,18% di bulan Juli, 0,03% di bulan Agustus dan 0,12% di bulan September. Perbandingan dengan bulan sebelumnya, Januari mencatat inflasi sebesar 0,00%, Februari inflasi sebesar 0,37%, pada bulan Maret 0,52%, dan 0,24% pada bulan April (Sumber: kumparan.com).

Dijabarkan oleh Eliza Mardian seorang Ekonom Pangan dan Pertanian dari CORE (Center of Reform on Economics) bahwa menurunnya harga pangan (Volatile food) sepadan dengan Indeks Harga Perdagangan Besar di sektor pertanian organik pada bulan September 2024 yang mana terus menurun sejak mencapai puncak pada bulan April 2024. Angka deflasi ini menunjukkan kondisi terburuk yang pernah terjadi di Indonesia sejak tahun 1999. Data konsumsi rumah tangga juga menunjukkan minim pertumbuhan yaitu 4,82% pada 2023 dibanding tahun 2022 yang mencapai 4,94%. Indonesia terakhir kali mengalami deflasi secara beruntun selama masa penyebaran virus Covid-19.

Bila dicermati, tampak sekali bahwa menurunnya daya beli pada kelas menengah disebabkan pada turunnya aktivitas konsumsi. Daya beli pada kelas menengah tergerus inflasi, meski tidak separah warga miskin. Bahkan, tak sedikit dari warga kelas menengah yang terjebak dalam fenomena "makan tabungan".

Dampak Deflasi 

Fenomena perilaku kelas menengah ini sejatinya wajar karena mereka memang kalangan yang semata-mata mengandalkan biaya hidup dari harta pribadi. Lain halnya dengan kelompok warga miskin kategori penerima bansos, mereka tetap memiliki sumber perolehan bantuan harta dari pemerintah secara berkala.
Selama ini kinerja perekonomian Indonesia ditopang sebagian besarnya oleh konsumsi rumahtangga. Deflasi mengindikasikan konsumsi rumah tangga mengalami penurunan daya beli yang signifikan. Hal ini diakibatkan oleh pendapatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan belanja barang dan jasa, sehingga rumah tangga menahan daya belinya. 

Deflasi yang  terjadi secara beruntun selama 5 bulan berturut-turut mengindikasikan pemerintah tidak berdaya mencegah penurunan daya beli masyarakat sehingga berimbas pada penurunan harga harga barang dan jasa. Dunia usaha secara tidak langsung dipaksa untuk mengurangi biaya produksi. Pengurangan produksi ini pada akhirnya akan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berpotensi pada PHK massal. Jelas ini dapat merugikan masyarakat dan membuat mereka semakin terpuruk.
Jika daya beli sektor rumah tangga terus menurun, maka dampak secara langsung adalah pada kesejahteraan anggota keluarga termasuk ibu dan anak, mengingat sebagian besar anggaran rumah tangga saat ini diketahui dikeluarkan untuk biaya pendidikan dan kesehatan.

Penurunan Pendapatan Para Pemilik Usaha

Diketahui deflasi terjadi pada harga bahan pangan strategis seperti cabai, telur, daging ayam dan tomat. Jika untuk biaya belanja kebutuhan pokok (sembako) saja keluarga sudah mengurangi konsumsinya, apa lagi untuk mengeluarkan biaya pendidikan dan kesehatan yang lebih mahal. Alih-alih terpenuhi, kebutuhan tersebut sangat mungkin akan dikorbankan mengingat rendahnya kemampuan daya beli rumahtangga serta tingginya biaya jasa pendidikan dan kesehatan.

Akibatnya, bukan tidak mungkin generasi akan mengalami penurunan kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan akibat lemahnya kemampuan daya beli rumahtangga. Lain halnya dengan Islam yang memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Semua akan selalu mampu mengakses baik secara tidak langsung maupun secara langsung. Layanan Pendidikan dan Kesehatan dijamin negara untuk setiap individu.

Jaminan Terbaik Kesejahteraan dalam Islam 

Perilaku konsumsi masyarakat dapat diatasi dan dikendalikan menurut kacamata syariat Islam agar mereka jangan sampai terperosok dalam kategori konsumtif. Pemborosan merupakan aktivitas yang sangat dicela oleh Islam. Namun sebaliknya, kapitalisme justru sangat mendorong aktivitas konsumtif bahkan pemborosan, karena memang kebiasaan pemborosan (berbelanja) adalah sumber pemasukan dan profit bagi para kapitalis.

Islam menjadikan kebutuhan primer manusia (pangan, papan, dan sandang) sebagai kebutuhan pokok tiap individu rakyat. Islam juga menetapkan kebutuhan akan keamanan, pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar seluruh masyarakat. Negara menerapkan sistem politik ekonomi Islam agar seluruh warga negara dapat hidup secara layak sebagai manusia. Negara juga menjalin hubungan secara global dan memberikan pertolongan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan sistem Islam.

Dalam konteks individu, kegiatan ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai ibadah, bukan materi semata yang menjadi orientasi (profit oriented), tetapi ridha Allah SWT. Hukum mencari materi pada dasarnya merupakan perkara yang mubah bahkan bisa menjadi wajib bagi seseorang apabila ia berperan sebagai penanggung jawab nafkah dalam keluarganya. Hanya saja dalam memperoleh materi tidak dengan menghalalkan segala cara, melainkan harus sesuai dengan hukum syariat.

Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat sebab inilah tugas umum negara. Dalam praktiknya, negara menerapkan hukum syariat dalam urusan ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Negara mengaplikasikan hukum-hukum Allah dalam menjalankan roda pemerintahan. Hukum Syariat digunakan sebagai pedoman berkegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah aktivitas yang zalim, eksploitatif, tidak transparan dan menyengsarakan umat manusia. 

Wallahu a'lam bishawab. []