-->

PHK Tanpa Henti, Negara Tak Peduli?


By : Hasna Hanan

KOMPAS.com - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat hampir 53.000 tenaga kerja sudah menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia sepanjang Januari hingga September 2024. 

Dilansir data dari Kemenaker, sebagaimana dikutip Kontan, pada September 2024, tercatat ada tambahan jumlah korban PHK sebanyak 6.753 orang. Sehingga, bila digabung sejak Januari lalu maka total pekerja yang terkena PHK mencapai 52.933 orang.

Kasus PHK terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah dengan total 14.767 kasus, lalu disusul Banten 9.114 kasus, dan DKI Jakarta 7.469 kasus.Apabila dilihat bedasarkan sektornya, kasus PHK terbanyak berasal dari sektor pengolahan yang mencapai 24.013 kasus. Kemudian, disusul oleh sektor jasa yang mencapai 12.853 kasus dan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 3.997 kasus.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui banyak perusahaan yang melakukan PHK belakangan ini dan masih melakukan mitigasi terkait banyaknya PHK akhir-akhir ini. “Kami terus melakukan memitigasi agar jangan sampai PHK itu terjadi. Jadi upaya-upayanya kami pertemukan, antara manajemen dengan pekerja, kami ketemukan itu, bisa menekan terjadinya PHK,” tutur Ida.

Penyebab Badai PHK

Maraknya PHK adalah akibat kesalahan paradigma ketenagakerjaan dan industri yang diterapkan negara yang menggunakan sistem kapitalisme.  Sistem ini menetapkan kebijakan liberalisasi ekonomi yang merupakan bentuk lepasnya tanggung jawab negara dalam menjamin terbukanya lapangan kerja yang luas dan memadai.

Disamping itu perusahaan swasta akan menjalankan prinsip-prinsip Kapitalisme dalam bisnisnya. para pekerja atau buruh hanya dipekerjakan sesuai kepentingan industri atau Perusahaan. Perusahaan  selalu berorientasi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan hal ini bisa dilakukan dengan mengecilkan biaya produksi.  Dan Pekerja dalam paradigma kapitalis hanya dipandang sebagai faktor produksi.

Sementara itu para pekerja tersudutkan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja dimana perusahaan diberikan kemudahan untuk melakukan PHK,  berbeda terbalik ketika mempekerjakan TKA yang dalam  persyaratannya makin dipermudah.

Hal ini semakin diperparah dengan jeratan perdagangan internasional wto yang memungkinkan barang-barang dari negara lain masuk ke pasar Indonesia dengan tarif rendah, belum lagi kebijakan pemerintah terhadap bahan baku import yang dinilai juga tidak berpihak pada industri dalam negri karena tingginya tarif bea cukai dan birokrasinya yang rumit.

Inilah yang terjadi di sistem kapitalisme sekuler kebijakan negara tidak akan berpihak pada pekerja buruh, mereka hanya diperas tenaga dan keringatnya untuk memenuhi keuntungan para bisnis oligarki, dan kondisi seperti ini tidaklah akan ditemui dalam sistem pemerintahan Islam. 

Islam Dalam Mengurai Persoalan PHK

Carut marutnya persoalan PHK ini karena Azas yang dibangun didalam menumbuhkan perekonomian pada azas sekuler liberal yang memberikan kebebasan dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan meskipun itu melanggar norma agama dan ini sangat berbeda jauh dalam sistem Islam yang mana Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja yang cukup sebagai salah satu mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.  

Negara juga wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok melalui berbagai mekanisne sesuai hukum syara diantaranya:
Pertama, mengatur kepemilikan harta, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Dengan kejelasan status kepemilikan harta, negara mengelola harta milik umum untuk kemaslahatan rakyat semata. Islam melarang penyerahan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta. Sehingga negara dapat membangun industri strategis, semisal pengilangan minyak, pengelolaan tambang, alutsista, pertanian, dan sebagainya yang memungkinkan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Penyediaan lapangan kerja dalam industri strategis juga akan mendorong masyarakat meningkatkan keterampilan dan kemampuannya.

Kedua, mendorong individu bekerja. Negara dapat memberikan modal atau insentif agar rakyat dapat memulai usahanya. Negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan agar mereka dapat bekerja pada beragam jenis industri dan pekerjaan. Dalam Islam tidak ada istilah orang menganggur.Oleh karenanya negara  akan membangun iklim usaha yang kondusif dan memberikan berbagai hal yang memudahkan rakyat dalam bekerja. 

Ketiga, menetapkan standar gaji buruh sesuai ketentuan Islam, yaitu berdasarkan manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan biaya hidup (living cost) terendah. Dengan begitu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan.

Jika terjadi perselisihan antara buruh dan majikan dalam menetapkan upah, pakar (khubara’) yang dipilih dari kedua belah pihak akan menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, negara memilihkan pakar dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan pengaturan ini, negara tidak perlu menetapkan upah minimum regional (UMR). Bahkan penetapan seperti ini tidak diperbolehkan karena dianalogikan pada larangan penetapan harga. Baik harga maupun upah sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi atas barang, sedangkan upah merupakan kompensasi atas jasa.

Hanya dengan sistem Islam yang komprehensif persoalan buruh PHK akan bisa terurai, maka kembali pada kehidupan Islam Kaffah yang akan membawa pada kesejahteraan rakyat yang haqiqi. Wallahu'alam bisshawab