-->

POLEMIK SERTIFIKASI HALAL ALA KAPITALISME

Oleh : A. Salsabila Sauma

Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan temuan MUI yang menyebutkan sejumlah nama produk yang mengandung kata “Tuyul”, “Tuak’, “Beer” hingga “Wine”, mendapat sertfikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Melalui investigasi dan pendalaman MUI dikonfirmasi bahwa nama produk tersebut valid mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur “Self Declare” sehingga tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI. Asrorun Niam menyebutkan bahwa penetapan halal dari produk yang jadi sorotan tersebut menyalahi standar fatwa MUI serta tidak melalui komisi Fatwa MUI. Sehingga pihaknya menegaskan bahwa MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk tersebut.
“Penetapan Halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” katanya.

MASALAH SELF-DECLARE DAN PRODUK NAMA HARAM

Berdasarkan pernyataan MUI, produk dengan nama-nama haram tersebut mendapat label halal dengan self-declare. Sebelumnya sertifikasi halal dengan metode ini memang banyak menuai pro dan kontra. Metode self-declare memang menguntungkan UMKM mikro namun juga menjadikan jaminan halal suatu produk menjadi rancu yang membuat masyarakat semakin kebingungan dengan keabsahan halal produk yang dijual.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin menyampaikan sejumlah penjelasan terkait produk tersebut. Pihaknya menyebutkan yang dipersoalkan adalah penamaan suatu produk sehingga bukan kehalalan produknya.

“Pertama harus kami jelaskan bahwa persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya. Artinya masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku,” ucapnya. _(liputan6.com)_

Namun pernyataan tersebut menghasilkan lebih banyak ambiguitas dalam permasalahan ini. Kehalalan suatu produk tentu tidak dapat dipisahkan dengan penamaan produk itu sendiri. Di tambah nama-nama yang dipakai telah dikenal luas sebagai nama-nama produk haram. “Wine” dan “Beer” telah diketahui masyarakat luas sebagai produk minuman beralkohol. Sudah seharusnya otoritas kebijakan halal tidak memperbolehkan penggunaan nama-nama itu lagi pada produk halal agar tidak menimbulkan kernacuan antara mana yang halal dan yang haram.

AKIBAT SISTEM KAPITALISME

Sertifikasi kehalalan produk mestinya dipegang oleh otoritas yang memang mengerti dengan standar halal dan haram suatu benda. Meningkatknya kritis halal dan haram makanan oleh umat muslim membuat semakin tingginya permintaan akan sertifikasi halal suatu produk. Sebelumnya otoritas ini dipegang oleh MUI hingga akhirnya diganti oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama tahun lalu.

Perubahan otoritas ini banyak menuai pro dan kontra. Salah satu yang paling disoroti adalah munculnya lading cuan baru bagi para kapitalis dengan adanya sertifikasi halal ini. Para kapitalis ingin meningkatkan keuntungan dengan membuka keran cuan di sebelah sini. Mengabaikan kembali norma keagamaan demi materialis semata. 

Pengujian awal dan berkala terhadap kehalalan produk sepenuhnya diserahkan kepada produsen. Apabila produsen mau dan mampu membayar sertifikasi maka otoritas akan memberikan label halal produk. Namun jika produsen tidak mau atau tidak sanggup membayar untuk sertifikasi halal maka produk yang dijual sampai kapan pun tidak akan mendapat sertifikat halal meskipun produk yang dijual berdzat halal. Alhasil produsen yang tidak memiliki label halal pada produknya kemungkinan akan mendapat lebih sedikit profit dibanging dengan yang sudah memiliki label halal. Dan lagi-lagi sistem ini merugikan para produsen kecil.

Bukan hanya produsen. Para konsumen pun akan ikut dirugikan. Sistem kapitalisme tidak akan menjaga para konsumen, khususnya konsumen muslim, dalam memilih produk. Mereka akan dibiarkan memilih produk apapun tanpa ada pemisah antara produk yang halal dan yang haram. Kerancuan dibiarkan terus terjadi diantara yang halal dan haram. Mirisnya, keadaan ini dinilai aman dan lumrah saja oleh setiap orang karena merasa beban untuk memakai suatu produk hanya dimiliki setiap individu saja. Negara tidak ikut mengatur.

BAGAIMANA SOLUSI ISLAM?

Bila itu Negara Islam, tentu kebijakan akan disandarkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Islam memiliki aturan tentang rincian suatu zat atau benda. Mana yang halal (boleh dikonsumsi) dan mana yang haram (tidak boleh dikonsumsi). Rincian zat ini disandingkan dengan dalil-dalil syariat sehingga tidak akan ada kerancuan ataupun penyelewengan zat dalam produk yang akan dikonsumsi oleh manusia

Negara Islam akan berperan penting dalam menjaga dan melindungi umat. Negara Islam akan memastikan rakyatnya jauh dari benda-benda dan perbuatan haram. Layanan jaminan kehalalan produk akan pegang oleh Negara, bukan produsen. Negara bertanggung jawab penuh untuk memberikan jaminan kehalalan setiap produk. Mulai dari produksi hingga distribusi sehingga semua proses dapat dipastikan kehalalannya dan jauh dari keharaman. Jika Negara yang bertanggung jawab, layanan yang diberikan pun menjadi murah bahkan gratis.

Negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Jika ditemukan peredaran barang haram di pasaran, maka Negara akan memberlakukan sanksi ta’zir, baik kepada pelaku muslim maupun non - muslim. 

Adapun bagi ahli dzimmah (Kafir dzimmi), Negara membebaskan mereka untuk mengkonsumsi makanan dan minuman menurut aturan agama mereka. Namun produk-produk tersebut hanya boleh diperjual-belikan di antara mereka saja. Bukan di tempat umum seperti toko atau pasar umum. 

Negara berparadigma Islam akan memberikan rasa tenang sebab umat Islam dijamin keterikatannya dengan syari’at Islam.

Wallahu'alam bishowab