-->

Polemik Sertifikasi Halal Ala Kapitalisme

Oleh : Luthfi Nurul Umamah

Memilih produk halal di negara dengan mayoritas penduduk muslim seharusnya bukanlah persoalan yang sulit dan mudah ditemukan. Namun, bagaimana jadinya jika proses sertifikasi halal masih mengundang banyak perdebatan? Baru-baru ini beredar video kontroversial terkait penamaan produk makanan seperti "tuyul", "tuak", "bir", dan "wine" yang mendapat sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Miris sekali ketika nama-nama tersebut terpampang pada produk yang sudah memiliki label halal. Hal ini tentu dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat karena membuat bias atas kehalalan sebuah produk yang dipasarkan dengan penamaan berkonotasi negatif, bahkan mengandung unsur yang diharamkan.

Aisha Maharani, seorang konsultan halal, menyebutkan dalam unggahannya di Instagram bahwa sertifikat halal tersebut didapatkan melalui jalur self-declare, dan kasus "wine halal" ini termasuk dalam penamaan produk yang berasosiasi dengan zat haram. Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa pendampingan sertifikasi halal belum berjalan sebagaimana mestinya, karena masih ada produk yang lolos verifikasi meskipun belum sesuai dengan kaidah syariat. Hal ini mungkin terjadi karena berbagai faktor, baik kurangnya pemahaman pendamping tentang halal-haram maupun dampak dari kapitalisme, yang pada akhirnya melahirkan oknum-oknum dengan berbagai kepentingannya sehingga sertifikasi halal dijadikan ladang bisnis.

Polemik Sertifikasi Halal

Di Indonesia, pemberian label halal bisa didapatkan melalui dua jalur, yaitu reguler dan self-declare. Perbedaan mendasar di antara keduanya terletak pada prosesnya, di mana jalur reguler memerlukan pengujian kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) di bawah naungan MUI, sedangkan sertifikasi halal self-declare tidak melalui audit LPH. Kehalalan produk didasarkan pada pernyataan pelaku usaha dan kemudian diverifikasi oleh pendamping Proses Produk Halal (PPH). Pada jalur ini, sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH di bawah Kementerian Agama.

Maraknya kasus kontroversial terkait penamaan produk ini muncul karena label halal yang didapatkan melalui jalur self-declare hanya didasarkan pada pernyataan pemilik usaha tanpa audit dari LPH dan tanpa penetapan kehalalan oleh Komisi Fatwa MUI. Akibatnya, muncul penamaan produk yang tidak sesuai dengan kaidah syariat. Padahal, dalam Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 disebutkan bahwa produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif tidak dapat disertifikasi halal. Begitu pula dengan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 20 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa salah satu syarat sertifikasi halal adalah penamaan produk yang tidak bertentangan dengan syariat Islam atau etika. Namun, kenyataannya masih ada produk yang tidak sesuai tetapi tetap mendapatkan label halal.

Memastikan Kehalalan Suatu Zat/Benda dalam Islam

Islam memiliki aturan tersendiri untuk menetapkan apakah suatu benda atau zat dapat dikatakan halal atau haram. Hal ini seharusnya dapat difasilitasi oleh negara sebagai pelindung agama rakyatnya. Bukankah setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya?

Sertifikasi halal merupakan salah satu layanan yang diberikan oleh negara dan dipermudah dalam pelaksanaannya. Melalui program yang terarah serta pemahaman yang utuh tentang kaidah syariat dalam menetapkan halal dan haram, negara dapat memastikan kehalalan dan ketayyiban setiap benda atau makanan yang dikonsumsi manusia. Selain itu, tidak hanya menerbitkan sertifikat halal, tetapi juga perlu adanya pengawasan dan audit yang dilakukan secara berkala pada penyedia produksi, seperti tempat pemotongan hewan, gudang pangan, atau pabrik tempat diproduksinya suatu zat atau benda. Bahkan, pengawasan juga diperlukan dalam distribusi ke pasar-pasar untuk memastikan kehalalan produk serta mencegah adanya kecurangan dan kamuflase.