-->

Polemik Tunjangan Rumah Dinas Anggota Dewan


Oleh : Nining Ummu Hanif

Baru saja dilantik sebanyak 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 pada tanggal 1 Oktober 2024 langsung menuai sorotan masyarakat. Pasalnya rencana pemberian tunjangan rumah dinas kepada anggota DPR menuai polemik. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar menyampaikan bahwa setiap bulan anggota DPR akan menerima tambahan tunjangan untuk perumahan sekitar Rp50-70 juta. Hal tersebut ditegaskan dalam surat Setjen DPR RI, Indra Iskandar No.B 7RT.01/09/2024 tanggal 25 September 2024 yang menyebutkan bahwa anggota DPR RI periode 2024-2029 tidak akan diberikan fasilitas rumah dinas tetapi akan diberikan tunjangan perumahan. Tunjangan rumah dinas ini diberikan hanya karena rumah dinas yang sudah ada dianggap sudah tidak layak pakai. 

Sementara kompensasi yang diterima anggota DPR meliputi gaji pokok beserta tunjangannya sudah dijelaskan pada surat edaran sekjen DPR RI NO.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan pada surat menteri keuangan nomor S-520/MK.02/2015. Tak hanya gaji pokok, anggota dewan juga mendapatkan berbagai fasilitas dan tunjangan fantastis yang nominalnya sesuai dengan jabatannya. Jadi semakin tinggi jabatan maka tunjangan yang didapat semakin besar. Adanya tunjangan rumah dinas bagi anggota dewan ini menambah panjang daftar tunjangan dan fasilitas yang diterima anggota dewan.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamata mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR Periode 2024-2029 merupakan bentuk ‘pemborosan’ uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik. ICW melakukan kalkulasi dengan perkiraan tunjangan Rp 50 juta sampai dengan Rp 70 juta untuk 580 anggota DPR selama 60 bulan atau 5 tahun. Hasilnya, total anggaran yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun. Disinyalir pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. (kompas.com,11/10/24)

Selain itu akan muncul masalah baru dalam peralihan dari pemberian rumah fisik menjadi tunjangan, yaitu akan sulit mengawasi alokasi penggunaan tunjangan tersebut. Terlebih lagi tunjangan tersebut ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan termasuk dalam komponen gaji. Hal ini yang memunculkan dugaan bahwa kebijakan tunjangan tersebut hanya untuk memperkaya Anggota DPR tanpa mementingkan kepentingan publik. 

Pantaskah?
Kebijakan tunjangan rumah dinas bagi anggota dewan ini sangat ironi dengan masyarakat menegah kebawah yang sangat sulit memiliki rumah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 9,9 juta masyarakat Indonesia saat ini belum punya rumah.
(metrotv, 31/5/24). Terlebih kondisi ekonomi yang makin sulit, pendapatan turun dan ada beragam beban pajak termasuk Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang alih-alih memberi solusi tapi nyatanya malah menambah beban rakyat. Tunjangan rumah dinas bagi dewan bukan menjadi solusi tempat tinggal tetapi justru akan semakin manambah kesenjangan antara anggota dewan dengan rakyat. 

Berbagai tunjangan dan fasilitas yang diberikan kepada anggota dewan tentu diharapkan akan mempermudah tugas mereka dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu selain membahas dan merumuskan kebijakan politik, DPR juga memiliki peran melaksanakan fungsi legislasi untuk menghasilkan undang-undang yang dapat memajukan kepentingan rakyat. Tapi pada kenyataannya anggota dewan periode sebelum- sebelumnya malah menghasilkan undang- undang yang sangat tidak berpihak kepada rakyat yang memilihnya. Misalnya saja DPR bergerak cepat mengesahkan UU Cipta Kerja meski ditolak keras oleh masyarakat karena hanya menguntungkan pengusaha tetapi merugikan pekerja. Sebaliknya RUU yang pro rakyat terbengkalai tidak segera disahkan. Terlihat juga bahwa DPR pro penguasa seperti ketika menganulir putusan MK dalam RUU Pilkada .Terlebih lagi hasil riset ICW mendapati sebanyak 354 dari total 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2024-2029 merupakan pengusaha dan 30 persen DPR keterkaitan dengan dinasti politik.Dengan komposisi anggota DPR seperti itu, bisa diprediksi kinerja mereka cenderung mengutamakan kepentingan bisnis saat membahas berbagai rancangan undang-undang. Ini adalah keniscayaan dalam demokrasi kapitalisme yang menjadikan politik itu berbiaya mahal. Anggota dewan perlu sokongan dari pengusaha dan terjadilah politik transaksional yang saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa.

Wakil Rakyat dalam Islam
Berbeda dengan sistem Islam, wakil rakyat disebut majelis ummah yang berbeda dalam peran dan fungsinya dengan anggota dewan dalam demokrasi. Majelis ummah tidak melakukan legislasi hukum, karena itu adalah wewenang khalifah selaku kepala negara, melalui adanya ijtihad dan dalam konteks tabani (adopsi) hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan dalam demokrasi tugas DPR adalah melegislasi hukum. Majelis Ummah adalah orang-orang yang mewakili kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan bagi Khalifah.  

Eksistensi Majelis Ummah juga didasarkan pada dalil-dalil syariah yang mewajibkan kaum Muslim melakukan koreksi pada penguasa. Majelis ummah murni mewakili umat yang bertugas sebagai penyambung lidah rakyat.Mereka mengemban tugasii sebagai amanah yang nantinya akan dipertanggung jawabkan kepada Allah. Majelis ummah mengemban amanah atas dasar iman dan kesadaran yang utuh sebagai penyambung lidah rakyat dan mengutamakan kepentingan rakyat. Selain itu Islam memiliki aturan terkait kepemilikan dan pemanfaatan harta. Sehingga tidak akan ada monopoli dan penyalahgunaan wewenang terkait harta yang bisa disalahgunakan. Tidak ada kesenjangan antara anggota majelis ummah dengan rakyat.