-->

Refleksi Hari Guru Dunia: Perlu Revitalisasi Guru

Oleh : Ummu Sulthoni Yusuf

Sejarah Hari Guru Sedunia diawali dengan berlangsungnya konferensi UNESCO di Paris, berakhir pada 5 Oktober 1994. Tanggal konferensi itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Guru Sedunia oleh UNESCO. Ada 76 perwakilan negara dan 35 organisasi Internasional yang ikut terlibat di dalam konferensi tersebut.

Konferensi UNESCO di Paris membahas seputar _Recommendations Concerning the Status of Teachers._ Makna dari kata guru dalam rekomendasi tersebut adalah semua pengajar di sekolah yang bertanggung jawab untuk pendidikan murid.

Sementara itu, maksud dari status ialah kedudukan atau penghargaan yang diberikan kepada para guru sebagaimana dibuktikan dengan tingkat apresiasi akan pentingnya fungsi dan kompetensi mereka dalam melaksanakan pekerjaan sebagai seorang guru.

Konferensi UNESCO berlangsung sejak 21 September - 5 Oktober 1994 yang memberikan rekomendasi-rekomendasi mengenai sikap profesional seorang guru. Rekomendasi tersebut diterapkan kepada seluruh guru, baik guru yang mengajar di sekolah umum atau pun sekolah privat.

Lebih lanjut, dalam konferensi tersebut dilaksanakan juga penandatanganan dokumen UNESCO mengenai status guru di dunia yang meliputi standar perekrutan, pelatihan guru di dunia, dan kondisi pekerjaan guru. Menurut UNESCO, dengan adanya peringatan Hari Guru Sedunia juga termasuk bentuk dari pemahaman, apresiasi, dan kepedulian terhadap para guru. UNESCO memandang pendidikan sebagai sebuah pengubah kehidupan dan inti dari misi mereka, yaitu membangun perdamaian, memberantas kemiskinan, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Maka dari itu, UNESCO juga menaruh perhatiannya kepada para guru yang dipandang dapat memajukan pendidikan dunia. Selain itu, tujuan diperingatinya Hari Guru Sedunia adalah sebagai bentuk dukungan untuk para guru di seluruh dunia.

Perayaan Hari Guru

Untuk merayakan Hari Guru Sedunia, UNESCO dan Education International (EI) melakukan kampanye setiap tahun untuk membantu memberikan pemahaman yang lebih baik kepada dunia tentang guru dan peranannya.

Setiap tahunnya, kampanye yang dilaksanakan mengusung tema yang berbeda. Contohnya, pada 2017, kampanye yang digencarkan UNESCO dan EI mengusung tema 'Memberdayakan Guru'. Lalu, pada 2018, tema yang diangkat adalah 'Hak atas Pendidikan Berarti Hak atas Guru yang Berkualitas'.

Tema ini sekaligus memperingati 70 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948 dan berfungsi sebagai pengingat bahwa hak untuk pendidikan tidak bisa terwujud tanpa adanya seorang guru yang terlatih dan berkualitas.  

Guru Harus Putus Kultur Kekerasan di Sekolah, Bukan Jadi Pelaku

Pada Kamis (26/9/2024), seorang siswa SMP Negeri 1 STM Hilir berinisial RSS dikabarkan wafat setelah menjalani hukuman dari guru agamanya sebab tidak hafal ayat di kitab suci. Karenanya, RSS dihukum seorang guru honorer di sekolah itu untuk melakukan squat jump sebanyak 100 kali. Setelah dihukum, korban sempat dirawat di Rumah Sakit Sembiring, Kabupaten Deli Serdang. Namun, kondisinya terus menurun hingga kemudian meninggal.

Kejadian lainnya terjadi di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. KAF (13) tewas setelah mengalami pendarahan hebat akibat terkena lemparan kayu dari seorang ustadz di pesantren tersebut. Kejadian itu diduga terjadi saat ustadz itu memarahi santri lain yang tidak segera bersiap mandi. Ustadz melempar balok kayu kepada santri yang tak bergegas mandi. Namun, nahas korban bertepatan melintas.

Ternyata di balok kayu yang dilempar ustadz itu terdapat paku yang kemudian menancap di kepala korban. KAF tak sadarkan diri setelah paku yang menancap dicabut. Dia tewas setelah sempat dilarikan ke rumah sakit.

Iman yang juga Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai bahwa guru yang melakukan kekerasan terhadap murid perlu mendapat kecaman keras. Menurut Iman, salah satu faktor langgengnya kekerasan di sekolah adalah minimnya pengetahuan guru dan siswa soal bentuk-bentuk kekerasan.

Sebagai guru, Iman Zanatul Haeri, sadar betul bahwa memutus lingkaran kekerasan di sekolah jadi salah satu tugas utamanya. Iman menyebut bahwa guru harus menjadi sentral moral dan etika bagi siswa. Maka saat muncul sejumlah kasus kekerasan yang diduga melibatkan guru di sekolah belakangan ini, Iman merasa miris.

Permendikbud Nomor 46/2023

Menurut Iman, Permendikbud Nomor 46/2023 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan memang sudah membawa angin segar. Namun, sekolah-sekolah kebanyakan menerapkan aturan ini secara parsial dan sekadar untuk menggugurkan kewajiban.

Iman mengakui bahwa ekosistem dan lingkungan sekolah saat ini belum mampu menjadi pelindung siswa dari kekerasan.

Misalnya, Permendikbud Nomor 46/2023 mengamanatkan sekolah untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (Satgas PPKSP). Iman menilai, memang banyak sekolah sudah melaksanakan mandat tersebut. Kendati demikian, setelah tim terbentuk, kebanyakan sekolah tidak terlalu aktif mensosialisasikan dan menjalankan isi Permendikbud Nomor 46/2023.

“Jadi, sekolah berlomba-lomba membuat tim, tapi untuk menggugurkan kewajiban saja,” ujar Iman.

Padahal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga pernah mengeluarkan Permendikbud Nomor 82/2015 untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Beleid ini berisi pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Namun, aturan ini pun belum terlaksana maksimal sehingga kultur kekerasan di sekolah terus terjadi.

Iman memandang bahwa Permendikbud baru dan lama soal pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan belum maksimal implementasinya sebab tidak diawasi dan kurang mendapat perhatian. P2G, kata dia, memang mendapati banyak sekolah dan guru-guru sudah sadar akan kehadiran beleid ini, tapi mereka tidak diberikan waktu dan pelatihan untuk mempelajarinya.

Guru di sekolah pun, menurut Iman, terbebani waktu dan pikirannya karena kewajiban-kewajiban administratif dari pemerintah. Belum lagi, mereka harus menyiapkan materi untuk mengajar. Maka tak mengherankan bila guru-guru belum sepenuhnya memahami Permendikbud Nomor 46/2023.

Sementara itu, data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa kasus kekerasan di satuan pendidikan selama Januari-September 2024 sudah mencapai 36 kasus. Di periode yang sama, sudah ada 7 siswa yang tewas karena kekerasan di satuan pendidikan.

Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kebijakan yang mengandung kekerasan. Tercatat pada September 2024, terjadi lonjakan 12 kasus kekerasan di satuan pendidikan, terdiri dari enam kasus kekerasan seksual, lima kasus kekerasan fisik, dan satu kasus kekerasan psikis.

“FSGI mendorong Kemendikbudristek terus melakukan sosialisasi dan bimbingan teknik untuk memastikan Permendikbud Nomor 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) dapat diimplementasikan dengan tepat,” ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti.

Data FSGI juga menunjukkan sebanyak 66,66 persen kasus kekerasan terjadi pada satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek, sementara 33,33 persen kasus terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Pelaku kekerasan yang tercatat mencapai 48 orang dan korban mencapai 144 peserta didik.

Dari data pelaku kekerasan di satuan pendidikan, tertinggi dilakukan pelaku peserta didik teman sebaya (39 persen), guru (30,5 persen), kepala sekolah atau pimpinan ponpes (14 persen), kakak senior (8 persen), pembina pramuka (5,5 persen), dan pelatih ekskul (3 persen).

Retno juga mendorong Kementerian Agama RI menerapkan kebijakan yang sama dengan Kemendikbudristek dengan sosialisasi dan implementasi Bimtek PMA Nomor 73/2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Madrasah dan Pondok Pesantren.

Di sisi lain, FSGI mengapresiasi Direktorat SMP Kemendikbudristek yang tahun lalu sudah melakukan sosialisasi memberikan bimtek bagi tim PPK sekolah agar Permendikbudristek Nomor 46/2023 bisa dipahami dan diimplementasikan.

Retno tetap mendorong agar Tim PPK sekolah terus mempelajari Persekjen Kemendikbudristek Nomor 49/M/2023 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.

“Mengingat banyak sekolah yang belum tahu juknis ini dan masih kebingungan dengan penanganan kekerasan di satuan pendidikan,” ucap Retno.

Urgensi Peran Satgas

Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang bahwa kekerasan di sekolah yang dilakukan guru dan kepala sekolah menandakan kekeliruan pemahaman terhadap hakikat pendidikan.

Sekolah seharusnya menjadi tempat dan ruang aman bagi anak-anak untuk belajar, bukan justru jadi penjara yang penuh hukuman fisik jika anak gagal belajar dan gagal disiplin.

“Katakanlah kalau pakai punishment, itu sifatnya yang edukatif. Bahkan untuk pelajaran olahraga, juga perlu melihat ketahanan fisik anak didik, tidak boleh sembarangan,” ujar Edi.

Solusi dalam Islam

Peringatan tahun ini mengangkat tema 'Valuing teacher voices: towards a new social contract for education (menghargai suara guru: menuju kontrak sosial baru untuk pendidikan)' Tema ini diangkat untuk menyoroti pentingnya 'suara' seorang guru. Pasalnya, suara para guru sangat diperlukan agar mereka dapat memberikan pembinaan dan memanfaatkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya. 

Sedemikian penting peran guru, namun fakta di Indonesia justru menunjukkan hal sebaliknya. Guru dihadapkan pada berbagai persoalan, baik gaji yang belum mensejahterakan, kurikulum yang membingungkan dan menjauhkan anak dari perilaku utama, juga tekanan hidup yang tinggi. Guru juga tak dihargai sepatutnya, hanya dianggap sebagai faktor produksi, pendidik siswa Tata kehidupan sekulerisme pun mempengaruhi jati diri guru, sehingga tega melakukan tindakan buruk pada siswa, berupa kekerasan fisik maupun seksual, bahkan mengakibatkan siswa meregang nyawa.

Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu menghasilkan guru yang berkualitas, ber-Syaksiyah Islamiyah, kemampuan terbaik, dan mampu mendidik siswanya dengan baik pula.

Islam sangat menghormati dan memuliakan guru, diantaranya memberikan gaji yang tinggi. Islam mengharuskan calon guru berkriteria tinggi, karena tugasnya berat, yaitu menjadi pembentuk Syaksiyah Islamiyah pada diri anak didik. Para guru adalah hamba yang takut pada Allah.

Wallahu'alambissawab