-->

SDA di Tangan Kapitalis Nasib Rakyat Makin Tragis

Oleh : Soelijah W. (Aktivis Muslimah)

Bumi dan air serta seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3,  seyogyanya dikelola dengan kedaulatan penuh oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyatnya. Apakah hal ini sudah terpenuhi dan terwujud di negara Indonesia yang menerapkan sistem kapitalisme? Jawabannya tentu saja belum. Tata kelola SDA saat ini begitu amburadul. Pengelolaan diserahkan kepada swasta dan asing, bahkan ormas pun diizinkan untuk ikut andil mengelolanya. Walhasil rakyat pun tidak menikmati hasilnya.

Bahkan, berulang terjadi peristiwa tragis dalam pengelolaan tambang di negeri kita. Tertangkap warganegara Cina yang dituduh sebagai penambang emas ilegal di kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Tidak saja meraup emas seberat 774,27 kg, namun juga perak dengan berat 937,7 kg. Dilansir dari ccnindonesia.com, perbuatan mereka ini telah menyebabkan kerugian negara sebesar 1,02 triliun. Ini menjadi bukti bahwa penguasa Indonesia cuci tangan dan setengah hati bertindak atas semua persoalan pengelolaan sumber daya alam dengan menyematkan nama penambang ilegal.

Selain pemerintah Indonesia tidak memiliki big data potensi alam, pemerintah juga tidak memiliki kedaulatan kelola di semua wilayah tanah air. Sanksi yang dikenakan 5 tahun penjara dengan denda maksimal 100 milyar yang terdapat dalam pasal 158 Undang-Undang no.3 Tahun 2020  tentang Mineral dan Batubara, faktanya tidak mempunyai efek jera dan tak mampu menjaga sumber daya alam dari penjarahan pihak-pihak asing. Baik sebagai perseorangan maupun dalam bentuk perusahaan yang berniat merugikan negara Indonesia. 

Belum lagi kegagalan memetakan kekayaan alam dengan baik sehingga terjadi kerusakan alam. Salah satunya adalah longsor penambangan di Kabupaten Solok, Sumatra Barat, sehingga memakan 11 korban jiwa (www.voaindonesia.com, 28 September 2024). 

Penting sekali pengelolaan dengan cermat berbagai potensi tambang baik yang besar maupun kecil. Penetapan pihak-pihak yang mengelola apakah itu individu atau negara yang selaras dengan sumber daya alam yang telah dikaruniakan Allah SWT. Itu semua agar rakyat mendapatkan manfaat optimal dan mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya. Tujuan mulia ini hanya bisa terwujud dengan aturan Islam dalam bentuk negara Khilafah.

Ada beberapa dalil dalam Islam yang mengatur sumber daya alam, diantaranya:
Harus ada undang-undang yang mengatur sebagai ra'in/pengurus dan junnah/perisai (HR. Bukhari & Muslim) 

Ada 3 hal yang tidak boleh dilarang (orang lain dihalangi untuk memanfaatkannya), rerumputan, air dan api (HR. Ibnu Majah)

Dari Abyad bib Hammal, dia mendatangi Rasulullah SAW dan meminta beliau SAW agar memberikan tambang garam kepadanya, Nabi SAW pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyaf bin Hammal RA telah pergi ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata: "Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa al-'idd) ", Lalu Rasulullah SAW mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)". (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) dan ada beberapa hadits yang sejenis.

Dalil-dalil tersebut menjadi dasar bagaimana harusnya negara mengatur pengelolaan tambang dan memetakan wilayah tambang berdasar syariah. Penentuan banyak sedikitnya deposit tambang yang terkandung ditentukan oleh ahli terkait.

Al-Allamah Syaikh Abdul Qadim Zalum dalam bukunya Al Amwal fi Daulah al-Khilafah halaman 54 menjelaskan konsep kepemimpinan dan pengelolaan tambang dalam Islam yang berkaitan dengan konsep kepemilikan, yaitu:
Milik individu, yakni harta tambang dalam jumlah sedikit, dimana wilayah tersebut tidak membahayakan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi, maka Negara Khilafah mengizinkan individu atau swasta dengan syarat prosedur. Di sini ada peran Qadhi Hisbah yang akan mengontrol kualitas pengelolaan tambang individu atau swasta secara berkala sehingga memastikan dapat menjamin keselamatan (safety) bagi rakyat, antara lain dari bencana longsor dan kerusakan lingkungan,
Milik umum/milkiyah 'ammah, yakni harta tambang dengan deposit melimpah, maka negara khilafah sebagai wakil umat akan mengelola tambang tersebut secara mandiri tanpa campur tangan individu (swasta), karena monopoli tambang hukumnya haram. Dengan ini negara mampu menutup celah perampokan tambang oleh pihak asing,
3.Milik Negara, yakni sumber daya alam yang dikonservasi (himma) diperuntukkan bagi kebutuhan negara dalam rangka menjaga fungsi ekologi lingkungan.

Seluruh hasil pengelolaan tambang akan dikembalikan pada umat dengan pendistribusiannya 
secara langsung dalam bentuk subsidi energi dan sejenisnya, atau secara tidak langsung dalam bentuk jaminan gratis kebutuhan publik, antara lain pendidikan bermutu dan kesehatan yang layak, dibiayai dari pos kepemilikan umum/Baitul Mall.

Alhasil pengelolaan yang sesuai dengan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai negara Khilafah baik oleh negara ataupun individu (swasta) maka hasilnya akan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. 

Wallahu'allam bishshawwab. []