-->

SERTIFIKAT HALAL DIDALAM KAPITALISME BERDASARKAN MANFAAT BUKAN SYARIAT

Oleh : Sri wijayanti Spd 
(Aktifis dakwah)

Kaum muslimin wajib menjadikan setiap perbuatannya berdasarkan syariat islam bukan manfaat. Sebab mengimani bahwa perbuatannya didunia kelak akan dipertanggungjawabkan diakhirat. Adalah yang wajib diimani. Inilah yang menjadi dorongan bagi setiap kaum muslimin untuk senantiasa terikat dengan perintah Allah swt. Oleh karena itu tidak boleh menjadikan manfaat ataupun untung rugi menjadi standar perbuatan, sebab bisa jadi hal tersebut bertentangan dengan hukum syara’.

Begitu juga dengan hal benda ataupun barang, didalam islam hukum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sehingga jelas barang yang halal boleh dikonsumsi, sedangkan barang yang haram wajib ditinggalkan meski memiliki sejuta manfaat dan mendatangkan banyak keuntungan menurut manusia. Oleh karena itu, wajib bagi Negara untuk menjamin dan menjaga makanan yang dikonsumsi setiap muslim adalah halal dan thoyib. 

Namun sayangnya, dinegara yang mayoritas muslim, pemimpinnya juga muslim ditemukan peredaran barang haram ditengah masyarakat bahkan mirisnya dilabeli dengan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kementerian agama. Tentu ini harus menjadi perhatian besar bagi umat islam, sebab hal ini meresahkan kaum muslim. Apabila barang yang jelas hukumnya haram dilabeli dengan sertifikat halal oleh kementerian agama, lantas siapa yang akan memberikan jaminan halal dan thoyib?

Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare.Wartabanjar.com.jakarta/01/10/202

4. Produk –produk yang jelas keharamannya seperti tuak, beer, dan wine seharusnya tidak beredar didalam Negara yang mayoritas muslim, apalagi sampai mendapat sertifikat halal. MUI sebagai lembaga Majelis Ulama Indonesia sebagai representative dari kaum muslimin, memiliki peran penting dalam menjaga umat dari sesuatu yang haram, sehingga tidak ada barang yang beredar ditengah tengah kaum muslim barang yang diharamkan Allah apalagi sampai memiliki sertifikat halal.

Didalam islam Negara menjamin dan menjaga makanan halal dan thoyib
Didalam sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan, umat islam memang harus lebih cerdas dan dituntut keras untuk lebih berhati –hati. Sebab, tidak ada jaminan pasti terhadap makanan yang halal dan thoyib oleh Negara. Dengan standar untung rugi, serta alasan pemasukan devisa Negara, makanan yang jelas diharamkan pun dapat lebel halal. Padahal didalam islam sangat tegas larangan memakan makanan yang haram. Memakan makanan dan minuman yang halal adalah perkara yang penting bagi kaum muslim, sebab makanan dan minuman yang haram masuk kedalam tubuh akan menjadikan cenderung mendorong seseorang melakukan kemaksiatan dan tempatnya hanya neraka. Sebagaimana sabda rasulullah saw :” "Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang memasukan satu suap makanan yang haram kedalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama 40 hari.” (Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu’jam al –Ausath,).

Islam sebagai agama yang sempurna yang bersumber dari alquran dan as-sunnah memberikan aturan terkait dengan makanan dan minuman yang halal dan haram. Sehingga sistem islam memberikan jaminan terhadap makanan dan minuman yang beredar ditengah masyarakat adalah halal dan thoyib. Didalam sistem ekonomi islam, islam membolehkan setiap masyarakat melakukan produksi dan jual beli, namun melarang proses tersebut, apabila berasal dari bahan–bahan haram.

Sistem sanksi islam juga bersifat tegas. Para Kadi akan menghukum siapa pun yang melanggar. Apabila ada bahan makanan baru, islam menyerahkan pada mujtahid untuk menggali hukumnya agar umat islam tidak bingung dalam menentukan sikap. Hukum tidak akan berubah, hanya karena mendatangkan keuntungan besar bagi Negara. Oleh karena itu, Islam memiliki mekanisme untuk melindungi umat dari makanan haram, Pertama; membangun kesadaran umat islam akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Kedua; mengadakan regulasi serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku usaha yang melanggar peraturan. Ketiga; Negara wajib mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan makananan.