-->

Antara Kapitalisme dan Ekonomi Islam, Mana Jalan Menuju Kesejahteraan?

Oleh : Henny

Di tengah gejolak ekonomi global yang semakin tajam, kita dihadapkan pada dua dunia yang berbeda: satu dunia yang dipenuhi dengan janji kemakmuran melalui pasar modal, namun tak jarang terjebak dalam ketidakadilan dan keserakahan; dan satu lagi yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kebaikan, dan kesetaraan, yaitu sistem ekonomi Islam. Di balik angka-angka yang menunjukkan pertumbuhan investor dan nilai transaksi saham yang menggembirakan, ada sebuah pertanyaan penting yang harus kita renungkan: apakah sistem yang kita jalani saat ini benar-benar membawa manfaat bagi seluruh umat atau justru semakin menjauhkan kita dari prinsip keadilan sejati?

Dilansir dari antaranews.com, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Kantor Perwakilan Kalimantan Barat mencatat penambahan 12.232 investor baru dari Januari hingga Agustus 2024, menambah total investor di Kalimantan Barat menjadi 181.832 dengan nilai transaksi saham sebesar Rp18,2 triliun. Kepala BEI Kalbar, Taufan Febiola, optimistis target 15.000 investor baru di wilayah itu akan tercapai pada akhir tahun. Secara nasional, BEI juga merayakan pencapaian baru dengan jumlah investor pasar modal Indonesia yang melampaui 14 juta SID (Single Investor Identification) per 3 Oktober 2024, bertambah 1,8 juta SID dari akhir 2023 (antaranews.com 2024).

Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan bagian dari sistem kapitalisme yang bertujuan mengembangkan ekonomi melalui pengelolaan modal para kapitalis. Sistem kapitalisme, yang sering menghalalkan segala cara dan bergantung pada riba (bunga uang) untuk menambah kekayaan, pada dasarnya adalah bentuk kedzaliman. Sistem ini tidak berbasis pada ekonomi riil, melainkan hanya dokumen administrasi tanpa barang fisik yang diperdagangkan. Akibatnya, sistem ini sangat rentan terhadap manipulasi dan krisis, karena hanya bergantung pada administrasi dan kepercayaan yang bisa diabaikan begitu kepentingan transaksi selesai. Hal ini wajar terjadi karena kapitalisme didasarkan pada sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga pengelolaan kekayaan cenderung berdasarkan hawa nafsu semata.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, yang berlandaskan pada aqidah Islam dan mengutamakan ekonomi riil, di mana barang yang diperdagangkan memiliki bentuk nyata. Dalam Islam, harta di dunia adalah milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan pengelolaannya harus sesuai dengan ketakwaan individu yang berpegang teguh pada aqidah Islam. Ekonomi Islam mengatur kepemilikan, pemanfaatan, dan distribusi harta secara jelas dan adil berdasarkan hukum syara. Tidak hanya mengatur cara menambah kekayaan, sistem ekonomi Islam juga mengatur cara memperoleh modal dan membaginya antara individu, negara, dan umat. Sumber daya alam, tanah, dan bangunan yang dimiliki negara dan umat harus dikelola dengan baik oleh negara, memastikan distribusi kekayaan yang adil dan tidak tumpang tindih.