Ironi Pejabat Publik Tersandung Korupsi Sehari Setelah Dilantik
Oleh : Tuslikhatun
(Aktivis Dakwah)
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi yang bernama Soleman telah di tetapkan sebagai tersangka dugaan suap pengurusan proyek pada Selasa (29/10/2024), oleh Kejaksanaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi.
Mirisnya penetapan Soleman sebagai tersangka selang sehari setelah pelantikannya sebagai pimpinan DPRD untuk periode 2024-2029 pada hari Senin (28/10/2024). Soleman di tangkap dengan barang bukti berupa dua mobil yakni BMW dan Pajero yang telah di terima dari seorang kontraktor berinisial RS. Hal ini di ungkapkan oleh Kepala Kejari Kabupaten Bekasi, Dwi Astuti Beniyati.
Soleman menerima suap untuk memuluskan proses pengurusan 26 proyek yang di bawah kendalinya dan diduga kasus ini berlangsung saat dia menjabat menjadi pimpinan DPRD pada periode 2019-2024. Di ketahui Soleman sebagai Ketua Tim Kemenangan calon Bupati di Pilkada Kabupaten Bekasi dan Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bekasi. Dan penetapannya sebagai tersangka di curigai oleh kuasa hukumnya, adanya kepentingan terselubung yakni melemahkan kekuatan politik. Siswadi sebagai Kuasa Hukum Soleman berujar,
"Faktanya jelang Pilkada 28 hari, klien kami di tetapkan sebagai tersangka".
Dalam sistem sekular kapitalime yang menihilkan peran agama dalam kehidupan, kasus semacam ini akan mudah terjadi terutama di kalangan para pejabat. Karena korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Kekuasaan merupakan salah satu penampakan naluri untuk mempertahankan diri atau gharizah baqa' pada diri seseorang. Namun dalam sistem sekular kapitalisme tidak ada kontrol agama terhadap perilaku manusia saat menjadi penguasa. Agama hanya termanifestasi dalam sektor privat seperti ibadah dan akhlak. Sedangkan dalam sektor publik salah satunya adalah sistem politik dan kenegaraan, agama tidak boleh hadir di dalamnya. Akibatnya kekuasaan berjalan secara liberal, seolah-olah penguasa bebas berwenang, demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Manusia sebagai pembuat aturan dalam sistem ini, maka tak heran aturan dibuat sesuka hati mereka dan cenderung untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Kekuasaan tidak tunduk terhadap hukum, namun sebaliknya hukum bisa dipermainkan demi kekuasaan. Salah satu akibatnya yakni sampai saat ini kasus korupsi belum bisa di berantas tuntas, malah makin tebang pilih.
Berbeda dengan sistem Islam yang secara tegas melarang tindak korupsi. Tercantum dalam beberapa hadits diantaranya:
"Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan saudara kalian itu haram bagi kalian" (HR.Bukhari dan Muslim).
"Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum" (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”.
Selain hadits, dalam Al-Qur'an juga ada penegasan perihal haramnya tindak korupsi. Allah SWT berfirman :
"Siapa yang menyelewengkan (nya) niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dia selewengkannya itu" (QS. Ali Imran Ayat 161).
Dalam sistem saat ini, hampir semua para pejabat tak bisa lepas dalam skandal suap, apalagi jelang pemilu atau pilkada yang di mana butuh biaya mahal, yang akhirnya memicu para pejabat menjadikan korupsi sebagai jalan pintas untuk menjabat publik. Dari situlah terjadi rawan suap atau gratifikasi proyek. Sedangkan di dalam perpolitikan, tidak ada teman atau musuh sejati, yang ada hanyalah kepentingan. Dan kondisi seperti ini memang benar adanya dan tak terbantahkan, di mana partai politik seringkali bersatu ataupun berpisah atas dasar kepentingan, mencerminkan aliansi dan perpecahan yang di dorong oleh kepentingan yang bersifat pragmatis bukan oleh afiliasi ideologis. Ditambah lemahnya hukum yang diberlakukan bagi para tindak pidana korupsi.
Sedangkan dalam sistem Islam, tindak pidana korupsi akan diselesaikan secara konkret dengan menutup semua celah korupsi. Semua di mulai sejak perekrutan pegawai dan pejabat negara dengan memperhatikan syarat dan ketentuan yang sesuai syariat. Misalnya, hanya merekrut orang yang amanah, berkompeten dan bisa berlaku adil. Selain itu akan ada perhitungan harta kekayaan para pejabat negara secara rutin. Untuk mengetahui harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, maka akan diselidiki, kemudian bisa disita jika terbukti adanya penyelewengan harta ummat dan negara.
Belum lagi, sistem Islam akan memberlakukan sanksi yang tegas kepada para koruptor dan tidak tebang pilih. Adapun hukuman bagi para koruptor beragam sesuai dengan beratnya tindak pidana korupsi yang dilakukan, mulai dari hukuman penjara, denda hingga hukuman mati. Dan sanksi dalam sistem islam bersifat jawabir (penebus dosa) sekaligus zawajir (pencegahan).
Hanya sistem Islamlah yang akan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat, tak terkecuali di kalangan keluarga para pejabat negara. Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika ia melihat unta milik putranya sangat gemuk. Dan ternyata unta tersebut dipelihara bersama unta-unta lainnya yang menjadi tanggung jawab Baitul Mal. Mengetahui hal itu, maka Umar segera memerintahkan putranya untuk menjual unta tersebut dan menyerahkan keuntungannya ke Baitul Mal. Amirul Mukminin melihat apa yang dilakukan putranya itu termasuk penyalahgunakan kekuasaan negara. Pasalnya, unta tersebut diberikan penanganan dengan biaya negara. Begitu tegas Khalifah Umar dalam mencegah korupsi.
Terlebih yang menyangkut keluarganya maupun dirinya.
Dari sinil bisa dibuktikan dengan adanya penerapan mekanisme aturan islam, maka segala tindak pidana korupsi diseluruh negeri bisa diberantas bahkan dicegah.
Wallahu A'lam bish-shawab
Posting Komentar