-->

Ironi Peternak Sapi di Negeri yang Kaya


Oleh : Fitri Kamage

Beberapa waktu belakangan ini, kita diramaikan oleh berita yang membuat miris. Salah satunya adalah mengenai para peternak susu yang kesulitan menjual produksi susunya, seperti yang terjadi di beberapa kota. Akibatnya, berton-ton susu tersebut harus dibuang. Bahkan setelah dibagikan secara gratis kepada warga, masih banyak yang tersisa, seperti yang terjadi di Kota Boyolali.

Puluhan peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dalam beberapa waktu terakhir ini terpaksa membuang susu hasil panen mereka. Hal itu terjadi karena pabrik atau industri pengolahan susu (IPS) membatasi kuota penerimaan pasokan susu dari para peternak dan pengepul susu tersebut.
(Sumber: tempo.co)

Selain di Boyolali, hal ini juga terjadi di beberapa kota lain. Dilansir dari Liputan6.com, para peternak di Pasuruan pun melakukan aksi serupa. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Ada beberapa hal yang, jika dicermati, menjadi penyebab aksi buang susu ini. Pertama, adanya kebijakan impor dari pemerintah. Dengan adanya program makan bergizi gratis, kebutuhan susu sapi di Indonesia pada tahun 2029 diperkirakan mencapai 8,5 juta ton per tahun. Saat ini, produksi lokal mampu memenuhi sekitar 23% dari total kebutuhan, sehingga sisanya harus dipenuhi melalui impor (Sumber: tempo.co). Pemerintah berencana membuka lahan investasi pengolahan susu dan mengimpor 1 juta sapi untuk memenuhi kebutuhan ini. Namun, yang terjadi justru adalah meningkatnya impor susu dari luar negeri.

Hal ini berdampak pada penyebab kedua, yaitu pembatasan yang dilakukan oleh industri pengolahan susu. Sebelumnya, peternak susu lokal dapat menyalurkan hingga 100–200 ton susu per hari. Namun, saat ini jumlah tersebut dibatasi hanya menjadi 40 ton. Padahal, hasil dari peternakan masih mencapai angka 100–200 ton per hari. Pembatasan ini disebabkan oleh industri pengolahan susu yang sudah mendapat pasokan banyak dari susu impor. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan karena impor yang diterima sebenarnya melebihi kebutuhan.

Kejadian ini jelas memberikan dampak buruk kepada para peternak, yaitu kerugian yang besar. Negara sebagai penyelenggara pemerintahan dan pemegang tampuk kekuasaan seharusnya dapat menjaga dan melindungi rakyatnya. Sudah seharusnya pula melindungi nasib para peternak dan petani yang dalam beberapa waktu terakhir menderita kerugian besar akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.

Sebagai pengurus urusan rakyat, negara seharusnya membuat kebijakan yang dapat menyejahterakan rakyatnya, yaitu dengan memberdayakan sebesar-besarnya sumber daya, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dengan demikian, negara tidak perlu membuka keran impor ketika kebutuhan sudah dapat dipenuhi di dalam negeri.

Dalam sistem kapitalis saat ini, semua kebijakan cenderung berpihak kepada pengusaha. Dalam kasus ini, kebijakan impor diduga melibatkan para pemburu rente untuk mendapatkan keuntungan.

Demikianlah gambaran yang terjadi saat ini ketika negara diatur oleh sistem sekuler kapitalis. Negara hanya menjadi perantara bagi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan tanpa mempedulikan nasib rakyatnya.

Berbeda dengan negara khilafah, yang berlandaskan syariat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan hadis sebagai pedoman dalam mengurusi urusan umat. Negara khilafah akan berdiri di tengah umat, menyelesaikan masalah dengan syariat demi mewujudkan kemaslahatan umat. Negara akan secara mandiri memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada sehingga dapat mencegah merebaknya orang-orang yang mencari keuntungan di tengah penderitaan rakyatnya.