-->

Kapitalisme dan Demokrasi Sekuler: Mengapa Keadilan Jadi Barang Mahal?


Oleh : Novi Ummu Mafa

Pernyataan fenomenal Mahfud MD mantan Menpolhukam tentang sistem hukum di Indonesia menjadi buah bibir dimasyarakat. Pasalnya menurut beliau “jika seseorang melapor polisi tentang kehilangan 1 ekor sapi, jika sudah masuk ranah pengadilan bisa memakan biaya yang setara denga 5 ekor sapi". (infipop.id, 15-11-2024).

Hal ini memperlihatkan paradoks dalam sistem hukum di Indonesia. Ketika hukum seharusnya menjadi instrumen keadilan, kenyataan di lapangan menunjukkan bagaimana individu yang mencari keadilan sering kali justru menghadapi eksploitasi finansial dan birokrasi. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis dalam tatanan sosial-politik kita yang berbasis pada demokrasi sekuler dan kapitalisme, di mana kepentingan ekonomi dan keuntungan pribadi seringkali mengalahkan keadilan.

Kontradiksi Sistem Hukum dalam Demokrasi Sekuler

Dalam demokrasi sekuler yang bercampur dengan kapitalisme, hukum yang seharusnya bersifat netral dan adil menjadi komoditas yang diperdagangkan. Pernyataan Mahfud mengenai biaya hukum yang setara dengan lima ekor sapi untuk kasus kehilangan satu ekor sapi menunjukkan ironi yang kuat: hukum tidak lagi memihak keadilan, melainkan kepentingan ekonomi birokrat dan pejabat internal. Ini adalah bukti nyata bahwa kapitalisme dalam kerangka demokrasi sekuler menciptakan jurang keadilan yang sangat dalam antara masyarakat miskin dan kaya.

Hukum yang menjadi alat kapitalisme ini mengubah masyarakat menjadi konsumen yang harus membeli keadilan. Dalam konteks sosial-politik, kapitalisme menempatkan hukum dalam posisi subordinasi di bawah kepentingan material. Alih-alih sebagai pelindung hak, hukum justru sering menjadi alat peras terhadap mereka yang tidak memiliki kekuatan ekonomi.

Kapitalisme dalam Sistem Hukum

Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan kapitalisme dalam menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan kapitalisme, penegakan hukum tidak lagi dilihat sebagai kewajiban negara, tetapi sebagai peluang pasar. Dalam situasi ini, demokrasi tidak lagi bertindak sebagai alat pembebasan, melainkan justru memperparah ketidakadilan. Sistem kapitalis yang bercampur dengan birokrasi yang korup menciptakan mekanisme yang membebani masyarakat dalam upaya mencari keadilan.

Di Indonesia, fakta empirik menunjukkan bahwa masyarakat yang berurusan dengan hukum sering kali menghadapi rintangan finansial yang tidak sedikit. Dalam kasus sederhana seperti kehilangan satu ekor sapi, masyarakat dipaksa menanggung biaya yang secara logika tidak relevan dengan nilai kerugiannya. Ini menunjukkan kapitalisme bukan hanya mempengaruhi pasar ekonomi, tetapi juga menguasai birokrasi hukum, sehingga rakyat kecil harus berjuang lebih keras dalam memperoleh keadilan.

Dalam sistem Islam: Keadilan sebagai Amanah

Dalam sistem Islam keadilan bukanlah komoditas tetapi amanah yang harus ditegakkan tanpa memandang kelas sosial atau kekuatan finansial. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(QS. An-Nisa: 58)

Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan agar hukum ditegakkan dengan adil. Eksploitasi dalam sistem hukum, seperti yang disinggung oleh Mahfud MD, menunjukkan bagaimana keadilan telah terabaikan dalam praktik hukum yang sarat kepentingan material.
Selain itu, dalam hadis Nabi Muhammad SAW juga disebutkan:
"Orang-orang sebelum kamu binasa karena mereka menegakkan hukum hanya untuk rakyat biasa dan mengabaikan orang-orang besar (berpengaruh). Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya."
(HR. Bukhari)

Hadis ini menekankan bahwa hukum harus diterapkan secara adil kepada semua kalangan, tanpa memandang status sosial atau kekuatan ekonomi. Ketidakadilan dalam penerapan hukum mengarah pada kehancuran masyarakat dan bangsa.

Dalam Islam keadilan adalah nilai utama yang harus ditegakkan secara kolektif oleh masyarakat. Ketika sistem hukum dijalankan berdasarkan nilai kapitalisme, prinsip keadilan dalam sistem Islam menjadi tereduksi. Pendekatan yang seharusnya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, serta menghormati nilai keadilan, justru kehilangan arah.

Solusi: Menata Ulang Sistem Hukum Berbasis Nilai Islam

Untuk mengatasi problematika ini, diperlukan reformasi sistem hukum yang berorientasi pada nilai-nilai sistem Islam yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan kolektif. Sistem hukum yang mengakar pada nilai Islam akan menolak eksploitasi dan monopoli atas hukum. Model hukum Islam yang mengutamakan etika, bukan ekonomi, akan lebih mampu mengakomodasi keadilan bagi rakyat kecil. Reformasi ini dapat dilakukan dengan menekan pengaruh kapitalisme di dalam birokrasi dan menggantinya dengan nilai-nilai keadilan kolektif.

Meskipun upaya ini mungkin tampak utopis, dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki nilai-nilai agama yang kuat, ini adalah solusi yang realistis dan mendesak. Keadilan bukan lagi barang yang bisa diperjualbelikan, tetapi hak setiap individu yang harus diperjuangkan tanpa diskriminasi.

Kembali pada Keadilan Hakiki Islam

Pernyataan Mahfud MD bukan hanya sindiran terhadap birokrasi hukum, tetapi juga cermin tajam bagi masyarakat tentang betapa lemahnya sistem sosial-politik yang didasarkan pada kapitalisme dan demokrasi sekuler. Sistem hukum yang dikuasai oleh kapitalisme menunjukkan kegagalan besar dalam menegakkan keadilan bagi rakyat kecil.

Masyarakat harus menyadari bahwa hukum yang dijalankan dalam kerangka sekuler dan kapitalisme tidak akan memberikan keadilan sejati, melainkan hanya menjadi alat bagi kepentingan finansial dan kekuasaan.
Dalam kerangka ini, penting bagi bangsa untuk mempertimbangkan sistem hukum yang berpijak pada nilai-nilai keagamaan yakni sistem Islam sebagai solusi dalam menghadirkan keadilan yang sebenarnya.