KDRT, Luka yang Tak Kunjung Sembuh di Tengah Masyarakat
Oleh : Riani Kusmala Dewi
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus menjadi fenomena kelam di tengah masyarakat Indonesia. Setiap hari, berita tentang istri yang terluka akibat penganiayaan oleh suaminya menghiasi layar media. Bekasi, misalnya, menjadi salah satu daerah yang tidak luput dari kasus-kasus ini.
Dilansir dari detiknews.com pada Senin, 11 November 2024, seorang suami di Bekasi tega menganiaya istrinya secara sadis karena cemburu buta. Akibat kekerasan tersebut, korban menderita luka memar pada bagian muka, paha, dan punggung. Terdapat pula luka bekas sundutan rokok pada bagian tangan kanan korban.
Para pelaku, dengan berbagai alasan, kerap melayangkan kekerasan fisik kepada pasangan mereka. Ironisnya, sosok suami yang seharusnya melindungi dan memberikan kenyamanan bagi keluarganya justru berubah menjadi ancaman dan sosok yang menakutkan di dalam rumah tangga.
Tindakan ringan tangan sering kali terjadi ketika konflik muncul dalam rumah tangga, baik karena persoalan kecil maupun besar. Alih-alih menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, sebagian suami memilih jalan pintas dengan menyakiti pasangan mereka, bahkan aksi itu dilakukan tanpa rasa belas kasihan.
Sayangnya, kekerasan ini tidak hanya menghancurkan kehidupan pasangan, tetapi juga melukai hati anak-anak yang menjadi saksi bisu tragedi di dalam rumah mereka. Anak-anak akan mendapatkan luka trauma sepanjang hidupnya karena menyaksikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ayah mereka sampai dewasa kelak. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang memengaruhi tingginya angka KDRT, salah satunya adalah kondisi kehidupan yang penuh tekanan.
Di era modern ini, tekanan hidup dirasakan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Ketegangan emosional sering kali menjadi pemicu utama. Dalam situasi tertentu, pelaku KDRT mudah tersulut emosinya, bahkan karena kabar yang belum tentu benar.
Kehidupan sosial yang serba bebas turut memperburuk situasi. Interaksi antara laki-laki dan perempuan di ruang publik yang tidak memiliki batasan, ditambah kemudahan bersosial media, menciptakan potensi fitnah. Suami atau istri kerap merasa cemburu akibat komunikasi yang intens antara pasangan mereka dengan lawan jenis, baik melalui media sosial maupun aplikasi pesan instan. Hal ini memicu konflik yang kemudian berujung pada kekerasan.
Faktor ekonomi juga menjadi alasan signifikan. Dalam sistem kapitalisme saat ini, mencari penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga menjadi tantangan besar bagi banyak suami. Kebutuhan rumah tangga yang mendesak sering kali memicu percekcokan, apalagi jika pendapatan suami tidak mencukupi. Stres akibat tekanan ekonomi ini, ditambah ketidakmampuan mengelola emosi, membuat kekerasan menjadi pelampiasan yang tragis.
Sementara itu, sistem hukum yang berlaku belum mampu memberikan efek jera kepada pelaku KDRT. Dalam sistem sekuler, sanksi hukum sering kali bersifat ringan dan tidak mencerminkan keadilan bagi korban.
Akibatnya, pelaku tidak takut untuk mengulangi perbuatannya, dan masyarakat pun tidak merasa kapok melihat hukuman yang dijatuhkan.
Untuk mengakhiri fenomena KDRT, diperlukan solusi yang menyentuh akar masalah, bukan sekadar mengobati dampaknya. Dalam hal ini, Islam menawarkan pendekatan menyeluruh yang mencakup semua aspek kehidupan.
Pertama, Islam memberikan panduan jelas tentang kehidupan publik dan privat. Kehidupan sosial diatur sedemikian rupa untuk menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan, sehingga potensi fitnah dapat diminimalkan. Misalnya, interaksi antara laki-laki dan perempuan diatur dalam batas-batas yang tidak menimbulkan prasangka atau kecemburuan yang berlebihan.
Kedua, pasangan suami-istri perlu dibekali ilmu tentang hukum syariat dalam rumah tangga. Islam mengajarkan konsep muamalah bil ma’ruf, yakni memperlakukan pasangan dengan baik, penuh kasih sayang, dan saling menghormati. Dalam Islam, teguran kepada pasangan yang berbuat salah dilakukan dengan cara yang bijak dan manusiawi, bukan dengan kekerasan. Jika konflik tidak dapat diselesaikan secara mandiri, keluarga besar dapat diminta menjadi penengah sebelum melibatkan pihak lain.
Ketiga, peran negara sangat penting dalam mencegah terjadinya KDRT. Negara harus menjamin kemudahan rakyatnya dalam mencari nafkah sehingga suami tidak terbebani oleh tekanan ekonomi yang berlebihan. Sistem Islam mengatur agar negara bertanggung jawab atas kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk sandang, pangan, dan papan, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Keempat, sanksi tegas perlu diterapkan kepada pelaku KDRT. Dalam hukum Islam, penganiayaan terhadap pasangan adalah bentuk kezaliman yang harus mendapatkan hukuman berat. Hukuman ini tidak hanya bertujuan untuk menebus kesalahan pelaku, tetapi juga memberikan efek jera kepada masyarakat agar berpikir seribu kali sebelum melakukan kekerasan.
KDRT adalah cerminan dari banyak masalah sistemik yang ada di masyarakat kita. Untuk mengatasi masalah ini, solusi parsial tidak akan cukup. Diperlukan penerapan Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan hukum. Islam memiliki kekuatan untuk mencegah terjadinya kekerasan sekaligus menyelesaikan persoalan dengan adil dan bijaksana.
Masyarakat yang diatur dengan hukum Islam akan hidup dalam keharmonisan, karena setiap individu memahami tanggung jawabnya dan menghormati hak-hak orang lain. Negara yang menerapkan sistem Islam memiliki kekuatan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya sekaligus menegakkan keadilan bagi korban kezaliman.
KDRT bukanlah masalah yang tidak dapat diselesaikan. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, kita dapat menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera, di mana setiap individu merasa terlindungi, baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya. Inilah solusi hakiki yang mampu menghentikan siklus kekerasan dan membangun masa depan yang lebih baik bagi semua.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar