Keracunan Makanan Berulang, Kok bisa?
Oleh : Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Dilansir dari Antara 1/11/2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyetop sementara penyebaran semua produk latiao untuk menjaga kesehatan masyarakat, setelah Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan (KLBKP) terjadi di beberapa lokasi, yaitu lampung,sukabumi, wonosobo, tanggerang selatan, bandung barat dan pamekasan.
Taruna Ikral, Direktur Jenderal Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), mengatakan pihaknya menerima laporan keracunan makanan dan segera bekerja sama dengan pemangku kepentingan setempat untuk melakukan sampel makanan dan uji lab. Hasilnya, BPOM menemukan bukti adanya kontaminasi bakteri Bacillus cereus pada makanan Latio. Berdasarkan hal tersebut, demi melindungi kesehatan masyarakat, BPOM untuk sementara waktu melarang peredaran seluruh produk Latio.
Insiden keracunan makanan ini mengingatkan kita pada kejadian serupa pada tahun 2022. Diduga kuat terjadinya gagal ginjal akut adalah akibat sirup yang mengandung pengotor kimia melebihi batas aman yaitu etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). EG dan DEG merupakan bahan kimia berbahaya dan dapat terkontaminasi dari beberapa pelarut tambahan sirup, termasuk propilen glikol (PG), dengan batas aman 0,1 miligram/mililiter. Hingga Februari 2023, terdapat 326 kasus gagal ginjal akut di Indonesia yang tersebar di 27 provinsi. Dari jumlah tersebut, 204 anak meninggal dan sisanya sembuh. Baleskrim Polri melakukan penyelidikan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut (Tempo.co 6/2/2023).
Beberapa produsen sirup yang diperiksa terkait kasus tersebut, antara lain PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Yarindo Farmatama.Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menarik puluhan obat sirup dari tiga perusahaan (Kompas.com 5/11/2022).
Sementara itu, Ketua BPOM saat itu Penny K. Lukito mengatakan BPOM tidak bertanggung jawab mengawasi penggunaan senyawa EG dan DEG yang diyakini telah digunakan oleh beberapa pelaku industri farmasi sebagai bahan baku pelarut sirup. Dia mengatakan, keberadaan bahan baku palsu merupakan tindakan ilegal yang berada di luar pengawasan BPOM. BPOM hanya akan memantau dan menguji bahan baku farmasi grade atau khusus farmasi grade untuk pelarut sirup. Terkait impor dan peredaran EG dan DEG, BPOM tidak melakukan pengendalian karena sebenarnya kegunaannya untuk industri selain farmasi (Nasional.kompas.com 12/11/2024)
Sementara Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan tidak mengatur pembatasan impor senyawa propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG). Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan saat itu mengatakan, PG dan PEG tidak tunduk pada aturan impor, yakni tidak diimpor sehingga impornya tidak mendapat persetujuan Kementerian Perdagangan (Tempo.co 4/11/2022)
Meski berakhir dengan penetapan empat perusahaan farmasi sebagai tersangka, kasus ini diperkirakan akan menjadi pukulan telak bagi lembaga negara terkait seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Organisasi-organisasi ini harus melakukan penilaian dan investigasi menyeluruh untuk mengambil tanggung jawab atas kewajiban mereka dalam memastikan keamanan obat dan makanan bagi masyarakat, daripada saling mengalihkan tanggung jawab.
Faktanya, kejadian seperti itu terjadi lagi saat ini pada produk makanan latiao. Hal ini bukan lagi disebut kelalaian, melainkan kelalaian negara dalam memastikan obat dan makanan yang beredar di masyarakat aman dan tidak berbahaya.
Sayangnya, dari dua kasus yaitu gagal ginjal akut dan keracunan latiao, negara ini belum juga memperbaiki diri. Sedangkan korban utama adalah anak-anak, generasi penerus bangsa. Pemerintah harus belajar dari kelalaiannya pada epidemi sebelumnya. Karena negara sebagai penjamin untuk keselamatan rakyatnya, negara yang menyalurkan obat dan makanan pada masyarakat, kalau sampai terjadi keracunan pada masyarakat itu adalah tanggujawab negara sebagai penjaga masyarakat.
Namun, dalam sistem kapitalis sekuler, tanggung jawab ini semakin diremehkan. Peran negara saat ini hanya sebagai regulator, bukan sebagai pelayan rakyat. Dalam kasus keracunan tertentu atau gagal ginjal akut, pejabat negara cenderung “mencuci tangan” dan saling lempar tanggung jawab. Selama ini penindakan terhadap unsur pidana hanya terfokus pada pelaku industri yang memproduksi dan mengedarkan unsur pidana. Namun, tidak ada otoritas terkait, seperti BPOM atau Kementerian Kesehatan, yang bertanggung jawab atas kegagalan pemantauan dan pengujian kelayakan pangan.
Misalnya, dalam kasus Latio, negara seharusnya mempunyai kewenangan untuk memantau dan mengendalikan bahan baku impor, produksi, formulasi, dan uji tuntas distribusinya. Sekalipun produsennya adalah perusahaan swasta atau individu, pemerintah harus melakukan pengawasan untuk memastikan keselamatan kesehatan masyarakat.
Bila hal ini tidak terjadi maka disebut kelalaian dan menghindar dari tanggung jawab. Pada akhirnya, sesuatu yang tidak biasa terjadi lagi di Latio Foods. Hal ini bukan lagi disebut kelalaian, melainkan kegagalan negara dalam menjamin obat-obatan dan makanan yang didistribusikan ke masyarakat aman dan tidak berbahaya.
Dalam Islam, semua pemimpin adalah penjaga dan bertanggung jawab atas apa yang di jaganya. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah bahwa masing-masing dari Anda adalah pemimpin, dan bahwa penguasa yang memimpin seluruh bangsa harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah kepala anggota keluarga, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap suami dan anak-anaknya. Budak juga merupakan pemimpin harta milik majikannya dan bertanggung jawab terhadap hal itu. Perlu diketahui bahwa Anda masing-masing memiliki tanggung jawab untuk memberikan kepemimpinan.
Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap setiap orang yang dipimpinnya. Ketika dia mendapati laporan bahwa pejabat yang berada di bawah pimpinanya tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, maka pemimpin mempunyai kewajiban untuk memberi peringatan dan sanksi yang tegas.
Negara, dalam hal ini penguasa, mempunyai kewajiban untuk menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi warganya.Dan negara berkewajiban menetapkan pedoman keamanan pangan dengan menggunakan mekanisme berikut.
Pertama, mengatur peraturan industri makanan dan minuman untuk menjamin pangan itu halal, bermutu dan aman, yaitu tidak mengandung bahan berbahaya, halal dan tidak menyebabkan berkembangnya penyakit degeneratif seperti, Pemicu kanker, dan penyakit berbahaya.
Kedua, peran al-Hisbah, yaitu lembaga pemerintah yang memantau dan mengendalikan produk pangan, melakukan pengawasan, mencegah penipuan, penimbunan dan pengurangan tindakan dan standar oleh pelaku industri serta menjamin mutu obat yang aman.
Ketiga, mendidik secara menyeluruh melalui lembaga kesehatan, media massa, dan program edukasi menarik. Hal ini bertujuan agar masyarakat memahami standar makanan yang halal, baik, dan aman untuk dikonsumsi.
Keempat, tindakan tegas akan diambil terhadap pelaku industri dan siapa pun yang melanggar ketentuan peredaran obat dan pangan yang sesuai standar pangan Islam: halal, tayib, dan aman.
Melalui kebijakan yang terpadu dan sistematis, negara dapat melakukan kegiatan preventif dan terapeutik untuk menjamin penyediaan produk pangan dan obat-obatan yang halal, tayib, dan aman.
Posting Komentar