-->

Makan Bergizi Gratis, Haruskah Melibatkan Kerja Sama Jepang?


Oleh : Siti Sri Fitriani, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Menurut Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu inisiatif unggulan yang diusung oleh Prabowo dalam kampanye Pilpres 2024 dijadwalkan akan dimulai pada 2025. Program ini direncanakan akan mencakup sekitar 83 juta siswa dan melibatkan pengusaha lokal dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di seluruh penjuru Indonesia. Namun, untuk memenuhi kebutuhan susu dan daging, Indonesia membuka kesempatan bagi sektor swasta untuk mengimpor sapi hidup. Terkait hal itu, pemerintah akan memberikan support dalam perizinan dan akan menyiapkan lahan seluas 1 juta hektar untuk kegiatan pemeliharaan sapi. Harapannya adalah program ini akan melibatkan kerja sama dengan Jepang (merdeka.co, 17/10/24). 

Namun hal tersebut menimbulkan kontroversi, seperti pendapat Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian yang menyarankan adanya alternatif agar MBG ini tidak menambah impor dan memberatkan neraca perdagangan pangan. Salah satunya dengan memanfaatkan sumber protein dan suplemen nutrisi yang tersedia sesuai dengan potensi daerah. Menurutnya, sebelum program MBG diterapkan, sebagian besar kebutuhan konsumsi daging sapi dan susu nasional masih terpenuhi melalui impor. Sebagai contoh, 54% dari kebutuhan daging sapi-kerbau dipenuhi melalui impor dan sekitar 80% susu sapi juga diimpor. Dari data tersebut, dapat disimpulkan, kebijakan impor 1 juta ekor sapi dianggap tidak bijaksana, dan seharusnya mengutamakan potensi alternatif yang sudah tersedia di dalam negeri, seperti susu kedelai atau susu kambing dari peternak lokal (CNBC Indonesia, 10/9/2024).

Sebenarnya, makan bergizi gratis, haruskah melibatkan kerja sama Jepang? Jika dilihat, menambahkan impor bagi Indonesia menjadi suatu keharusan yang berkelanjutan, menunjukkan ketergantungan yang semakin mendalam. Pemerintah terlihat tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat secara mandiri, sehingga negara terpaksa bergantung pada bantuan internasional. Dalam menawarkan beragam pinjaman, Indonesia secara tidak langsung menjadi subjek yang patuh terhadap keinginan pemilik modal global. Hal ini menyebabkan negara ikut serta dalam arus globalisasi tanpa banyak pilihan.

Ternyata, program MBG ini hanyalah kedok belaka untuk memenuhi kebutuhan para pengusaha dalam mengantongi dompetnya. MBG bukanlah solusi dari pencegahan stunting atau pemenuhan gizi usia sekolah. Ia hanya alat korporasi dalam menghasilkan keuntungan. Selain itu, celah korupsi akan terbuka lebar dan semakin marak terjadi. 

Dalam merumuskan kebijakan, pemerintah seharusnya lebih mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat daripada sekadar memikirkan keuntungan semata. Pasalnya, dalam pelaksanaan program MBG ini terdapat potensi terjadinya tindakan penipuan, penyajian makanan yang tidak higienis, distribusi yang tidak akurat, bahkan kemungkinan sebagian masyarakat tidak merasakan manfaat dari program tersebut. Segala bentuk potensi tersebut akan senantiasa muncul apabila negara tidak menjamin dan hanya bertindak sembarangan dalam pelaksanaan programnya.
 
Hakikatnya dalam membentuk sebuah negara yang besar harus terbebas dari kepentingan individu atau golongan tertentu, memiliki anggaran yang memadai, dan didukung oleh generasi yang berkualitas. Kehadiran generasi yang berkualitas menjadi syarat utama dalam menciptakan peradaban manusia yang unggul. Hal ini hanya dapat dicapai melalui penerapan Sistem Islam, yaitu Khilafah.

Khilafah akan memperhatikan setiap kebijakan agar peradaban Islam yang agung dapat terwujud. Di antara kebijakan tersebut adalah: Pertama, menjamin dan memenuhi kebutuhan mendasar setiap individu rakyat, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semua akses kebutuhan rakyat akan dipermudah, sehingga rakyat tidak akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan aktivitas ibadahnya kepada Allah. 

Negara akan memberikan pelayanan yang optimal terhadap setiap jiwa yang sakit tanpa adanya kekhawatiran akan biaya untuk mendapatkan kesembuhan. Keamanan yang terjaga akan menjadi benteng perlindungan yang didambakan oleh rakyat, baik ketika berada di rumah maupun di luar rumah, saat menjalankan kewajiban.

Kedua, mengalokasikan anggaran negara untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat tanpa penyalahgunaan. Penggunaan anggaran negara harus terjamin dan tepat sasaran. Dalam kebijakan ini terlihat dalam Islam, program MBG tidak diperlukan karena pemenuhan hak-hak rakyat telah terlaksana.

Oleh karenanya, dengan penerapan sistem Islam tentunya pemenuhan kebutuhan dasar, terutama terkait makanan yang bergizi, negara akan memprioritaskannya sehingga semua semua rakyat bisa menikmati makanan tak hanya bergizi, tapi thayib dan halal juga. Ditambah pula negara dalam sistem Islam tidak tergantung impor dari luar, karena akan memaksimalkan potensi yang ada di dalam negara sendiri.[]