Marak ODGJ, Jaminan Hidup Ala Kapitalis Dipertanyakan
Oleh : Asha Tridayana
Belum lama ini, ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) yang mengamuk di daerah Kabupaten Pekalongan. Hingga jajaran polisi mesti turun tangan membantu warga untuk mengamankan. Seperti yang terjadi di Desa Salakbrojo, terdapat warga mengamuk dan dilaporkan ke Bhabinkamtibmas Polsek Kedungwuni. Menurut Bripka Sukma Adi Wibowo selaku polisi yang bertugas menjelaskan bahwa warga tersebut diduga mengalami depresi berat. Setelah diamankan warga tersebut segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut. Sebelumnya, didapati pemuda dengan senjata tajam mengamuk di Desa Pajomblangan, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Pemuda tersebut juga melempari warga dengan batu. (https://radarpekalongan.disway.id 13/10/24)
Kejadian serupa juga terjadi di Desa Karangsari, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan. Seorang pemuda 25 tahun memilih mengakhiri hidupnya lantaran stres karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan olah TKP, Kapolsek Bojong AKP Suhadi menerangkan bahwa korban murni bunuh diri. Sementara keterangan pihak keluarga, korban berkarakter pendiam dan memiliki gangguan kejiwaan karena lama menganggur dan merasa menjadi beban orang tua https://kanalmuria.com 16/03/23)
Di Desa Winduaji, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan terdapat warga 26 tahun yang gantung diri. Kapolsek Paninggaran AKP Bambang Tunggono, SH., MH. mengungkapkan korban tidak memiliki masalah dengan lingkungan tempat tinggalnya. Diduga karena himpitan ekonomi korban bunuh diri (https://rasikapekalongan.com 04/09/24)
Jumlah ODGJ setiap tahunnya semakin bertambah dan terdapat di berbagai wilayah seperti yang terjadi di Pekalongan. Tercatat pada tahun 2021 di Kabupaten Pekalongan terdapat 2258 kasus sementara di Kota Pekalongan di tahun 2018 ada 332 orang menjadi 503 orang di tahun 2019. Selain faktor biologis atau keturunan, ODGJ ini juga kerap dipicu oleh faktor eksternal. Yang paling dominan karena tekanan hidup diantaranya meningkatnya kebutuhan hidup (pangan, sandang, papan) dengan harga yang semakin tinggi. Selain itu, tidak sedikit yang terjerat utang ribawi baik untuk mencukupi kebutuhan maupun tren gaya hidup.
Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya pemasukan karena kesulitan mencari pekerjaan atau menjadi korban PHK masal hingga menjadi pengangguran. Terlihat dari angka pengangguran di Kota Pekalongan pada tahun 2023 tercatat 5,02 persen. Jumlah ini setara dengan 9.065 orang yang masih belum bekerja dan didominasi lulusan SMA sederajat. Sementara untuk wilayah Kabupaten Pekalongan mencapai 3,25 persen meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya tetapi masih ada 3000an warga yang menganggur (https://www.batiktv.id 30/09/24). Sementara yang masih bekerja di perusahaan atau industri, penghasilan yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan hidup karena rendahnya UMK.
Tidak mengherankan jika setiap tahun tingkat pengangguran masih saja tinggi sekalipun berbagai upaya dilakukan termasuk membuka banyak lowongan kerja, salah satunya dengan berdirinya industri baru. Karena faktanya, lowongan kerja hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki keahlian khusus sementara rata-rata masyarakat tidak memiliki keterampilan yang pada akhirnya hanya menjadi pekerja kasar. Disamping itu, ketatnya persaingan karena adanya tenaga kerja asing (TKA) yang didatangkan. Terbatasnya kesempatan kerja bagi masyarakat menjadikan pengangguran tidak ada habisnya. Kalaupun sempat diterima, hanya mendapatkan UMK rendah dengan perjanjian kerja yang menguntungkan satu pihak tidak lain pengusaha.
Dominasi swasta/asing dalam dunia kerja dan aturan ketenagakerjaan yang sering kali merugikan masyarakat merupakan bentuk kapitalisasi industri. Masyarakat hanya menjadi pekerja yang diperas tenaganya sementara peluang dan keuntungan dinikmati sepenuhnya oleh para pengusaha. Sehingga wajar jika orang depresi semakin banyak karena kesenjangan sosial pun semakin tinggi.
Adanya kapitalisasi industri ini karena mendapat dukungan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Negara sebagai pihak berwenang justru menjadi regulator dan fasilitator yang memuluskan setiap keinginan pengusaha dengan jaminan yang saling menguntungkan dengan penguasa. Negara tidak lagi bertanggungjawab atas hajat hidup masyarakat apalagi mewujudkan kesejahteraannya. Masyarakat dipaksa menanggung nasibnya sendiri di tengah persoalan hidup yang tiada habisnya.
Sederet masalah yang muncul dari maraknya ODGJ hingga ketidakmampuan negara dalam mengurus kepentingan masyarakat tidak lain karena sistem yang diterapkan yakni kapitalisme. Sistem yang asasnya sekulerisme dan menjadikan manfaat sebagai prioritas. Sekulerisme membawa pemikiran dan aktivitas masyarakat menjadi semakin jauh dari aturan agama. Terkait ODGJ, negara berupaya memberikan dukungan baik secara fisik maupun mental di lingkungan keluarga dan masyarakat. Termasuk mendorong melakukan pengobatan secara rutin (psikotropika) karena sering kali ODGJ tidak dipedulikan. Penanganan tersebut sejalan dengan sistem yang diterapkan, negara sekadar membuat regulasi namun praktiknya dikembalikan kepada masyarakat. Ujungnya negara berlepas tangan.
Setelah memahami bahwa sumber segala persoalan berasal dari sistemnya maka sudah semestinya sistem yang mengakar tersebut segera diganti dengan sistem baru yang mampu memberikan jaminan kehidupan lebih baik. Tidak lain sistem Islam, yakni sistem yang berasal dari Allah swt Pencipta seluruh alam dan seisinya termasuk manusia. Allah swt telah membekali manusia dengan akal untuk berpikir dan memahami hakikat hidup yang sebenarnya.
Berawal dari keluarga sebagai madrasatul ula membekali anak dengan pondasi akidah Islam sehingga individu yang dihasilkan memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Memiliki pribadi yang kuat dan tangguh karena setiap aktivitas yang dilakukan berasal dari pemikiran Islam. Meyakini segala yang terjadi merupakan ketetapan Allah swt dan pilihan yang dijalani akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Sehingga dengan adanya persoalan yang bertubi-tubi saat ini, individu yang menjadikan Islam sebagai standar kehidupan akan menerima dengan tetap bersyukur dan berikhtiar.
Peran individu dan keluarga tersebut dapat terwujud dengan baik ketika negara sebagai pelayan dan pengurus kepentingan rakyat dapat berfungsi sesuai syariat Islam. Seperti dalam penyelenggaran aspek ekonomi, negara menetapkan kebijakan yang mampu mensejahterakan masyarakat. Melalui mekanisme sistem ekonomi Islam, yakni dari mengkondisikan harga pangan senantiasa murah dan terjangkau bagi seluruh masyarakat, melarang praktik judi dan utang riba yang dapat memicu gangguan jiwa karena kesulitan melunasinya hingga membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya melalui industri-industri milik negara. Bahkan negara juga dapat memberikan modal usaha bagi mereka yang kesulitan.
Kemudian dukungan dari sistem pendidikan Islam, para pencari kerja juga dibekali dengan bermacam keterampilan yang dapat meningkatkan kualitas SDM menjadi lebih ahli dan kompeten. Kesempatan mendapatkan pekerjaan pun semakin luas karena mampu bersaing. Negara juga berperan dalam menjaga lingkungan tempat hidup senantiasa Islami terhindar dari pemikiran negatif yang dapat merusak akidah Islam. Terwujudnya kehidupan yang dinamis dan sejahtera tersebut hanya ketika negara benar-benar menjadikan Islam sebagai ideologi dan aturan hidup secara menyeluruh yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Wallahu'alam bishowab.
Posting Komentar