Mengaktivasi Peran Gen Z dalam Perjuangan Menegakkan Islam Kaffah
Oleh : Ummu Malika Hanan
Di balik layar kehidupan sosial media yang tampak sempurna, tersimpan jeritan diam yang tak terdengar. Krisis kesehatan mental pada remaja Indonesia semakin mengkhawatirkan, menjadi ancaman serius bagi generasi penerus bangsa.
Data Badan Pusat Statistik mencatat populasi remaja dan dewasa muda yang signifikan: 22,12 juta jiwa berusia 15-19 tahun dan 22,28 juta jiwa berusia 20-24 tahun, angka yang menunjukkan besarnya potensi sekaligus tantangan yang dihadapi bangsa (BPS, 2024).
Realitas mengejutkan terungkap melalui Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama untuk remaja 10-17 tahun di Indonesia. Hasil survei menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia menghadapi masalah kesehatan mental, setara dengan 15,5 juta remaja.
Lebih mengkhawatirkan, satu dari dua puluh remaja (2,45 juta) terdiagnosis gangguan mental, sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia. Dikutip dari laman resmi UGM, Rabu (16/10/2024).
Berdasarkan I-NAMHS (2022), gangguan mental yang paling banyak diderita remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%. Tekanan akademik, perundungan siber, dan perubahan sosial budaya telah menciptakan lingkungan yang semakin menantang bagi kesehatan mental generasi muda.
Survei Kesehatan Indonesia (2023), mengungkapkan depresi sebagai penyebab utama disabilitas pada remaja, dengan generasi Z (15-24 tahun) tercatat paling rendah dalam mengakses pengobatan. Kondisi ini dapat memicu peningkatan masalah sosial seperti bunuh diri dan penyalahgunaan zat terlarang. Pemahaman yang baik mengenai faktor penyebab depresi pada kelompok ini menjadi kunci penting dalam penyusunan strategi intervensi (Kemenkes, 2023).
WHO menekankan bahwa masa remaja merupakan periode krusial dalam pembentukan kebiasaan sosial dan emosional yang mendukung kesehatan mental. Kebiasaan ini mencakup pola tidur sehat, olahraga teratur, pengembangan keterampilan mengatasi masalah, dan pengelolaan emosi. Lingkungan yang protektif dan suportif dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat luas sangat penting untuk perkembangan mental yang sehat (WHO, 2024).
Faktor-faktor risiko meliputi paparan kesulitan, tekanan teman sebaya, eksplorasi identitas, dan pengaruh media sosial. Kelompok berisiko tinggi mencakup remaja dari lingkungan rentan, penyandang disabilitas, remaja hamil, menikah dini, atau dari kelompok minoritas. Kekerasan, terutama kekerasan seksual dan perundungan, pola asuh kasar, serta masalah sosial ekonomi meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental secara signifikan (WHO, 2024).
Di tengah tantangan ini, berbagai organisasi dan komunitas mulai menawarkan program dukungan seperti workshop dan konseling. Inisiatif ini memberikan ruang bagi remaja untuk berbagi pengalaman dan menemukan solusi. Diperlukan kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental remaja.
Penanganan kesehatan mental remaja membutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pola asuh positif, komunikasi terbuka, dan akses ke layanan kesehatan mental berkualitas menjadi kunci dalam membentuk generasi yang tangguh. Meski tidak mudah, dengan dukungan yang tepat dan strategi yang terencana, generasi muda Indonesia dapat menemukan arah dan makna dalam menghadapi kompleksitas hidup modern.
Jeritan diam remaja Indonesia adalah panggilan mendesak bagi kita semua. Data menunjukkan lonjakan kasus gangguan mental di kalangan generasi muda, mengancam masa depan bangsa. Keluarga harus menjadi benteng pertama dalam mendeteksi tanda-tanda gangguan mental pada anak.
Sekolah perlu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan suportif, serta menyediakan layanan konseling yang mudah diakses. Para pembuat kebijakan perlu mengalokasikan anggaran yang cukup untuk program kesehatan mental remaja, serta menyusun regulasi yang mendukung upaya pencegahan dan penanganan.
Bersama menghapus stigma, meningkatkan kesadaran, dan menyediakan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mental. Dengan demikian, kita dapat membantu remaja bangkit dari jeritan diam dan tumbuh menjadi generasi yang sehat, produktif, dan berdaya.
Angka pengangguran di kalangan Generasi Z (Gen Z) di Indonesia telah mencapai titik kritikal, yaitu sebanyak 9,9 juta orang (22/10/2024).
Ini berarti sekitar 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun masih belum memiliki pekerjaan stabil.
Fenomena ini menimbulkan perdebatan apakah mereka adalah korban ekonomi atau beban bagi negara.
Faktor-Faktor Utama
Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka pengangguran di kalangan Gen Z meliputi:
Kesenjangan Keterampilan
Kurikulum sekolah-sekolah masih fokus pada teori, sehingga lulusan SMA/SMK seringkali tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh industri saat ini.
Biaya Pendidikan Tinggi
Biaya pendidikan tinggi menjadi penghalang bagi banyak generasi muda untuk melanjutkan studi lebih lanjut, sehingga mereka harus memilih antara mencari kerja atau melanjutkan kuliah.
Perubahan Ekonomi dan Teknologi
Perubahan ekonomi dan teknologi yang cepat menuntut keterampilan baru yang belum sepenuhnya terintegrasi dalam kurikulum pendidikan tradisional.
Pandemi telah mengurangi kesempatan kerja dan membuat banyak perusahaan melakukan pemecatan atau penghentian perekrutan, sehingga para pelamar masih sulit mendapatkan pekerjaan.
Dampak Pengangguran Struktural
Angka pengangguran struktural ini memiliki dampak signifikan baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Beberapa konsekuensi utama termasuk:
Masalah Kesehatan Mental
Ketidakaktifan sosial dan profesional dapat menyebabkan stres dan masalah kesehatan mental lainnya di kalangan anak muda.
Potensi Hilangnya Generasi Produktif
Jika tidak ditangani, Indonesia bisa kehilangan potensi dari generasi muda yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi di masa depan.
Solusi Strategis
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif, seperti:
- Meningkatkan kualitas pendidikan dengan fokus pada keterampilan praktis yang relevan dengan industri kontemporer.
- Menyediakan akses pendidikan yang lebih terjangkau melalui beasiswa dan program bantuan.
- Mengintegrasikan teknologi dalam kurikulum untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang dinamis.
- Meningkatkan kesadaran tentang peluang kerja dan pendidikan di kalangan generasi muda melalui kampanye informasi yang efektif.
Dengan pendekatan yang tepat, tantangan ini dapat diubah menjadi peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi Generasi Z dan Indonesia secara keseluruhan.
Negara harus bersiap untuk memberikan dukungan yang lebih kuat kepada lapisan muda agar mereka dapat berkembang sebagai sumber daya manusia yang produktif dan tangguh dalam era digital saat ini.
Ada banyak persoalan yang dihadapi Gen Z (UKT mahal, pengangguran, Gangguan mental dll). sebagai dampak dari sistem demokrasi kapitalisme yang banyak melahirkan aturan rusak. Di sisi lain hari ini Gen Z terjebak dalam gaya hidup rusak, mulai dari FOMO, konsumerisme, hedonism.
Gen Z memiliki modal besar sebagai agen perubahan, termasuk membangun sistem kehidupan yang shahih. Demokrasi menjauhkan gen Z dari perubahan hakiki dengan Islam kaffah, padahal hanya dengan sistem Islam generasi dan umat manusia akan selamat.
Untuk itu, gen Z membutuhkan adanya partai yang akan membina Gen Z secara shahih yang mendorong terbentuknya gen Z berkepribadian Islam, yang akan membela Islam dan membangun peradaban islam.
Wallahu'alambissawab
Posting Komentar