-->

NEGERI BERGELIMANG PAJAK


Oleh : Musdalifah Rahman, ST.

Di zaman serba “money oriented” ini, kepemilikan rakyat apa yang bisa lolos dari sasaran pajak? Kendaraan yang dibeli menggunakan uang hasil keringat sendiri, ada kewajiban membayar pajaknya setiap tahun. Rumah yang dibangun diatas tanah yang diwariskan oleh orang tua kandung sendiri, setiap tahunnya juga dikenai pemberlakuan pajak. Pekerjaan yang dicari murni pakai usaha sendiri, juga dikenakan potongan pajak penghasilan setiap bulannya. 

Bisnis yang dibangun pakai modal sendiripun, makin berkembang bisnisnya, akan makin besar pula nominal pajaknya. Bahkan jika kita kulineran di rumah makan atau berbelanja di tempat-tempat tertentu, disadari atau tidak, sebetulnya nominal pembayaran kita telah disertai dengan pajak.

Dan kini, perburuan pajak makin menunjukkan taringnya. Dimana khusus untuk pajak kendaran, akan ada pemberlakuan “door to door” (dari rumah ke rumah meminta pelunasan pajak) yang akan dicanangkan di tengah situasi perekonomian kelas bawah dan kelas menengah yang sebetulnya sedang tidak baik-baik saja.

Dikutip dari DetikOTO Tanggal 07 November 2024, Tim pembina Samsat akan mendatangi rumah pemilik kendaraan yang menunggak pajak. Korlantas Polri sudah menyiapkan beberapa cara untuk membuat masyarakat patuh membayar pajak kendaraannya. Salah satunya dengan mendatangi rumah pemilik kendaraan yang tercatat belum membayar pajak. Disebutkan bahwa, langkah itu ditempuh karena tingkat kepatuhan masyarakat melakukan perpanjangan STNK per 5 (lima) tahun masih sangat minim. Dari total 165 juta unit kendaraan terdaftar, tak sampai separuhnya membayar pajak.

Seharusnya data yang menunjukkan ketidakpatuhan masyarakat dalam membayar pajak kendaraan dapat menjadi bahan analisa dan muhasabah oleh pemerintah menyoal makin merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat. Karenanya cukup mengherankan, melihat data yang dirilis BPS pada Juli 2024 lalu yang meng-euforia-kan turunnya angka kemiskinan di Indonesia. Pertanyaan besarnya, apa iya?

Dalam hal mengetuk palu kebijakan yang perealisasinya adalah rakyat, harusnya pemerintah sebagai regulator melihat dengan cermat dan terukur tentang seberapa mampu masyarakat di lapisan kelas manapun untuk menyanggupi kewajiban yang termaktub dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Adakah wajar disebut sebagai periayah (pengurus rakyat), jika menetapkan kewajiban atas pungutan yang berupa-rupa, namun disisi lain, membiarkan harga kebutuhan pokok melambung tinggi. 

Sayangnya, ketidakramahan harga kebutuhan pokok tidak dibarengi dengan kenaikan nominal penghasilan. Yang terjadi justru lapangan pekerjaan makin terbatas, korban PHK tembus 64.221 orang per November 2024, serta banyak UMKM yang harus gulung tikar. Alhasil, daya beli masyarakat merosot. Ibarat kata, makan saja sulit, apalagi untuk bayar pajak.

Dan perlakuan menyoal pajak pun dipandang berat sebelah. Tidak sekali dua kali, para pemungut pajak justru memberikan keringanan bahkan pembebasan pajak untuk pungutan-pungutan yang menjadi domain masyarakat kelas atas.

Dikutip dari CNBC Indonesia Tanggal 21 Februari 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membebaskan mobil listrik impor dari pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Besaran pajak yang ditanggung pemerintah mencapai 100%. Artinya selama kurun waktu Januari-Desember 2024, pembelian mobil listrik tidak dikenakan PPnBM.

Tidak hanya itu, dikutip dari website resmi KemempanRB Tanggal 04 November 2024, Menteri Keuangan (Menkeu) secara resmi memperpanjang fasilitas tax holiday (pembebasan/ pengurangan pajak bagi investor) hingga 31 Desember 2025. Langkah ini diambil untuk menarik lebih banyak investasi asing ke Indonesia di tengah penerapan pajak minimum global 15 persen oleh berbagai negara.
 
Tidak dapat dipungkiri, negara yang menjadikan kapitalisme sebagai sistem akan menjadikan pajak sebagai jantungnya. Pajak adalah penyokongnya. Keuntungan materi yang dijunjung tinggi dalam prinsip kapitalisme tidak akan melewatkan kesempatan mendulang pundi-pundi materi dari berbagai macam pungutan. Tidak peduli apakah yang menjadi sasaran pungutan ridho atau tidak dengan pungutan itu.

Di Indonesia sendiri, pemasok anggaran terbesar dalam APBN adalah pajak. Dikutip dari CNN Indonesia Tanggal 13 November 2024, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak hingga Oktober 2024 mencapai Rp1.517,53 triliun atau 76,30 persen dari target APBN 2024.

Sungguh miris untuk memikirkan, bahwa di negara dengan sumber kekayaan alam yang melimpah ruah baik dari sumber daya perairan, hutan, tambang dan rempah-rempah, pajak justru merupakan penopang terbesar dalam komposisi APBN nya.

Pajak seringkali digadang-gadang sebagai pengeluaran yang manfaatnya akan kembali kepada rakyat dan hal itu akan rakyat rasakan dalam bentuk infrastuktur dan fasilitas yang memadai, fasilitas pendidikan, fasilitas dan program kesehatan, serta kestabilan perekonomian negara.

Meski tidak sepenuhnya salah, namun pendapatan pajak sebesar itu sangat tidak worth it dengan fasilitas dan pelayanan publik yang didapatkan.

Misalnya saja untuk sektor kesehatan, pada faktanya justru rakyat sendirilah yang harus menyetor uangnya dalam skema asuransi BPJS. Untuk prasarana jalan, kalau kita menginginkan jalan mulus dan bebas macet, alternatifnya adalah jalan tol, yang artinya harus mengeluarkan uang untuk mengaksesnya. Untuk sektor pendidikan, orang-orang berbondong-bondong melirik sekolah swasta karena kualitasnya, ujung-ujungnya akan menyedot uang rakyat lagi. Di sektor-sektor lainnya, konsepnya pun sama. Lantas, pajak untuk siapa?

Ditambah lagi, jika kita menilik ke belakang untuk mengingat kasus korupsi besar-besaran pada sektor pajak di Indonesia, makin membelalakkan mata kita bahwa mengharapkan timbal balik dari pungutan pajak berupa peningkatan taraf hidup rakyat serta kemaksimalan fasilitas kebutuhan umum, sulit untuk menjadi harapan.
 
Serangkaian carut marut ini, sangat berbanding terbalik dengan konsep Islam dalam menghimpun pendapatan negara. Dalam struktur Daulah Islam, negara memiliki berbagai sumber pendapatan yang melingkupi tiga pos, yakni pos pemasukan tetap, pemasukan dari hak milik umum dan pemasukan dari hak milik negara yang kesemuanya tertampung dalam Baitul Mal.

Pos pemasukan tetap meliputi fai’, ghanimah, anfal, kharaj dan jizyah. Sedangkan pemasukan dari kepemilikan umum bersumber dari pengelolaan sumber daya alam seperti minyak bumi, gas, barang tambang, laut, hutan dan lain-lain. Adapun pemasukan dari hak milik negara terdiri dari usyur, khumus, rikaz dan sebagainya. 

Dalam hal tinjauan syariat Islam, para ulama telah menyepakati keharaman pungutan pajak atas harta kaum muslimin. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Surah An-Nisa ayat 29, pajak terkategori sebagai salah satu jalan yang batil memakan harta sesama.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa/4 : 29]

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” (Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.)

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Akan tetapi, seringkali pemberlakuan pajak yang dilakukan di masa Rasulullah SAW dan sepanjang era tegaknya khilafah menjadi dalih pembenaran untuk menghalalkan sistem perpajakan seperti masa sekarang. Padahal pajak di masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah-khalifah selanjutnya tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, akan tetapi hanya dipeeruntukkan khusus untuk non muslim atas jaminan keamanan dan kenyaman mereka berada dibawah perlindungan Daulah.

Pungutan pajak yang ditetapkan untuk kafir dzimmi bukan terkategori sebagai sebuah ketidakadilan sosial sebab untuk kaum muslimin sendiri sudah diwajibkan untuk membayar zakat.

Adapun dalam kondisi darurat yakni terjadi kekosongan atau kekurangan harta dalam Baitul Mal yang berdampak pada kestabilan jalannya instrument pokok (seperti sektor kesehatan dll) atau terjadi bencana alam/ peperangan jangka panjang yang menyerap dana besar sehingga finansial negara menjadi goyah, maka negara boleh menarik pajak dari harta kaum muslimin. 

Sebab jika dihadapkan dengan kondisi tersebut, maka sudah menjadi kewajiban yang melekat di setiap pundak kaum muslimin untuk mempertahankan kekokohan Daulah. Namun yang perlu digarisbawahi, pungutan pajak yang dimaksud hanya bersifat temporer atau dengan kata lain dihentikan ketika kondisi Baitul Mal sudah kembali mapan.

Namun, sistem ekonomi Islam itu amatlah agung, rambunya jelas dan bersifat tetap, juga tendensius pada independent financial, ditambah lagi potensi sumber daya alam dikerahkan untuk kemanfaatan umum serta ketetapan hukuman bagi penyelewengan atas harta (korupsi) yang memberikan efek jera, sehingga sangat kecil kemungkinan Daulah dengan penerapan sistem Islam mengalami situasi bangkrut.

Pemberlakuan aneka pajak yang berjibun dan bersifat tetap atas harta kaum muslimin ditengah ngos-ngosannya rakyat kelas menengah dan kelas bawah mencukupi kebutuhan hidup hanyalah potret dari sengkarut penerapan sistem kehidupan selain Islam. 

Se-crazy rich apapun sebuah negara, jika sistem perekonomiannya mengadopsi prinsip kapitalisme, maka jangan harap dapat terbebas dari pungutan pajak. Tagihan akan selalu membersamai sampai raga masuk ke liang lahat. 

Keagungan sistem ekonomi Islam dan buruknya sistem selainnya, harusnya tidak lagi menjadi alasan untuk tidak mengambil Islam sebagai konsep pengaturan menyeluruh untuk individu, masyarakat dan negara.