Pemilu Ajang Kepentingan Oligarki dalam Sistem Demokrasi
Oleh : Fitriani, S.Hi (Guru dan Aktivis Dakwah)
Pilkada serentak akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024 mendatang. Tanggal tersebut sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional karena mengingat pentingnya menentukan orang-orang yang layak memimpin daerah. Seperti halnya pemilu dalam memilih presiden dan anggota legislatif, pilkada juga diharapkan mampu memenuhi harapan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang adil dan amanah.
Hanya saja, harapan rakyat tampaknya akan kembali pupus.
Sebabnya, aroma politik kotor pilkada menjelang pencoblosan malah makin pekat. Hal itu tampak dari mobilisasi kades untuk memilih paslon tertentu, praktik suap, kecurangan, hingga mempermainkan agama dengan menjanjikan para pemilihnya masuk surga. Naudzubillah.
Kecurangan yang paling disorot media kali ini yakni mobilisasi kades. Mobilisasi kades untuk pemenangan memang kerap terjadi di setiap kontestasi. Pada 23 Oktober 2024, tim Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Semarang menggerebek sekitar 90-an kades yang sedang mengikuti pertemuan tertutup di hotel bintang lima di Kota Semarang. Acara yang berslogan Satu Komando bersama Sampai Akhir itu diduga kuat sebagai ajang mobilisasi kades dalam rangka memenangkan salah satu paslon. Selain mobilisasi kades, politik kotor pilkada juga terkait erat dengan politik uang. Suap-menyuap berkedok pengajian lumrah terjadi menjelang pencoblosan.
Masih segar diingatan kita beberapa waktu lalu ditemukannya aliran dana sebesar RP.193 Miliar ke kantong Parpol yang menghebohkan jagat politik tanah air. Pasalnya ditengah kehidupan masyarakat yang serba susah, serba sulit karena harga bahan kebutuhan pokok yang terus melejit terutama harga beras yang tidak kunjung turun. Justru parpol mendapatkan dana sedemikian besar. Bahkan kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebutkan dana itu juga didapatkan dari luar negeri dan lebih besar daripada yang didapatkan pada tahun 2022 yang hanya senilai 83 miliar. (cnbcindonesia.com/ 12/01/2024).
Adanya aliran dana Pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan Pemilu berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Ada bahaya yang harus diwaspadai dibalik itu, yaitu tergadaikannya Kedaulatan negara. Bagaimana tidak ketika masyarakat berharap adanya perubahan kehidupan yang lebih baik dengan terselenggaranya pemilu kenyataannya masyarakat harus menelan pil pahit karena pemimpin mereka punya hutang budi kepada para pemilik modal, sehingga ketika pemimpin tersebut menang dan menjabat sudah dipastikan setiap kebijakan yang mereka keluarkan pasti akan menyesuaikan dengan kepentingan para capital yang memberikan modal dan membiayai mereka untuk bisa menang dalam Pemilu.
Bahkan menjadi satu keniscayaan jika para pemimpin itu menjabat akan mengikuti kepentingan para konglomerat. Mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi, sehingga rawan adanya kucuran dana berbagai pihak yang ingin mendapatkan bagian, Akibatnya Parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Bahkan siapapun yang terpilih, maka tetap oligarkilah pemenangnya.
Hal ini berbeda dengan Islam. Dalam Islam memilih pemimpin tidak perlu biaya mahal. Bahkan dilakukan dengan sederhana, efektif dan efisien serta hemat biaya Sehingga tidak perlu modal besar. Para pemimpin yang dipilih adalah orang-orang yang memang memiliki kapabilitas dan kelayakan sebagai seorang kepala pemerintahan (Khalifah). Calon khalifah harus memenuhi 7 syarat iniqad yaitu seorang Khalifah harus Muslim, adil (tidak fasik), laki-laki, baligh, berakal, merdeka dan mampu. Khalifah dipilih untuk menjalankan amanah sesuai tuntunan yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya.
Maka jika kita lihat dari tujuh syarat iniqad seorang pemimpin didalam Islam, tidak akan kita dapati aliran dana yang tidak jelas apalagi jelas-jekas dari asing yang membahayakan dalam pemilihan pemimpin seperti didalam system Kapitalis. Faktanya calon pemimpin didalam system kapitalis bisa berasal dari mana saja asal ada modalnya. Jika tidak ada modal maka bisa siapapun yang memodali dan membiayainya sehingga menjadikan calon pemimpin tersebut tidak merdeka. Maka simbiosis mutualisme sering terjadi antara penguasa dan pengusaha.
Maka 7 syarat iniqad tadi menjadikannya sangat berbeda dengan pemilihan pemimpin antara system Kapitalis dengan pemilihan pemimpin dalam Islam. Ketujuh syarat itu yang menentukan sah dan tidaknya seseorang menjadi Khalifah, juga menentukan diberhentikan atau tidaknya seseorang dari jabatan Khilafah. Jadi walaupun kekuasaan seorang Khalifah itu begitu besar, namun seorang Khalifah tetap tunduk kepada hukum syara.
Bahkan iika Khalifah dan aparatur negara lainnya melakukan pelanggaran hukum syara, maka akan dilihat: Pertama, jika pelanggaran tersebut terkait dengan kebijakan, atau penyalahgunaan wewenang, maka untuk menghentikan pelanggaran ini adalah tugas Mahkamah Mazalim. Kedua, jika pelanggaran itu berkaitan dengan syarat iniqad-nya, seperti misalnya Khalifah menjadi murtad, berubah menjadi perempuan, fasik, tidak merdeka, hilang ingatan, kemudian dia tidak mampu misalnya maka hal ini ini juga masih menjadi tugas Mahkamah Mazalim untuk menghentikannya. Ketiga, terlibat kasus hukum sebagai rakyat biasa, maka kasusnya bisa diadili di Mahkamah Khushumat, atau cukup Qadhi Hisbah, bergantung kasusnya.
Karena itu, walaupun kekuasaan Khalifah begitu kuat, bukan berarti Khalifah tidak tersentuh hukum.Khalifah juga tidak mempunyai kekebalan hukum. Sebaliknya, dia tunduk kepada hukum, karena kedaulatan Negara Khilafah di tangan hukum syara`. Bukan di tangan manusia.
Oleh sebab itu Khalifah juga tidak bisa bersembunyi di balik baju besar kekuasaannya untuk melanggar hukum. Yang akhirnya menjadikannya bebas melakukan apapun karena dia menjabat sebagai penguasa. Hal itu tidak akan terjadi dalam system Islam.
Sekalipun kekuasaan di tangan umat, tetapi kekuasaan itu tidak bisa digunakan rakyat untuk menjatuhkan Khalifah. Karena, hak pemakzulan atas diri Khalifah diberikan kepada Mahkamah Mazalim, bukan kepada Majelis Umat, partai politik atau rakyat. Keputusan pemakzulan oleh Mahkamah Mazalim juga tidak ditentukan oleh desakan rakyat, Majelis Umat, partai politik, militer atau pengusaha, tetapi ditentukan oleh hukum syara.
Dengan begitu, Khalifah benar-benar merdeka, independen dan hanya tunduk kepada Allah dan hukum syara, bukan kepada yang lain, apalagi kepada para konglomerasi dan oligarki. Selain itu, dengan ketakwaannya, dia pun menjadi pribadi yang luar biasa. Dengan berpegang teguh pada hukum syara, seorang Khalifah pun bisa bersikap adil kepada siapapun. Dia mengurus seluruh urusan rakyatnya, tanpa pandang bulu. Satu-satunya pertimbangannya adalah hukum syara. Karena itu, Khilafah menjadi negara semua pemeluk agama, semua etnis, bangsa, kelompok dan golongan. Bukan negara bagi kelompok atau etnis tertentu, apalagi para oligarki. Wallahu`alam bisshawab
Posting Komentar