Penolakan Pengungsi Rohingya, Lalu Harus Ke Mana Mereka Meminta Pertolongan?
Oleh : Nina Nurhasanah
(Aktivis Dakwah)
Pengungsi Rohingya terdampar di kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Kamis tanggal 24/10/2024. Selama 17 hari pengungsi berlayar setelah sebelumnya tinggal di kamp pengungsian Bangladesh dikarenakan adanya konflik di Myanmar, tempat kelahiran mereka.
Sejumlah 146 pengungsi Rohingya yang terdampar, sangat mengharapkan perlindungan dari Indonesia, mengingat banyak saudara sesama muslim di Indonesia, hingga mereka nekat berlayar dengan menggunakan kapal kayu. Namun perjuangan itu berbuah pahit, karena memdapat penolakan dari masyarakat Indonesia.
Warga Aceh pada awalnya menerima pengungsi Rohingya, karena memang Aceh telah dikenal dengan budaya peumulia jamee (memuliakan tamu). Tetapi ada beberapa hal yang akhirnya memicu warga Aceh menolak pengungsi Rohingya, yaitu:
Pertama, makin banyaknya kuantitas pengungsi Rohingya, hingga sampai ribuan orang.
UNHCR mengeluarkan data yang menunjukkan bahwa 14 November 2023 hanya ada 178 pengungsi Rohingya, namun ternyata di akhir tahun 2023, 11 kapal pengungsi masuk secara hampir bersamaan, yang pada akhirnya pengungsi Rohingya bertambah jumlahnya mencapai 2.288 orang.
Kedua, gencarnya opini negatif yang sengaja dibentuk untuk menebar kebencian terhadap pengungsi Rohingya.
Azharul Husna seorang Koordinator Kontras Aceh mengungkapkan, penolakan warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya, dikarenakan adanya stigma negatif yang terus beredar di tengah masyarakat.
Stigma negatif ini bisa dijumpai di media sosial, maupun pada oknum-oknum yang begitu gencar menyampaikan ujaran kebencian pada pengungsi Rohingya.
Ketiga, ditemukannya jaringan sindikat perdagangan orang.
Pihak tertentu menyalahgunakan kebaikan warga Aceh yang menolong pengungsi Rohingya, demi keuntungan Finansial. Pelaku perdagangan orang diantaranya ada yang dari Bangladesh, Myanmar, dan Indonesia. Dijelaskan oleh kepolisian setempat bahwa pengungsi Rohingya telah membayar 100-200 ribu taka Bangladesh (setara Rp 14-16 juta) per orang untuk bisa dapat tempat dikapal. Salah satu pelaku perdagangan orang Rohingya yang bernama Herman, dia mengakui kepada polisi pernah menerima bayaran dari seorang agen Malaysia sebesar 5 juta rupiah per pengungsi. Sehingga keuntungan yang dia raup bisa mencapai 375 juta rupiah.
Dari ketiga pemicu di atas, sebenarnya ada pemicu yang lebih kuat lagi yakni paham Nasionalisme, yang merupakan faktor utama penolakan. Pengungsi Rohingya dianggap sebagai warga negara asing dan bukan tanggung jawab negara Indonesia. Dan Indonesia hanya bisa bertindak sebatas menerima sementara, mendata, lalu kemudian dikirim ke negara lain yang bersedia menampung pengungsi Rohingya.
Convention Relatting to the status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relatting of the Status of Refugees (Protokol 1967) (28-1-2022) yang belum diratifikasi, dijadikan alasan oleh pemerintah Indonesia.
Padahal alasan ini jelas dibantah oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid. Meski belum di retifikasi, Indonesia telah memiliki banyak aturan terkait Hak Asasi Manusia (HAM).
Tanggung jawab juga dimiliki oleh Indonesia, Universal PBB terkait HAM. Seperti Konvensi menentang penyiksaan pada tahun 1998 yang diratifikasi oleh Indonesia, Internasional Covenant on Civil and Political Rights, dan Konvensi Hukum Laut. Isi dari Deklarasi dan Konvensinya diantaranya adalah Indonesia punya kewajiban untuk menghormati para pencari suaka, atau para pengungsi. Sedangkan asas yang terkandung di dalamnya adalah nonrefoulment yang artinya setiap manusia mempunyai hak untuk tidak dipindahkan ke negara lain, yang memiliki risiko penganiayaan di dalamnya dan terdapat pelanggaran HAM. Dengan demikian sudah jelas bahwa pemerintah tidak boleh mengembalikan (refouler), bahkan mengusir, mengekstradisi seseorang yang diduga kuat dalam keadaan bahaya karena telah terjadi sasaran penyiksaan.
Tetapi pada faktanya, paham Nasionalisme malah menjadi belenggu bagi pemerintah Indonesia yang akhirnya menganggap bahwa genosida yang dialami oleh Rohingya adalah bukan urusan Indonesia, dan itu merupakan urusan warga Rohingya sendiri.
Sekalipun tindakan Indonesia terkait masalah ini telah menjadi pembicaraan di tingkat ASEAN, namun sayangnya itu hanya sebatas retorika, basa-basi, tidak ada langkah konkret untuk menghentikan genosida. Alhasil genosida di Myanmar tetap terus terjadi selama berpuluh-puluh tahun tanpa ditemukan solusi. Seluruh negara ASEAN dan anggota PBB sedunia tidak ada yang tergerak sedikitpun untuk mengerahkan militer, guna menghentikan genosida di Myanmar sekaligus membebaskan muslim Rohingya. Dari sini bisa kita lihat bahwa pemerintah Indonesia dan negara-negara lain sedunia terbukti tidak mampu menjadi junnah (perisai) pelindung bagi muslim Rohingya.
Diamnya dunia atas genosida dan reaksi penolakan kedatangan muslim Rohingya, menjadi sebuah pertanyaan:
"Kepada siapa Rohingya harus meminta pertolongan?"
Sudah menjadi fitrah bagi manusia, bahwa setiap manusia membutuhkan perlindungan terhadap jiwa mereka, termasuk muslim Rohingya. Akan menjadi berbahaya jika para pengungsi Rohingya dikembalikan ke negara asalnya, karena akan menjadi korban genosida oleh Junta militer Myanmar. Ditambah jika pengungsi Rohingya dikembalikan dengan menggunakan kapal yang reyot, bekal seadanya, jumlah penumpang melebihi batas, maka akan beresiko tidak aman bahkan kematian.
Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Rohingya berasaskan sekular-kapitalistik. Sehingga pemerintah berpandangan bahwa menolong muslim Rohingya secara materi akan mengalami kerugian walaupun dalam level membantu seadanya.
Mengurusi pengungsi memang tidak bisa dilakukan oleh individu atau lembaga sosial, karena membutuhkan biaya yang besar. Dan urusan ini jelas merupakan urusan ranah penguasa (negara).
Rakyat hanya bisa membantu yang bersifat Individual dan terbatas seperti memberikan makanan, minuman dan pakaian semampunya. Bantuan untuk pengungsi rohingya selama ini bukan berasal dari APBN/APBD, karena memang anggaran tidak ada untuk pengungsi. Pemerintah hanya bisa menyediakan lokasi penampungan sementara dan ini ditegaskan oleh menkopolhukam era Jokowi, Mahfud MD.
Kebutuhan sehari-hari pengungsi ditanggung oleh UNHCR, di mana dana UNHCR berasal dari donasi masyarakat, swasta dan lembaga.
Sejatinya warga Rohingya adalah saudara muslim kita. Antara sesama muslim ada pertalian aqidah. Sudah semestinya kita wajib menerima dan mengurusi mereka. Menyambut baik mereka dengan memberikan bantuan berupa kebutuhan pokok dan memberikan perlindungan dari hal-hal yang mengancam jiwa mereka. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah QS Al-Hujurat ayat 10 :
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Oleh sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat".
Dari ayat tersebut, sudah seharusnya kita tidak boleh membiarkan mereka menderita terlunta-lunta di lautan hingga ada yang meninggal dunia. Jika kita menolak dan mengusir mereka Maka sudah pasti akan berdosa.
Penampungan sementara untuk Muslim Rohingya bukanlah solusi. Mereka butuh solusi yang konkrit yaitu sebuah institusi pelindung mereka dari kelaparan, ancaman, pemgusiran, genosida, dan kematian. Maka dari itu kita tidak bisa berharap pada pemerintah kapitalis yang jelas kebijakannya berasaskan untung-rugi. Kita pun tidak bisa berharap pada negara-negara yang telah terbelenggu nasionalisme.
Jelas sekali bahwa satu-satunya institusi yang bisa menjadi junnah (perisai) bagi muslim Rohingya adalah negara Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya Imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung dari musuh dengan (kekuasaannya)"
(HR. Muttafaqun 'Alaih).
Syekh Taqiyyudin An Nabhani dalam kitab Ajhizah Daulah Al-Khilafah, memaparkan bahwa hadits ini diantaranya mengandung pensifatan terhadap Khalifah, yang artinya bahwa dia adalah junnah (perisai) yakni wiqayah (pelindung).
Aqidah Islam menjadi asas bagi negara Khilafah. Sehingga muslim
Rohingya akan dipandang sebagai saudara sesama Muslim yang terancam bahaya dan harus ditolong. Negara Khilafah mempunyai beberapa cara untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi kepada para muslim Rohingya, diantaranya:
Pertama, pengungsi dengan tangan terbuka akan diterima, diberikan tempat tinggal yang layak, makanan, minuman, dan layanan kesehatan.
Kedua, Khilafah akan memberikan kewarganegaraan pada pengungsi, sehingga mereka mendapatkan riayah (pengurusan) , seperti warga negara lainnya, dalam bidang pendidikan, transportasi kesehatan, zakat, santunan bagi fakir miskin, hak politik, tempat ibadah dan yang lainnya.
Ketiga, laki-laki dewasa akan diberikan pekerjaan yang layak sehingga mereka bisa menafkahi keluarganya. Bantuan modal juga akan diberikan dan fasilitas mengasah keterampilan, sehingga mereka bisa membuka usaha sendiri.
Keempat, Khilafah juga akan berupaya membebaskan muslim rohingya dengan mengirimkan militer, yaitu dengan futuhat (membebaskan) wilayah tersebut dari rezim kufur junta militer, yang akhirnya muslim Myanmar dapat hidup aman di bawah naungan negara Khilafah.
Dengan begitu, muslim Rohingya bisa melanjutkan kehidupannya dengan aman dan sejahtera di bawah kemuliaan sistem islam yang diterapkan oleh negara Khilafah.
Wallahu A'lam bish-shawab.
Posting Komentar