-->

Polemik Menjelang Pilkada

Oleh : Tri S, S.Si

Pemilihan kepala daerah (disingkat Pilkada) menjadi event 5 tahunan yang rutin diselenggarakan Indonesia untuk memilih pejabat di daerah. Pilkada biasanya dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia untuk memilih gubernur, bupati, dan juga walikota. Di tahun 2024 ini, Pilkada serentak dilaksanakan pada 27 November 2024 di berbagai wilayah di Indonesia. Banyak yang melihat pilkada sebagai cara terbaik mewujudkan pemilihan kredibel seorang pemimpin di wilayahnya, namun tidak sedikit juga problem yang timbul dari pelaksanaan Pilkada itu sendiri. Salah satunya adalah mobilisasi kades untuk memenangkan paslon tertentu. Tim Bawaslu Kota Semarang berhasil menggerebek pertemuan tertutup yang dilakukan para kepala desa (kades) dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah di Gumaya (tirto.id,26/10/2024). 

Posisi seorang kades yang berhadapan langsung dengan masyarakat menjadi ujung tombak pamungkas untuk mengarahkan suara masyarakat level terbawah. Hal inilah yang menjadikan strategi bulus dari mereka yang ingin menang apapun caranya. Disini kita mulai berpikir, mengapa mereka melakukan cara kotor seperti ini untuk memperoleh suara? Jawabannya adalah karena mereka harus menang. Sekali lagi, harus menang. Hal ini tak lain adalah karena begitu besarnya modal yang telah mereka keluarkan untuk maju dalam Pilkada. 

Apabila menang, kesempatan mereka mengembalikan "uang pinjaman" dari para pemilik modal akan terbuka lebar melalui berbagai "uang kebijakan" yang mudah untuk diselewangkan. Belum lagi peluang mengotak-atik kebijakan sesuai "pesanan" yang akan membuat mereka untung besar dari jabatan yang telah berhasil dimenangkan. 

Lalu, bagaimana dengan nasib si kalah? Kalahnya mereka dalam ajang pilkada akan membuat mereka rugi besar dan tak mampu balik modal. Uang ratusan juta akan terbuang sia-sia. Mereka juga akan dikenal sebagai pecundang yang kalah dalam Pilkada. 

Kehormatan yang mereka idam-idamkan itu pun hanya jadi angan-angan semata. Alhasil, tak sedikit dari mereka yang berakhir di rumah sakit jiwa karena terganggu kejiwaannya. 

Inilah mengapa meskipun mobilisasi ini adalah cara yang kotor dan tak dibenarkan, mereka tetap melakukannya demi meningkatkan presentase kemenangan. Mereka sudah terlanjur basah mendaftarkan diri dalam Pilkada sehingga tak ada pilihan lain selain menang. 

Pola pikir seperti ini merupakan imbas nyata dari pemikiran demokrasi kapitalis yang menganggap bahwa jabatan yang mereka emban layaknya bisnis biasa. Tak ada mindset bahwa menjadi kepala daerah adalah amanah untuk mengurus rakyat. Fokus mereka hanya bagaimana menutup modal yang telah dikeluarkan untuk menjabat.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam sistem demokrasi seringkali diwarnai dengan kisruh dan berbagai masalah. Meskipun Pilkada digagas sebagai ajang rakyat memilih pemimpin secara langsung, pada praktiknya, rakyat sering kali menjadi pihak yang dirugikan. Persaingan antar calon yang ketat hingga manipulasi aturan oleh pihak-pihak yang berkuasa menunjukkan kelemahan mendasar dalam proses Pilkada yang seharusnya demokratis. 

Pada beberapa kasus, perubahan aturan dalam Pilkada, seperti revisi undang-undang dan pembatasan usia calon kepala daerah, dilakukan tanpa mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya bersifat mengikat. Upaya-upaya ini sering kali dilakukan oleh DPR dan partai politik dengan tujuan mempertahankan kekuasaan dan menyulitkan partai-partai kecil untuk mencalonkan kandidat. Akibatnya, muncul persepsi bahwa Pilkada telah diselewengkan menjadi alat bagi elit politik untuk memperkokoh posisinya, sementara aspirasi rakyat justru termarjinalkan.

Di sisi lain, muncul fenomena "koalisi gemuk" dalam Pilkada, di mana berbagai partai politik bersatu untuk mendukung satu calon tertentu. Ini menyebabkan terjadinya kontestasi yang tidak seimbang, seperti kotak kosong yang menguntungkan calon tunggal. Fenomena ini membuat Pilkada menjadi semakin tidak demokratis, karena pilihan rakyat semakin terbatas pada satu calon yang dominan atau calon independen yang kurang berdaya.

Persaingan sengit dalam Pilkada sering kali memicu praktik-praktik korupsi politik. Untuk memenangkan kontestasi, tidak jarang para calon kepala daerah mengandalkan dana besar dari pihak ketiga, termasuk dari kalangan pebisnis yang memiliki kepentingan tertentu. Setelah memenangkan Pilkada, kepentingan masyarakat sering kali diabaikan dan digantikan dengan agenda para penyokong dana kampanye. Hal ini merugikan rakyat karena para pemimpin yang terpilih cenderung lebih mementingkan kepentingan segelintir pihak daripada kebutuhan masyarakat luas.

Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila sistem Islam yang diterapkan dalam kehidupan umat. Sistem Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya untuk memilih kepala daerah. Hal ini karena pemilihan kepala daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan penunjukan secara langsung oleh khalifah sesuai dengan kebutuhan khalifah. 

Sebagai pembantu khalifah, khalifah-lah yang paling tahu hal kriteria apa saja yang dibutuhkan pada diri para pembantunya sehingga pemilihan langsung oleh khalifah menjadi langkah yang paling efisien. 

Meskipun begitu, khalifah akan tetap mengedepankan profesionalisme dalam memilih para bawahannya. Khalifah dalam Khilafah Islamiyah faham betul bahwa menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. 

Maka, khalifah akan menghujamkan pada dirinya untuk memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas sesuai yang dibutuhkan. Praktik nepotisme tidak akan jadi pilihan mengingat besarnya hisab yang akan dipertanggungjawabkan di pengadilan Allah kelak.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (TQS. An-Anfal: 27)

Dengan kepemimpinan yang tepat dan menerapkan hukum syariat, maka rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera. Tidak ada lagi biaya selangit untuk menjabat. Tidak ada lagi cara kotor untuk meraih jabatan. Semua berorientasi untuk memakmurkan rakyat dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Al-Hakam.
 
Dalam Islam, konsep kepemimpinan dan pemilihan pemimpin sangat berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis. Pemilihan pemimpin dalam Islam dilakukan dengan tujuan mencari sosok yang benar-benar dapat menegakkan syariat, bukan sekadar memenangkan kontestasi politik. Pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria keadilan, kejujuran, dan memiliki visi untuk menyejahterakan rakyat secara merata.

Sistem Islam juga tidak mengharuskan masyarakat memilih dalam kontestasi yang dipenuhi dengan kepentingan kapitalis. Pemilihan pemimpin dilakukan melalui musyawarah yang murni bertujuan mencari kandidat terbaik tanpa intervensi pihak-pihak yang berkepentingan secara ekonomi atau politik. Dengan demikian, kekisruhan yang sering terjadi dalam Pilkada modern dapat dihindari karena pemimpin yang terpilih benar-benar memiliki komitmen untuk melayani umat. Kisruh Pilkada yang berulang dalam sistem demokrasi menunjukkan kelemahan struktural dalam proses pemilihan kepala daerah yang berbasis kapitalisme. Demokrasi dengan segala intrik politik dan kepentingan elit kerap menjadikan rakyat hanya sebagai objek politik. Sebagai alternatif, sistem Islam menawarkan solusi pemilihan pemimpin yang lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Dengan menerapkan prinsip Islam dalam pemilihan pemimpin, diharapkan rakyat akan mendapatkan pemimpin yang jujur, adil, dan bertanggung jawab atas amanah yang diberikan.

Wallahu a'lam bishowab