Prinsip Hidup Sekuler Kapitalis, Ciptakan Gaya Hidup FOMO
Oleh : Uswah, Aktivis Muslimah
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yang berarti rasa takut tertinggal, telah menjadi tren signifikan yang di kalangan Generasi Z. FOMO mencerminkan dampak interaksi individu berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. FOMO muncul sebagai respon terhadap tekanan sosial untuk selalu terlibat dalam aktivitas atau pengalaman yang menarik oleh orang lain. Selain itu ada istilah YOLO (You Only Live Once) yang bergaung di generasi Z yang disalahartikan dengan memaksimalkan dan memanfaatkan waktu muda untuk bersenang-senang dan mencari hiburan semata.
Jika diamati, arus deras informasi yang mudah diakses tiap harinya serta tren yang berubah cepat di platform sosial media membuat generasi saat ini ingin terus mengikuti tren yang ada. Pada akhirnya menimbulkan persaingan gaya hidup di kalangan remaja dan muda dewasa tidak jauh dari materi, seperti flexing, hedonism dan kemewahan. Sehingga menimbulkan persaingan. Tak ayal, yang tidak kuat bersaing mengalami tekanan, stres hingga gangguan kesehatan mental.
Maka, gaya hidup FOMO, YOLO, FOPO (fear of other people's opinion) menjadi salah satu faktor bagi permasalahan finansial anak muda hari ini jika tidak dapat dikelola dengan bijak. Memaksakan sesuatu tanpa perhitungan matang dan dana yang cukup, akan membawa ketergantungan pada utang yang tidak produktif.
Berdasarkan laporan lokadata.id, sebanyak 78% masyarakat generasi millenial dan generasi Z menggunakan aplikasi fintech setiap harinya, termasuk dompet digital, layanan pinjaman dan pembayaran online. Namun tingginya penggunaan layanan tersebut berpotensi mengalami kerugian besar bagi generasi muda apabila tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik.
Melansir data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), generasi Z memang menjadi penyumbang utama kredit macet pinjaman online. Pada Juli 2024, tingkat kredit macet lebih dari 90 hari atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) di perusahaan pinjol mencapai sebesar 2.53%.
Akar Penyebab
Salah satu akar munculnya gaya hidup FOMO adalah sistem liberal kapitalisme demokrasi. Sistem ini sering kali menciptakan budaya konsumsi berlebihan, mendorong individu untuk mencari kesenangan instan.
Tentu kita ingat, demam Labubu beberapa waktu lalu. Boneka Labubu menjadi begitu booming setelah idol Kpop Lisa Blackpink memamerkanya di media sosial. Gaya hidup hedonistik berkembang di kalangan generasi Z mengutamakan kesenangan duniawi sesaat, menjadikan pengalaman sosial sebagai prioritas utama. Akibatnya, potensi generasi Z untuk berprestasi dan berkarya yang lebih baik sering kali terabaikan.
Dampak Negatif FOMO
Padahal, FOMO memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap generasi Z. Pengabaian dalam pengembangan diri dan prestasi, serta ketidakmampuan untuk memanfaatkan potensi secara optimal, menjadikan generasi ini rentan terhadap tekanan psikologis.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, media sosial. Paparan terus-menerus terhadap kehidupan orang lain melalui platfrom sosial media dapat membuat seseorang merasa tertekan untuk ikut serta dalam tren atau acara.
Kedua, tekanan sosial. Keinginan untuk diterima oleh teman sebaya dapat mendorong generasi muda saat ini untuk selalu mengikuti apa yang populer atau sedang dibicarakan.
Ketiga, kurangnya kepercayaan diri. Remaja yang merasa kurang percaya diri mungkin lebih rentan terhadap FOMO, karena mereka ingin menunjukkan bawah mereka juga memiliki pengalaman menarik.
Keempat, budaya konsumerisme. Komersialisasi pengalaman, seperti acara dan produk, dapat membuat remaja merasa perlu untuk memiliki mengalami hal yang sama dengan orang. Hal ini merupakan buah dari sistem kapitalisme yang bersandar kepada materi, eksistensi diri sehingga tak jarang cara memperoleh tujuan akibat FOMO mengarah kepada hal-hal yang melanggar pidana, hukum dan syariat. Seperti, terjerat paylater atau pinjaman online. Sekitar 70% penggunan jasa paylater adalah kalangan muda. Prinsip, ‘buy now, pay later’ menjadi obat penenang kala FOMO menuntut pemenuhan. Walhasil, kehidupan generasi hanya berkutat pada perkara duniawi.
Kelima, keterhubungan digital. Dengan akses yang mudah ke informasi dan komunikasi, remaja dapat merasa terhubung sekaligus terasing jika tidak dapat berpartisipasi dalam hal-hal yang sedang terjadi.
FOMO dapat menyebabkan stres dan kecemasan, sehingga penting bagi remaja untuk belajar mengelola perasaan ini. Sebagian orang yang FOMO berkeinginan untuk mendapatkan perhatian dari orang lain. Hal ini tentu akan berdampak buruk apabila orang tersebut sampai menggadaikan kehormatan atau bahkan jalan untuk FOMO lekat dengan urusan pindana dan melanggar hukum.
Dampak lain dari perilaku FOMO menyebabkan perilaku narsistik. Narsistik merupakan kondisi ketika seseorang merasa dirinya lebih baik dari orang lain sehingga butuh dikagumi dan mendapatkan perhatian lebih. Kondisi ini dapat menyebabkan penderitanya menjadi egois, memiliki sedikit sikap empati, arogan, kompetitif, percaya diri berlebihan dan senang mengintimidasi orang lain untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, berdasarkan penilitian Universitas College London, tingkat derpresi gen Z dua pertiga kali lebih tinggi daripada millenial. Melansir dari McKinsey Health Intitute, menurut survei Gen Z Global 2022 yang kepada 42 ribu responden dari 26 negara, sebagian besar perempuan Gen Z mengaku merasa takut apabila tertinggal tren (FOMO) sebesar 32%, khawatir terhadap citra diri sebesar 32% dan kepercaayan diri sebesar 13%.
Hal ini memperlihatkan bahwa regulasi sistem saat ini tidak memberikan perlindungan bagi generasi Z, justru menjerumuskan mereka dalam lingkaran materialistis uang dihasilkan oleh media sosial.
Sistem sekuler kapitalisme telah meletakkan standar sosial yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Ibarat meminum air laut, tetap saja tidak mampu menghilangkan dahaga. Seperti itulah gambaran manusia dalam mengejar kemewahan dunia. Generasi yang hari ini terlena dengan berbagai gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan duniawi, harus kritis dan melihat fenomena ini dengan sudut pandang yang khas.
FOMO tidak lebih dari fenomena yang menunjukkan krisis jati diri di kalangan generasi. Sudut pandang kapitalisme yang memaknai kebahagiaan sebatas gemerlapnya dunia telah berdampak pada labilnya generasi dalam memaknai hidup. Sudah selayaknya, generasi memahami perannya yang selama ini dibajak sistem kapitalisme.
Generasi diposisikan hanya sebagai pasar besar para pebisnis. Melalui fenomena FOMO ini, generasi begitu mudah diarahkan untuk memenuhi keinginan-keinginan yang tidak mereka butuhkan. Hadirnya berbagai literasi keuangan tetap tidak mampu membendung konsumerisme yang tercipta secara genuine dalam masyarakat yang kapitalistik.
Prinsip hidup ala kapitalisme inilah yang harus dilihat secara mendasar oleh generasi. Tersebab prinsip hidup sekuler kapitalisme ini telah menciptakan gaya hidup minus faedah seperti FOMO, maka mengkritik fenomena ini pun harus secara mendasar. Hal ini selaras dengan peran penting generasi sebagai agen perubahan untuk melakukan perubahan mendasar yang bersifat sistemis.
Terlebih lagi, sistem kapitalismelah yang menciptakan ruang hingga generasi menjadi sasaran empuk berbagai tren yang tidak berfaedah. Sama saja, sistem ini pun tidak memberi perlindungan pada generasi dari gaya hidup hedonis yang liberal. Bahkan, sistem ini berkontribusi dalam menjerumuskan generasi pada lingkaran hidup yang materalistis. Miris, negara malah memfasilitasi berbagai kanal media yang menawarkan gaya hidup instan, penuh ilusi dan fatamorgana di kalangan generasi.[]
Posting Komentar