-->

PSN Waterfront Land Surabaya: Reklamasi Ini Untuk Siapa?

Oleh : Fadhilah Nur Syamsi (Aktivis Muslimah)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mendesak pemerintah membatalkan rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) Waterfront Land Surabaya. Mereka menilai bahwa proyek tersebut cacat dari segi ekonomi hingga lingkungan. (Sumber: TEMPO.CO)
Surabaya Waterfront Land (SWL) atau proyek pembangunan sepanjang kawasan pesisir Kota Surabaya merupakan salah satu dari 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) pada April 2024 berdasar Permenko Nomor 6 Tahun 2024. PT Granting Jaya (Ken Park) sebagai pihak penggagas dan pengembang yang mendapatkan izin dari Presiden RI langsung untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan reklamasi di pantai timur Surabaya seluas 1.084 hektar dengan nilai investasi mencapai Rp 72 triliun. 

Ide SWL adalah pembangunan kawasan waterfront city dengan tajuk Surabaya baru yang difokuskan membangun kawasan pemukiman elite dipadukan dengan kawasan business dan hiburan, layaknya pantai indah kapuk jakarta atau kawasan pesisir Singapura.

Dampak Reklamasi, Cacat Segi Ekonomi Hingga Lingkungan

Reklamasi dianggap mengancam ekosistem pesisir dan juga lautan terutama bagi terumbu karang, lamun serta biota laut. Menimbulkan pencemaran dan kerusakan ekosistem sehingga ikan-ikan pergi meninggalkan perairan tersebut. Resiko penurunan muka tanah lebih cepat terutama di wilayah pesisir sehingga semakin rentan dari ancaman banjir rob. Sementara itu di wilayah yang lain, habitat pohon mangrove di pantai sebelah timur Surabaya yang luasannya terus merosot semenjak masa Orde Baru.

Warga yang hidup di tengah kota dan jauh dari pesisir juga akan berpotensi tinggi terdampak banjir. Reklamasi pada pulau D apabila terus dikerjakan maka akan menimbulkan dampak buruk pada penyumbatan 9 saluran air yang ada di kota Surabaya, sehingga tidak dapat keluar menuju laut. Nelayan akan kehilangan zona tangkapan ikan dan geraknya terbatas karena membutuhkan alat canggih untuk menangkap ikan ditengah laut. Ini menimbulkan ekonomi nelayan akan mengalami kerugian besar dan penghasilan semakin menurun. Bahkan terancam kehilangan mata pencaharian. Paling tidak 8000 kepala keluarga nelayan dari 12 kampung pesisir akan kehilangan pekerjaan karena reklamasi.

KNTI (kesatuan nelayan tradisional indonesia) menolak reklamasi karena jika politik ruang pesisir dan laut selalu mengedepankan investasi skala besar, maka yang terjadi adalah praktik-praktik penindasan dan perampasan ruang hidup nelayan oleh negara melalui korporasi. Sehingga secara konstitusi negara abai dalam melindungi nelayan tradisional yang secara turun temurun mengelola ruang hidup.

Keuntungan Berpihak Kepada Siapa?

Luasan 1.080 dari 1.184 ha yang direncanakan akan dibuat pulau buatan. Proses reklamasi ternyata dibutuhkan juga material tambang berupa pasir atau sejenisnya dalam jumlah sangat besar. Hal tersebut berpotensi dalam meningkatkan praktik penambangan pasir darat seperti di pesisir surabaya yang mana mencemari udara karena melepaskan karbon dalam jumlah besar, begitu pula dengan pengerukan pasir laut untuk menyokong kebutuhan reklamasi.

Untuk kepentingan korporasi, penguasa seolah hendak menjual tanah air serta kedaulatan negara sendiri untuk cuan dan bisnis. Tragisnya, pihak yang buntung justru para nelayan, keberlangsungan ekosistem laut dan masyarakat pesisir. Inilah keberingasan penguasa didikan ideologi kapitalisme. Dengan bermacam-macam alasan, kebijakan yang merugikan rakyat tersebut dilegalkan demi tercapainya kepentingan para penggarong SDA. Kerakusan kapitalisme membawa malapetaka bagi manusia, lingkungan hidup dan alam semesta.

Demokrasi yang diemban oleh Sistem kapitalisme ini meniscayakan penguasa memiliki hubungan mesra dengan para kapital, sebagai bentuk politik balas budi kepada para kapital yang sudah memberi modal besar untuk meraih kursi kekuasaan lewat pemilu. Sebagai imbasnya penguasa haruslah meloloskan proyek-proyek para investor tersebut, walaupun harus merampas ruang hidup masyarakat. Kejinya lagi, perampasan ini didukung regulasi dan tindakan represif dari aparat.

Islam Solusi Paripurna

Lautan, wilayah pesisir serta danau merupakan harta kepunyaan umum yaitu milik seluruh rakyat secara berserikat. Harta jenis ini dalam ketentuan syariah dilarang dikelola dan diserahkan kepada individu, kelompok individu maupun korporasi. Masih menurut syariah, negara dengan pengaturan tertentu harus memberi kemungkinan kepada seluruh rakyat supaya dapat memberdayakan harta milik umum. Dilihat dari ketentuan syariah, reklamasi seluas 1.084 hektar di pesisir Pantai Timur Surabaya, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, kawasan pesisir adalah harta milik umum. Tidak boleh dikuasai atau diberikan kepada individu, kelompok individu maupun korporasi. 

Adapun reklamasi kawasan perairan milik negara seperti kawasan rawa-rawa, jelas seharusnya dilakukan oleh negara secara langsung. Lahan hasil reklamasi pun bisa dibagikan, diberikan oleh negara kepada masyarakat dalam bentuk yang bermacam-macam. Seperti halnya yang dilakukan pada masa Umar bin al-Khathab, beliau berupaya untuk mengeringkan kawasan rawa-rawa di Irak kemudian beliau membagikan kepada rakyat yang mampu menghidupkannya. 

Dengan demikian dalam menyelesaikan persoalan ini, seorang muslim harus melihat melalui paradigma politik Islam yang haq hanya bisa ditegakkan melalui negara khilafah sebagai sistem kehidupan islam yang didesain untuk seluruh alam. Sedangkan paradigma kapitalisme adalah bathil karena berdasarkan kesepakatan manusia, peraturannya kuno, rusak dan bertentangan dengan visi penciptaan alam semesta dan manusia. Sehingga islam memang model ideal yang memiliki kapasitas memimpin peradaban sebagai kekuatan global baru.
Wallahu a'lam bi ash shawab. []