Rohingya Menanti Pertolongan Kita, Maka Tolonglah!
Oleh : Ummu Hanan
Nasib pengungsi asal Rohingya kian tak menentu. Beberapa waktu lalu kedatangan mereka dikabarkan terdampar di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 24 Oktober 2024. Diberitakan sebelum terdampar di Pulau Sumatera para pengungsi Rohingya ini sempat melakukan pelayaran dari kamp pengungsian yang ada di wilayah Bangladesh. Salah seorang pengungsi mengutarakan latar belakang mereka mengungsi akibat terjadinya konflik di Myanmar dan mereka berharap akan mendapat perlindungan dari pemerintah Indonesia. Indonesia menjadi harapan pengungsi Rohingya sebab adanya kesamaan keyakinan sebagai sesama Muslim, sebagaimana yang diutarakan oleh para pengungsi.
Kisah pilu pengungsi Rohingya bukan kali ini saja terjadi. Mereka sudah dikenal sebelumnya sebagai “manusia perahu” sebab ketidakjelasan status kewarganegaraan serta tempat tinggal. Pengungsi Rohingya hidup dari satu peruntungan ke peruntungan lainnya, berharap belas kasih dari wilayah yang didatangi. Namun tidak jarang stigmatisasi muncul manakala mereka dikatakan sebagai bagian sindikat penyelundupan manusia. Ini setidaknya dapat kita lihat ketika para pengungsi Rohingya mendekat kepulauan Sumatera, mereka tidak segera diizinkan merapat melainkan sempat terombang-ambing hampir sepekan di laut. Dalam proses penanganan lebih lanjut para pengungsi ini justru diindikasikan sebagai korban tindak pidana penyelundupan manusia (TPPM), padahal jumlah mereka berkisar 150 orang (kompas.com, 24/10/2024).
Warga Rohingya tentu tidak menginginkan nasib sebagai pengungsi. Mereka hakikatnya memiliki tanah air dan tempat tinggal. Akan tetapi dipicu oleh adanya konflik antar etnis dan agama. Pasca kemerdekaan di tahun 1948, Pemerintah Myanmar menolak kewarganegaraan Rohingya dan hal tersebut disahkan dalam undang-undang mereka. Lebih dari itu, orang Rohingya acapkali menerima intimidasi, penganiayaan serta diskriminasi selama bertahun-tahun. Mereka dibatasi dalam hal akses tempat tinggal dan penghidupan layak. Inilah kemudian yang melatari warga Rohingya mengungsi ke wilayah lain pergi dari kampung halaman mereka menuju ke negara tetangga maupun daratan Asia Tenggara lainnya.
Kisah di atas cukup menjadi bukti penderitaan yang dialami oleh warga Rohingya. Bagi kita, mereka tentu bukan sekadar pengungsi yang sedang mencari keberuntungan, tetapi lebih dari itu. Para pengungsi Rohingya adalah saudara kita, sebab mereka adalah Muslim sebagaimana kita. Mereka terjajah dan terusir dari tanah air, hampir tidak jauh berbeda dengan kondisi yang sedang dialami oleh saudara-saudara di Palestina. Hanya saja dikarenakan karena pemberitaan yang tidak berimbang ditambah dengan labelisasi pengungsi Rohingya, akhirnya isu ini seolah tenggelam di tengah live event serangan Israel ke Gaza dan Libanon. Padahal sejatinya nasib Rohingya dan Palestina tidaklah berbeda, keduanya sama-sama membutuhkan pertolongan kita sebagai sesama Muslim.
Penderitaan kaum Muslim Rohingya, Palestina dan di wilayah manapun adalah buah pahit penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah melanggengkan penjajahan yang menghalalkan segala cara, meski harus menumpahkan darah manusia yang tidak berdosa. Kapitalisme memberangus rasa keadilan dan kemanusiaan. Bahkan konsep kedaulatan yang diagungkan nyatanya tidak berlaku bagi kaum Muslim yang justru terusir dari tanah airnya. Kapitalisme jelas bertentangan dengan ideologi Islam, karena menjadikan kerakusan manusia sebagai asas kebijakan. Maka tidak heran jika banyak umat manusia yang terzhalimi dengan penerapan ideologi kapitalisme. Banyak nyawa yang melayang demi memenuhi hasrat penjajah menguasai negeri-negeri Muslim.
Kita tidak boleh berdiam diri terhadap kondisi saudara kita yang teraniaya. Nabi Saw telah memperingatkan kita dalam beberapa hadits, diantara, ”Barangsiapa bangun pada pagi hari dan dia tidak peduli dengan kondisi kaum Muslim maka dia bukanlah umatku (umat Nabi Muhammad Saw)” (HR Muslim). Selain itu pada hadits lain disebutkan, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi berbelas kasih terhadap sesama ibarat satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit maka yang lainnya akan ikut merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR Muslim). Lantas bagaimana halnya dengan kondisi saat ini dengan masifnya penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah kepada saudara Muslim kita? Tentu sangat wajib bagi kita untuk menolong mereka. Sebaik-baik pertolongan yang kita berikan adalah berupa kekuatan militer yang akan mengusir penjajah dari tanah kaum Muslimin.
Kaum Muslimin telah diperintahkan oleh Allah untuk melawan segala bentuk penjajahan. Terlebih dalam sistem kapitalisme, penjajahan merupakan thariqah untuk melanggengkan ideologi tersebut. Langkah strategis dalam menumpas penjajahan adalah dengan menghimpun kekuatan kaum Muslimin dalam satu kepemimpinan, yakni negara Khilafah Islamiyyah. Negara Khilafah akan menggalang kekuatan militer, baik dalam hal persenjataan maupun personil, untuk melawan kafir penjajah. Tidak ada lagi sekat kebangsaan (nasionalisme). Tidak akan ada lagi penindasan yang terjadi pada kaum Muslim apalagi sampai mengarah pada genosida. Maka manakala saudara Muslim kita memanggil agar menolong mereka, maka tolonglah! Allahu’alam.
Posting Komentar