-->

Sengkarut Pilkada, Realita Pahit Demokrasi?

Oleh : Zulfa Syamsul, ST (Komunitas Muslimah Siatutui Soppeng)

Sepekan berlalu setelah Bupati Soppeng, Andi Kaswadi Razak (AKR), dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas tuduhan pelanggaran kampanye Pilkada berupa pemberian fasilitas negara kepada salah satu calon Gubernur Sulawesi Selatan. Laporan yang awalnya diterima oleh Bawaslu Provinsi Sulsel ini karena pertimbangan lokasi kejadian, kemudian dilimpahkan ke Bawaslu Kabupaten Soppeng. Meski sudah lebih dekar, belum ada berita terbaru mengenai hal ini dari Bawaslu Soppeng saat tulisan ini dibuat. Akankah laporan ini menguap?

Diketahui laporan tersebut disampaikan oleh tim hukum Calon Gubernur Danny-Azhar sehubungan dengan penyelenggaraan agenda Jalan Santai dalam rangka Hari Jadi Kota Soppeng ke-355, Ahad (13/10). Laporan tersebut tidak hanya menyasar AKR tapi juga Andi Sudirman Sulaiman (ASS) sebagai salah satu peserta pilkada Gubernur Sulsel yang hadir dalam agenda tersebut, (detikcom, 18/10). Keduanya kini diduga melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.4 Tahun 2017 tentang Kampanye dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Kasus ini tentu saja bukan kejadian tunggal, selama sebulan kampanye pemilihan umum kepala daerah berlangsung, Bawaslu Provinsi Jawa Timur bersama dengan pengawas pemilu di 38 Kabupaten/Kota mencatat pelanggaran ratusan Alat Peraga Kampanye (APK) hingga ratusan pelanggaran kampanye baik yang berasal dari aduan masyarakat maupun hasil temuan sendiri (RRI.co.id, 29/10). Jumlah tersebut tentu saja masih kecil dibandingkan pelanggaran lainnya yang belum dilaporkan atau ditemukan. Dan banyaknya pelanggaran kampanye, menunjukkan pragmatisme politik yang begitu kental dilakoni oleh para petarung pilkada.

Penegakan hukum yang tidak membuat jera semakin mengkondisikan pelanggaran kampanye pun berulang. Padahal ketika dicermati lebih dalam, pelanggaran inilah yang menjadi pintu korupnya pejabat yang terpilih. Semisal money politik yang marak dilakukan para calon kepala daerah kepada konstituennya. Jika praktik pembagian uang dan bingkisan ini tidak ditindak oleh Bawaslu, maka sudah tentu para calon akan habis-habisan. Pejabat yang terpilih berpotensi lebih besar melakukan tindak korupsi untuk mengembalikan dana kampanye yang telah digelontorkan sebelumnya. Pun jika tidak korupsi, ia akan menjadi pejabat yang tersandera oleh oligarki, pihak yang telah mendanainya kampanyenya. Rakyat yang pragmatis menjadi variabel pelengkapnya. Suaranya sekadar dibeli, maka wajar kebijakan setelahnya tidak sama sekali mewakili rakyat.

Demokrasi Culas, Islam Penawarnya

Mahalnya demokrasi semakin terlihat dari jumlah gelontoran dana politik yang fantastis. Lembaga Prajna Research Indonesia (2023) melakukan riset tentang biaya minimal pencalonan caleg. Didapati setidaknya seorang caleg membutuhkan dana ratusan hingga miliaran rupiah. Untuk memangku jabatan DPRD kabupaten/kota saja dibutuhkan biaya Rp250 juta hingga Rp300 juta. Sementara setingkat di atasnya yakni DPRD Provinsi membutuhkan biaya Rp500 hingga Rp1 miliar dan DPRD RI membutuhkan dana dua kali lipat. Begitu pula biaya pencalonan presiden dan wakil presiden yang sanggup menelan biaya ratusan miliar rupiah. Tak ayal, berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD.

Praktik pragmatisme politik yang menjadikan pejabat menghalalkan segala cara dalam memenangkan pilkada adalah bagian dari wajah culas demokrasi yang lahir dari pandangan hidup sekulerisme. Sekulerisme adalah pandangan hidup yang menjauhkan prinsip dan aturan agama dari kehidupan. Agama hanya berperan di ruang privat antara seorang hamba dan Tuhannya, tidak perlulah agama mengatur ruang publik. Akibatnya manusia tidak lagi memiliki rasa takut kepada pencipta. Jika sudah demikian maka wajar kerusakan yang lebih besar lainnya akan mudah diperbuat, toh Yang maha Kuasa saja diabaikan apalagi sesama manusia yang serba lemah. 

Penerapan sekulerisme telah nyata membawa kerusakan di setiap sendi kehidupan rakyat. Khususnya dalam bidang politik pemerintahan, sekulerisme melahirkan politik pragmatis ala demokrasi. Semboyan demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat berganti menjadi dari rakyat oleh oligarki untuk oligarki. Meski demikian demokrasi masih menjadi narasi kebenaran tunggal yang tabu untuk digugat. Padahal terdapat Islam yang menjadi tandingan demokrasi secara diametral. Islam yang dimaksud di sini bukan tataran agama yang hanya mengurus ibadah penganutnya semata, tapi Islam sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, Islam Kaffah.

Nah, dalam tataran yang Kaffah inilah Islam memberikan tuntunan dalam memilih pemimpin. Berbeda dengan Suksesi pemimpin ala demokrasi, dalam Islam pemilihan pemimpin berlangsung dalam waktu yang singkat yakni selama tiga hari saja. Hal ini merujuk kepada ijmak sahabat saat pemilihan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq ra. yang menggantikan Rasulullah saw. setelah wafat. Waktu yang singkat dan proses yang ringkas ini tentu tidak memakan biaya yang besar sehingga pemilihan pemimpin dalam Islam berlangsung efisien dan efektif.

Perlu diketahui pula, pemilihan pemimpin pun bukan kegiatan yang berulang setiap lima tahun lantaran seorang Khalifah menjabat tanpa batasan waktu. Ia hanya akan diberhentikan dari kepemimpinannya jika meninggal atau terbukti melanggar aturan Islam selama menjalankan tugasnya. Untuk menjamin kualitas pemimpin, Para calon yang ikut mesti diseleksi berdasarkan syarat In’iqad pencalonan Khalifah. Dari beberapa calon kemudian dikerucutkan menjadi enam orang, kemudian dikerucutkan lagi hingga tersisa dua orang calon saja. Berdasarkan hal ini, suksesi pemimpin dalam Islam tidak menjadi momok yang menyita waktu, tenaga dan sumber daya secara berkala. Negara tidak perlu membuang-buang uang rakyat membiayai penyelenggaraan pemilihan sehingga lebih fokus memenuhi kebutuhan rakyat.

Sementara itu pemilihan Kepala Daerah tidak perlu dilakukan, lantaran kedudukannya sebagai pembantu Khalifah maka mereka pun ditunjuk langsung oleh Khalifah terpilih. Penunjukan langsung ini semakin menambah keringkasan suksesi pemimpin dalam sistem Islam. Dan yang lebih penting, prosesi ini dilakukan sebagai ketaatan kepada Allah sehingga jauh dari praktik suap dan pelanggaran lainnya. Inilah keunggulan suksesi pemimpin dalam Islam, Efektif dan efisien serta kualitas kepemimpinan para pejabatnya pun lebih terjamin. 

Wallahu ‘alam.