Tebang Pilih Penegakan Hukum bagi Koruptor
Oleh : Dinda Kusuma WT
Korupsi masih menjadi isu di Indonesia dan merupakan masalah besar yang menghambat kemajuan negara. Hampir di tiap periode pemerintahan baru, janji pemberantasan korupsi dijadikan delusi yang digaungkan ditengah masyarakat. Delusi, sebab janji demi janji nyatanya tidak pernah terwujud. Tak peduli siapa penguasanya, korupsi terus merajalela dan makin masif dari tahun ke tahun.
Tidak ketinggalan, presiden periode 2024-2029 yang baru saja dilantik, Prabowo Subianto juga menjadikan pemberantasan korupsi sebagai program andalan selama periode pemerintahannya. Namun sekali lagi, mulai tampak program tersebut hanya basa-basi yang tidak mungkin terealisasi.
Buktinya, tebang pilih kasus korupsi mulai terlihat. Baru saja, pada akhir Oktober 2024 lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015. Tersangka tersebut adalah mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (TTL), dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial CS (Kompas.com, 30/10/2024). Kasus yang temponya telah berlalu hampir sepuluh tahun itu dikuliti sedemikian rupa.
Disisi lain, mengenai kasus Gibran, yang kini menjabat wakil presiden, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan, penggunaan jet pribadi oleh putra Presiden Ke-7 RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep ke Amerika Serikat, bukan termasuk penerimaan gratifikasi. Padahal jelas, secara hukum, fasilitas tersebut merupakan gratifikasi apabila penyedia tidak bisa memberikan hal yang sama kepada anak muda rakyat Indonesia lainnya. Kuat dugaan, telah terjadi tebang pilih hukum dengan alasan Gibran adalah anak presiden Jokowi.
Beberapa hal yang perlu dicermati dalam ironi penegakan hukum ini. Salah satunya, munculnya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi tidak lain karena tidak adanya kepastian hukum. Undang -undang yang dijadikan sumber jukum di Indonesia sering kali memiliki makna yang multitafsir, mudah dibengkokkan dan dipelintir sesuai kebutuhan. Tentunya, kebutuhan orang yang lebih berkuasa dan lebih kaya.
Sungguh mengerikan, apabila hukum dibuat oleh manusia. Kehancuran dan kesengsaraan tidak bisa dihindari. Inilah yang terjadi saat ini, ketika demokrasi diterapkan, hukum dirancang dan ditetapkan oleh sekelompok orang. Semua yang ditetapkan hanya demi kepentingan diri dan kelompoknya saja, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi rakyat.
Bisa dikatakan, korupsi adalah faktor utama terpuruknya sebuah negara termasuk Indonesia. Sistem demokrasi memberi celah besar bagi para penguasa untuk terus memperkokoh kekuasaannya. Demokrasi kapitalis bagaikan lingkaran hitam yang sulit ditembus.
Kebobrokan semacam ini tidak akan terjadi apabila kita menerapkan sistem Islam. Sistem yang sempurna dan lengkap, yang seluruh aturannya berasal dari Allah SWT sehingga tidak mudah diotak-atik oleh manusia untuk kepentingan pribadinya. Sistem Islam bertumpu pada akidah, sehingga para pejabatnya akan mengemban amanah atas dasar keimanan dan rasa takut kepada Allah SWT. Melahirkan pemimpin yang benar-benar mengayomi seluruh rakyat dan tidak mementingkan diri sendiri.
Banyak riwayat menceritakan bagaimana sederhananya kehidupan para pemimpin dan pejabat pemerintahan Islam. Abu Bakar as-Siddiq, pemimpin (khalifah) pertama umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW, sebelum masuk Islam dan menjadi khalifah adalah saudagar sukses. Setelah beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, dia rela membelanjakan seluruh hartanya demi syiar Islam. Selama kepemimpinannya, ia tidak pernah menerima gaji, sebaliknya ia menghabiskan hartanya demi kepentingan seluruh rakyat.
Demikian pula khalifah kedua, Umar Bin Khattab. Beliaulah satu-satunya khalifah, amirul mukminin, yang mempunyai jubah hanya dua buah, bahkan jubah yang satunya adalah milik anaknya. Umar bin Khattab pernah terlambat saat shalat Jumat, beliau naik mimbar untuk khutbah namun meminta maaf sebelumnya karena ia harus menunggu bajunya kering. Masih ada ribuan kisah tentang keteladanan pemimpin Islam yang sudah sulit kita temui pada era sekarang.
Islam bukan sekedar agama yang mengatur peribadatan manusia kepada tuhannya. Melainkan ideologi yang memiliki seperangkat aturan terperinci bagi manusia, baik dari hal terkecil hingga hal terbesar yaitu pengaturan negara. Tujuan politik dan mengangkat pemimpin dalam Islam adalah untuk menjaga kemurnian agama dan mengatur dunia untuk kemaslahatan umat.
Memimpin dan mengelola negara murni demi kepentingan rakyat tanpa ada tendensi demi kepentingan pribadi dan golongan tidak akan terwujud kecuali dilandasi rasa takut dan taat kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, kesejahteraan hakiki yang diimpikan seluruh manusia tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi kapitalis. Semua itu hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang amanah. Dengan diterapkannya sistem Islam yang rahmatan lil alamin, keberkahan akan turun dari langit dan bumi bagi seluruh umat manusia.
Wallahu a’lam bishshawab.
Posting Komentar