Zilenial, Pendongkrak Suara Pilkada?
Oleh : Dewi Maghfirah (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Gen Z belakangan ini mulai menunjukkan peranan pentingnya dalam tatanan dunia, setelah sebelumnya generasi millenial yang mendominasi. Tahun ini, zilenial dengan rentang usia 11-26 tahun menampilkan eksistensinya di berbagai bidang, termasuk di bidang politik. Gen Z memang terdeteksi memiliki kesadaran politik lebih rendah jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi millenial. Bahkan mereka cenderung cuek terhadap perkembangan politik di dunia, termasuk di negaranya sendiri. Hal ini karena menurut mereka politik adalah perkara yang rumit dan penuh dengan gimmick. Tapi sekalipun demikian, masih ada di antara mereka yang tertarik untuk membahas politik. Sebagaimana hasil survey yang dilakukan oleh program analytic fellowship Maverick Indonesia yang menunjukan 24% dari 722 responden Gen-Z di Jabotabek, Bandung, dan Yogyakarta mencari berita sosial-politik (Mediasulsel.com 24/10/2024)
Membahas tentang Gen-Z dan politik, saat ini bisa kita lihat 2 sosok anak muda yang cukup menarik perhatian masyarakat, yaitu Gibran, sebagai wakil presiden terpilih periode 2024-2028 dan Keasang sebagai ketua umum terpilih partai PSI. Keduanya mewakili millenial dan Gen Z yang turut terjun, bahkan secara langsung dalam kontestasi kepemimpinan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa anak muda memang memiliki potensi yang lebih dibanding usia diatasnya. Ditambah dengan faktor bonus demografi yang akan dihadapi oleh negeri ini, menjadikan generasi millenial dan zillenial sebagai sasaran objek politik dalam menyambut pilkada serentak 2024 pada 27 November mendatang.
Menurut Kadiv Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Jawa Tengah, Akmaliyah, jumlah populasi pemilih pemula dan pemilih muda berada di angka 52%, ini menunjukkan angka yang cukup besar, yang berarti lebih dari setengah jumlah penduduk adalah pemilih pemula dan pemilih muda. Sehingga KPU Jateng merasa perlu bekerjasama dengan para anak muda untuk kesuksesan Pilkada serentak 2024. Demi menjaring partisipasi dari pemuda, KPU Jateng bahkan mengadakan program Goes to Campus di unsoed yang dimeriahkan dengan debat antar kampus, live music, dan pemberdayaan UMKM (RRI.co.id, 09/10/2024).
Tidak hanya pihak KPU yang berusaha mengedukasi pemilih pemula dan pemilih muda, para calon kepala daerah pun mengadakan hal yang serupa. Tri Rismaharini salah satu calon gubernur Jawa Timur juga melakukan pendekatan kepada Gen Z. Seperti yang dikutip oleh laman CNN Indonesia dalam rubrik Nasional (10/10/2024) Risma hadir sebagai pembicara dalam sebuah talkshow bertajuk "Emakkuh Pahlawanku Talk Show bareng Bu Risma". Ia juga menyampaikan sudut pandangnya yang berbeda terhadap anak yang sering kebut-kebutan dalam berkendara menyampaikan, jika pada umumnya hal itu dilihat sebagai kenakalan remaja, maka ini dipandang sebagai potensi yang bisa dilejitkan. Beliau membangunkan sirkuit sebagai wadah mengekspresikan hobi anak tersebut senilai kurang lebih 9 milyar, dan menurut pengakuannya, anak tersebut saat ini sudah menjadi pembalap dan keliling eropa
Sementara itu di Jawa Barat, Debat Publik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang diselenggarakan perdana di UNPAD menjadikan kesehatan mental generasi zillenial sebagai salah satu topik bahasannya. Ronal Surapradja sebagai calon wakil gubernur nomor urut 2 menyampaikan bahwa pihaknya akan membangun kreatif youth space di seluruh daerah Jawa Barat sebagai sarana bagi pemuda untuk menyalurakn energi mereka kepada hal - hal yang bermanfaat. Selain itu akan ada Psikoming (Psikologi Mingguan) yang akan menghadirkan Psikolog di desa - desa untuk melakukan konsultasi psikologi secara gratis sebagai upaya mewujudkan anak muda jawa barat yang sehat jiwa raga, mental dan spiritual (bisnis.com, 11/10/2024)
Melihat kondisi ini, bisa disimpulkan bahwa saat ini nasib bangsa berada di pundak para pemuda. Sehingga egois jika gen Z bersikap acuh tak acuh pada perkembangan politik. Apalagi jika menganggap politik bukanlah urusan mereka. Sementara mereka masih menjerit ketika UKT kampus di indonesia tidak ideal, mahal, bahkan berujung pada banyaknya mahasiswa yang terjerat pinjol karena hal ini.
Padahal Jika mereka mau menyadari mereka akan memahami bahwa itu semua adalah buah dari pergerakan politik. Lantas, bagaiman bisa politik berpengaruh pada sistem pendidikan sebuah negara? Pendidikan adalah kebutuhan pokok, mendasar, yang wajib dipenuhi oleh negara untuk setiap warganya. Saat ini kita hidup dalam naungan negara demokrasi yang menganut sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam sistem ini, segala sesuatu akan dilakukan jika hal itu dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Atas dasar itu maka wajar, pendidikan di dalam sistem kapitalisme ini merupakan sebuah bisnis, bukan sebagai bentuk pertanggung jawaban negara terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya.
Populasi Gen Z dengan segenap potensinya hanya dianggap sebagai aset ekonomi di dalam sistem demokrasi. Bahkan saat pemilihan kepala daerah, Gen Z dipandang tidak lebih dari sekedar penyumbang suara yang mana setelah berhasil menjabat, suara GenZ tidak lagi dibutuhkan. Janji- janji pilkada hanyalah sekedar janji, sebagaimana masa-masa sebelumnya.
Untuk itu jangan sampai potensi besar yang dimiliki oleh pemuda digunakan untuk berjuang di arah perjuangan yang semu. Sebab, demokrasi hanya mengaburkan makna politik yang sesungguhnya, dan membuat dogma - dogma politik yang menipu. Mengatasnamakan rakyat untuk rakyat, padahal nama rakyat hanya dipakai untuk melanggengkan kepentingan segelintir orang dan kelompok yang berkuasa, serta pengusaha yang berada di belakangnya.
Gen Z harus memiliki pemahaman politik yang benar agar perjuangannya tidak dibelokkan untuk kepentingan kalangan tertentu. Di dalam sistem Islam, politik adalah memelihara urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri.Maka bagi seorang muslim, tidak cukup sekedar mempelajari dan mahami politik islam melainkan juga hal ini harus mempelajari, memahami serta menerapkannya dalam kehidupan. Agar Islam tidak sekedar menjadi khasanah ilmu pengetahuan belaka.
Setiap pribadi muslim, terutama kalangan pemuda dengan segala potensinya dituntut sebagai pelaku perubahan (agent of change) yang merubah sistem demokrasi menjadi sistem Islam. Mereka diharapkan menjadi duta-duta Islam yang menyampaikan syiar islam di tengah-tengah umat. Hingga akhirnya membawa perubahan besar yang mendasar, bukan sekedar perubahan semu. Yaitu dengan kembalinya sistem kehidupan islam dalam naungan khilafah.
Posting Komentar