-->

Antrian Panjang Untuk Miliki Rumah Layak


Antrian Panjang Untuk Miliki Rumah Layak
Oleh: Hamnah B. Lin

Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo buka suara soal program penyediaan rumah. Menurut Hashim hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak. Berdasarkan sumber yang sama, Hashim juga menyebut ada sebanyak 27 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. ( Detikfinance, 4/12/2024 )

Telah meluncur lagi kebijakan dzalim seiring ditandatanganinya PP No. 21/2024 yang mengatur tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024 oleh Presiden Jokowi. Betapa tidak, kebijakan ini memaksa setiap pekerja di Indonesia untuk dipotong gajinya sebesar 3% setiap bulan dengan dalih sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan mendasar berupa perumahan.

Pekerja yang menerima gaji minimal setara upah minimal regional (UMR) akan diwajibkan (alias dipaksa) untuk menjadi peserta Tapera.[1] Pemerintah beralasan, dana yang dikumpulkan dari Tapera bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan layak dan terjangkau bagi peserta.

Pemerintah seolah-olah peduli dengan kondisi masyarakat yang belum memiliki rumah, padahal ini menunjukkan ketakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat, khususnya kebutuhan akan perumahan yang layak huni, aman, nyaman, murah, bahkan syar’i bagi rakyat miskin. 

Inilah paradikma berfikir pemerintahan kapitalis yang berupaya mengambil manfaat dalam setiap kesempatan, bahkan dalam kondisi masyarakat sedang sekarat pun. Alih - alih mendapatkan perumahan layak huni dengan segera, faktanya penarikan iuran yang dilakukan terlebih dahulu, dengan memotong gaji telah nyata makin menyengsarakan. Padahal sudah banyak potongan - potongan gaji yang lain mengantri dan menghabiskan gaji.

Hal ini sungguh jauh berbeda dengan Islam, dalam pandangan Islam, rumah adalah kebutuhan primer manusia yang harus terpenuhi. Allah Taala berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu.” (QS Ath-Thalaq: 6).

Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar secara makruf menjadikan seseorang dikategorikan ke dalam kelompok fakir.

Mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar dalam Islam dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, Islam mewajibkan setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah. Laki-laki yang telah balig berkewajiban menanggung nafkah meliputi sandang, pangan, dan papan untuk dirinya sendiri dan keluarganya secara layak (makruf).

Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan, baik dengan membuka lapangan pekerjaan baru, memberikan modal usaha, maupun memberikan akses lahan untuk diolah. Dengan begitu, masyarakat bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Kedua, apabila ada rakyat yang tidak mampu bekerja karena alasan syar’i, sudah menjadi kewajiban keluarganya dengan membantu memberikan tempat tinggal, pakaian, hingga makanan.

Ketiga, jika tahap sebelumnya tidak dapat dilaksanakan, hal itu akan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan kebutuhan dasarnya. Tempat tinggal bisa dibangun dari uang negara dengan mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (baitulmal) dari pos zakat.

Apabila pembiayaan dari pos ini tidak mencukupi, maka dapat diambil dari pos-pos baitulmal yang lainnya. Saat kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara bisa menarik tabaruat (sumbangan sukarela) dari masyarakat atau dharibah (pajak) dari orang kaya. Namun, sifatnya temporer, yakni pungutan dihentikan setelah kebutuhan terpenuhi. Rumah tersebut pun dapat dijual dengan harga terjangkau, disewakan, bahkan diberikan cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan.

Sungguh inilah pengaturan yang manusiawi, hanya berasal dari Syariat Islam yang diterapkan secara kaaffah dalam bingkai khilafah. Turut berjuang untuk tegaknya khilafah adalah langkah nyata menjalankan titah Sang Kuasa.
Allahu a'lam.