Bencana Banjir, Salah Siapa?
Oleh : Iin Indrawati
Tim SAR dari Satuan Brimob Polda Jawa Barat turun langsung melakukan evakuasi korban banjir yang diakibatkan hujan deras di Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Ketinggian air di sana sekitar 50 sentimeter dan lalu lintas dari kedua arah terputus. Bencana banjir itu disebabkan intensitas hujan yang sangat tinggi sehingga mengakibatkan sungai-sungai di sekitar kawasan Dayeuhkolot meluap. Beberapa jalan utama menuju lokasi ikut terendam, sehingga akses evakuasi semakin menantang. (TribunJabar.id, 24/11/2024). Kondisi banjir ini juga menimpa daerah lainnya, seperti di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatera.
Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang banyak. Hal ini karena letak Indonesia yang berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia–Australia dan antara Hindia–Pasifik, yang mengakibatkannya sering terdampak bencana banjir, abrasi, gelombang pasang, puting beliung, kekeringan, hingga kebakaran hutan. Bencana yang paling sering adalah banjir dan tanah longsor. Menurut BNPB, bencana tahun ini mengalami peningkatan 50% dari tahun-tahun sebelumnya.
Kerentanan Indonesia terhadap bencana, terutama banjir dan tanah longsor, terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi akibat hilangnya tutupan hutan karena perubahan tata gunanya. Selain itu juga perubahan iklim serta topografi wilayah Indonesia yang sebagian berada pada lereng yang curam karena berupa daerah perbukitan, gunung, dan sebagainya.
Bencana adalah kondisi yang berada di luar kuasa manusia, namun jika memperhatikan penyebabnya, upaya mitigasi yang dilakukan seharusnya dapat lebih serius, dengan sistem yang benar. Hal ini untuk meminimalisasi dampak dari bencana. Pemerintah sendiri belum melakukan mitigasi secara maksimal, namun lebih mengandalkan pada upaya pascabencana. Itu pun hanya bersifat teknis dan praktis.
Mencermati faktor penyebab tingginya bencana di Indonesia, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh kesalahan pengelolaan lingkungan dan pembangunan. Kesalahan ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi kesalahan paradigma dan konsep pengelolaanannya, misalnya tingginya laju perubahan tata guna hutan. Ini terjadi karena pemberian izin konsesi lahan untuk pertambangan, perkebunan, dan pembangunan kawasan serta infrastruktur lainnya kepada para kapitalis lokal dan global. Eksploitasi masif dengan berizinkan konsesi ini terus menerus terjadi dan meluas walaupun bencana tiap tahunnya terus terjadi.
Belum lagi perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem. Ini adalah akumulasi agenda industrialis kapitalisme yang terjadi di mana-mana, di berbagai sektor kehidupan. Tingginya risiko bencana adalah buah dari penerapan sistem dan konsep pembangunan yang kapitalistik.
Namun, pemerintah sudah merasa cukup hanya dengan langkah dan solusi yang bersifat teknis, di antaranya dengan menyiapkan informasi dan berita kawasan rawan bencana, melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat, serta melakukan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan mengadopsi berbagai teknologi dan inovasi yang canggih dan modern, yang dipandang sebagai langkah yang mampu menjadi solusi dalam mengakhiri bencana. Sementara itu, konsep dan paradigma pembangunan sebagai sumber kerusakannya tidak dievaluasi dan diganti.
Abainya negara yang menganut sistem demokrasi ini disebabkan karena peran pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator serta penjamin terlaksananya berbagai nilai-nilai kebebasan, di antaranya kebebasan berekonomi, dan bukan rahasia lagi, terjadi kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha dalam mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam demi memenuhi ambisi kekuasaan dan kepentingan mereka.
Oleh karena itu, diperlukan sistem mitigasi bencana yang sahih, yang berasal dari Islam. Konsep mitigasi bencana yang sahih itu meniscayakan adanya perubahan sistem dan paradigma yang melandasi tata kelola lingkungan dan konsep pembangunan yang dijalankan.
Tata kelola hutan dan sumber daya alam serta paradigma pembangunan akan ditegakkan di atas sistem politik dan ekonomi Islam yang dijalankan oleh Khilafah. Tujuan dari pelaksanaannya adalah untuk menjalankan syariat serta melakukan pengurusan terhadap urusan umat.
Di dalam konsep pengelolaannya, Islam menetapkan bahwa hutan, tambang, laut, dan sebagainya adalah harta milik umum, sehingga pengelolaannya tidak dibenarkan untuk diberikan kepada individu tertentu dalam bentuk hak konsesi atau izin terhadap pihak lain untuk mengelolanya. Dengan prinsip ini, eksploitasi dan deforestasi yang masif akan bisa diakhiri. Negara bertanggung jawab penuh atas kewenangan yang dimilikinya dalam pengelolaan hutan dan harta milik umum lainnya.
Dalam pengelolaan dan pembangunanan, negara Khilafah juga akan berpijak kepada satu kaidah yang ditetapkan dalam Islam, bahwa pembangunan tidak boleh menciptakan bahaya dan dibahayakan. Artinya, negara harus benar-benar memperhatikan aspek risiko yang akan terjadi ketika dilakukan pembangunan dan eksploitasi SDA.
Tanggung jawab dan pelayanan ini juga menjadi prinsip yang melandasi fungsi dan peran dari institusi teknis negara dalam bidang kehutanan atau pengelolaan SDA lainnya seperti oleh lembaga BUMN, sehingga BUMN di dalam pandangan Islam pun tidak boleh berorientasi keuntungan, namun bertujuan melayani kebutuhan publik.
Negara juga bertanggung jawab memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pemanfaatan dan pengelolaan SDA secara benar. Kemudian, negara harus membebaskan masyarakat dari tekanan kemiskinan, yang menjebak masyarakat dalam aktivitas ekonomi yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan.
Selain itu, penguasa dalam Islam akan menaruh perhatian besar dalam menyediakan fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat. Para pemimpin dalam Islam adalah orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting. Konsep-konsep dan prinsip yang sahih inilah yang akan bisa mengakhiri berbagai kejadian bencana dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.
Begitulah cara Islam dalam menghadapi bencana. Sudah seharusnya negara ini belajar dari konsep Islam dalam memitigasi bencana.
Wallahu a’lam bishshawab.
Posting Komentar