Bencana Di Mana-mana, tetapi Mitigasi Seadanya
Oleh : Arni Suwarni
(Aktivis dakwah)
Beragam bencana alam sering melanda Indonesia termasuk banjir, kekeringan, erupsi gunung, dan tanah longsor. Banjir terjadi di seluruh pulau besar dari Sumatra hingga Papua. Baru-baru ini, Cianjur dan Sukabumi Selatan mengalami banjir besar yang sangat mengkhawatirkan. Terdapat 328 titik bencana termasuk banjir bandang dan tanah longsor di 39 kecamatan. Bencana ini menyebabkan 10 orang tewas dan 2 orang hilang. Sebanyak 892 KK mengungsi, sementara 3.156 KK terdampak langsung.
BNPB mengingatkan seluruh daerah di Indonesia untuk tetap siaga, karena potensi bencana alam masih mengancam akibat peningkatan hujan hingga awal 2025.
Indonesia dikenal sebagai negeri rawan bencana karena letaknya di daerah tropis dengan dua musim. Perubahan cuaca dan suhu yang ekstrem meningkatkan potensi bencana seperti gempa, letusan gunung, longsor, tsunami, banjir, kekeringan, dan kebakaran. Indonesia juga berada di jalur gempa teraktif dunia, dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik dan tiga lempeng benua. Saat ini, terdapat 269 sesar aktif dan 127 gunung api aktif, dengan 69 dalam pengawasan.
Indonesia memiliki tingkat kegempaan yang sangat tinggi, lebih dari 10 kali lipat dibandingkan AS. Dalam risiko tsunami, Indonesia peringkat pertama di dunia, melebihi Jepang, menurut UNISDR. Setiap tahun, BNPB melaporkan ribuan bencana di Indonesia. Dari 1 Januari hingga 10 Desember 2024, tercatat 1.904 peristiwa bencana termasuk 957 banjir, 405 cuaca ekstrem, 118 tanah longsor, 336 kebakaran hutan dan lahan, 54 kekeringan, 17 gempa bumi, 12 gelombang pasang dan aberasi, serta 5 erupsi gunung berapi. Bencana-bencana tersebut berdampak besar bagi masyarakat dengan lebih dari 5,5 juta orang mengungsi, 444 meninggal, 62 hilang, dan 1.130 terluka. Ratusan ribu bangunan rusak, termasuk 54.605 rumah dan 943 fasilitas umum. Dengan demikian, kerugian ekonomi dan sosial sangat besar dan sulit diukur. Sementara itu, dampak bencana dari tahun-tahun sebelumnya belum sepenuhnya pulih, dan diperkirakan bencana serupa akan meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Mitigasi Seadanya
Fakta-fakta di atas mengharuskan semua pihak terutama pemimpin, untuk siap menghadapi bencana. Namun, pemerintah sering kali lambat merespons, bahkan terkadang kalah cepat dibanding LSM, ormas, atau masyarakat biasa. Bahkan tak jarang ketika mereka turun ke lapangan, hanya untuk membangun citra dan terkesan seremonial. Setiap bencana sering memicu perdebatan tentang peran negara. Bantuan sering terlambat karena alasan lokasi yang sulit dijangkau dan respons darurat biasanya lambat serta tidak memadai, menunjukkan perlunya perbaikan dalam penanganan bencana. Mitigasi pasca bencana sangat penting terutama untuk bencana yang memerlukan penanganan berkelanjutan. Contohnya, dampak banjir bandang dan lahar dingin di Gunung Merapi serta banjir dan tanah longsor di Kabupaten Luwu menunjukkan bahwa pemulihan dari gempa Cianjur 2022 yang menewaskan 334 orang masih belum sepenuhnya selesai. Meningkatnya jumlah titik kejadian dan korban bencana menunjukkan bahwa mitigasi tidak berjalan efektif. Masyarakat sering mengatasi masalah secara mandiri, sementara pemerintah memberikan bantuan yang minim dan terhambat masalah dana. Hal ini membuat masyarakat enggan berharap banyak pada pemimpin mereka, karena merasa negara tidak konsisten dalam memberikan dukungan.
Paradigma pembangunan sekular kapitalistik yang kuat membuat para pemimpin kurang peka dan tidak memiliki niat serius untuk menangani masalah bencana dari sumbernya. Banyak kebijakan yang diambil oleh penguasa justru berkontribusi pada timbulnya bencana dan berpotensi menciptakan bencana baru. Analisis bencana sering mengarah pada kebijakan penguasa, seperti penggundulan hutan dan alih fungsi lahan di zona penyangga. Temuan Walhi 2022 menunjukkan 35% hutan kita rusak atau hilang. Proyek industrialisasi dan pembangunan fisik yang berlebihan juga terhambat oleh kepentingan pemilik modal. Aktivis lingkungan mengkritik kebijakan AMDAL yang longgar, di mana pelaku usaha besar sering beroperasi tanpa izin dan lolos dari sanksi meskipun melanggar aturan. Kolusi antara kapitalis dan pejabat pemerintah masih umum di Indonesia.
Dalam hal mitigasi bencana, masyarakat sering kali menjadi pihak yang disalahkan. Mereka dianggap minim pengetahuan, enggan direlokasi, atau tidak bisa diatur. Padahal semua itu berkaitan dengan kemauan politik penguasa. Ketersediaan data, informasi, teknologi, fasilitas umum, dan alat penunjang adalah tanggung jawab pemerintah. Mereka khawatir tentang tempat tinggal dan kehidupan baru jika meninggalkan kampung halaman. Sementara penguasa hanya menuntut tanpa memberikan solusi. Oleh karena itu, wajar jika kepercayaan masyarakat terhadap penguasa makin menurun.
Dalam konteks bencana, pemimpin seharusnya segera mengambil langkah pencegahan untuk melindungi masyarakat dari risiko. Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah menerapkan kebijakan yang ramah lingkungan dan menghindari tindakan yang dapat mendatangkan murka Allah Taala. Sebagaimana firman-Nya :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar-Rum: 41).
Dari paradigma ruhiyah ini, semua kebijakan penguasa harus berlandaskan syariat Islam, bukan kepentingan pribadi atau golongan, termasuk kepentingan pemodal. Islam mengatur semua aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, sanksi, dan pertahanan. Islam juga mengajarkan bahwa bencana adalah ketetapan Allah SWT, dan bisa terjadi kapan saja sebagai ujian bagi manusia. Namun, Islam juga memberikan panduan untuk menghindari dan menghadapi bencana, termasuk dalam hal mitigasi.
Mitigasi secara umum didefinisikan sebagai serangkaian tindakan untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun peningkatan kesadaran dan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Dalam sistem Islam, seorang pemimpin akan merumuskan kebijakan khusus yang mencakup pengaturan lingkungan, strategi politik ekonomi untuk kesejahteraan individu, serta sistem keuangan dan sanksi untuk mencegah pelanggaran. Di daerah rawan bencana diperlukan kebijakan khusus yang mencakup mitigasi risiko, manajemen kebencanaan, pendidikan, infrastruktur, sistem peringatan dini, dan penanganan bencana yang terintegrasi, termasuk logistik darurat dan sistem kesehatan. Semua ini penting dilakukan berkat sistem keuangan Islam yang kuat. Pendapatan negara terutama dari pengelolaan sumber daya alam, cukup besar dan wajib masuk ke kas negara. Dengan demikian, masalah dana tidak akan menjadi hambatan dalam mitigasi bencana dan tidak akan memberi peluang bagi pihak asing untuk memengaruhi melalui utang atau bantuan.
Mewujudkan kondisi ideal seperti ini memang akan sulit dalam sistem yang ada saat ini. Paradigma kapitalisme sekular neoliberal telah menjadikan kepemimpinan berfokus pada kepentingan pemilik modal, bukan pada tuntunan agama (Islam).
Alih-alih melindungi rakyat dari kebinasaan, kekuasaan oligarki justru menjadi penyebab bencana berkepanjangan. Jika ada tindakan untuk rakyat, biasanya didasarkan pada perhitungan keuntungan. Hanya kepemimpinan Islam yang dapat menyelesaikan masalah bencana secara mendasar, dengan fondasi tauhidullah dan penerapan syariat Islam yang menyeluruh, sehingga membuka jalan bagi rida Allah SWT.
Oleh karena itu, saatnya umat segera mewujudkan kepemimpinan Islam melalui dakwah yang menjelaskan akidah dan hukum Islam secara komprehensif. Harapannya, umat memahami bahwa Islam adalah solusi untuk semua permasalahan kehidupan dan jalan keselamatan dari bencana dunia dan akhirat.
Wallahu A'lam bish shawab
Posting Komentar