Dua Bidan di Yogyakarta Jual Hingga 66 Bayi Adalah Kesalahan Sistemik
Oleh : Lia Asani
Dua orang bidan berinisial JE (44) dan DM (77) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan bayi di Yogyakarta. Praktik penjualan bayi dua bidan tersebut, telah berlangsung sejak tahun 2010. Selama belasan tahun, mereka berhasil menjual total 66 bayi dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp50 juta hingga Rp85 juta per bayi. (Tribunnews.com)
Hal yang menjadi perhatian dalam kasus ini adalah bisa berjalan dalam kurun waktu yang lama dan tidak adanya laporan hukum hingga belasan tahun, membuktikan bahwa praktik ilegal tersebut telah disetujui oleh masing-masing orang tua bayi.
Tidak ada orang tua normal atau pasangan sah yang tidak ingin merawat anak kandungnya sendiri selain dari bayi-bayi tersebut memang tidak diinginkan kehadirannya. Sudah dipastikan kedua bidan tersebut mendapatkannya dengan sukarela dari pasangan yang tidak sah atau hamil diluar pernikahan.
Yang lebih berbahaya, pendapat bahwa praktik ini menjadi pembenaran bagi sebagian masyarakat mengingat banyak kasus pembunuhan atau bayi yang dibuang karena tidak diinginkan, mungkin inilah penyebab kasus-kasus seperti ini menjadi solusi bagi pelaku zina, bahkan simbiosis mutualisme karena dianggap 'lebih baik' daripada dibunuh atau dibuang.
Maka, permasalahan ini tentunya bukan kasus kriminal biasa yang hanya melibatkan orang-orang tertentu, melainkan permasalahan sistemik yang dimana kemaksiatan seperti zina dan pergaulan bebas diperbolehkan oleh negara selagi suka sama suka.
Hal yang akan terjadi ketika maksiat seperti zina marak terjadi didalam masyarakat, tentunya akan menghasilkan banyak permasalahan, salah satunya adalah akan banyak anak lahir diluar pernikahan. Bahkan bisa jadi, kasus dua bidan ini hanya salah satunya, ada kemungkinan banyak kasus yang sama namun tidak terungkap.
Dalam sistem saat ini, menghukum pelaku tanpa melihat sumber masalahnya, seperti memotong ranting pada pohon yang sudah rusak hingga akarnya, tidak akan menghentikan masalah yang sebenarnya. Yang benar, adalah menggantinya dengan akar yang baru, yakni sistemnya.
Didalam daulah islam, sistem pergaulan tentunya punya aturan dan hukum yang jelas, dimana zina tidak boleh dilakukan jika belum ada akad pernikahan, maka ketika aturan itu dilanggar, pelakunya akan dihukum qishas sesuai dengan hukum syariat.
"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin."(Q.S Annur ayat 2)
Adapun yang sudah menikah namun berzina maka akan mendapat hukuman rajam sesuai dengan hadits sahih Bukhari. Jadi, hukum syariat dapat membuat jera bagi pelakunya dan menghindarkan perbuatan maksiat yang akan menimbulkan banyak masalah, seperti merusak nasab dan kasus kriminal lainnya.
Posting Komentar