-->

Gagal Ginjal Anak, Akankah Menjadi KLB?


Oleh : Zahra Prawesti Nugroho

Kasus gagal ginjal akut yang menyerang ratusan anak di Indonesia menjadi alarm bagi negeri ini. Di usia yang seharusnya penuh dengan aktivitas belajar dan bermain, anak-anak ini justru harus menghadapi kondisi kesehatan serius yang mengancam nyawa. Tersiar kabar bahwa kerusakan ginjal mereka diduga dipicu oleh kontaminasi obat dan pola makan yang tidak sehat. Kondisi ini bukan sekadar isu medis, tetapi juga mencerminkan tantangan besar dalam sistem kesehatan, pengawasan obat, serta kebiasaan konsumsi di tengah masyarakat. Kasus ini seharusnya mendorong kita untuk mencari tahu penyebab dan solusi demi keselamatan generasi mendatang.

Dr. Eka Laksmi Hidayati, konsultan neurologi anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), menanggapi kabar banyaknya anak yang menjalani cuci darah di RSCM. Ia menjelaskan bahwa sekitar 60 anak sedang menjalani terapi pengganti ginjal, 30 di antaranya melakukan dialisis (cuci darah), dan sisanya menjalani CAPD (dialisis mandiri). Menurut survei Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ditemukan hematuria dan proteinuria pada urine anak-anak, indikasi awal kerusakan ginjal.

Ketua Umum IDAI, Dr. P. Prim Basarah Yanuarso, menyebut pola makan tidak sehat sebagai penyebab utama, karena banyak anak mengonsumsi makanan manis, cepat saji, tinggi gula, dan bahan kimia. Hal ini bisa terjadi karena pola konsumsi tidak sehat yang tidak lepas dari pola konsumtif dan permisif, dipengaruhi tren kapitalisme-sekularisme yang cenderung mengabaikan kesehatan.

Kini, kejadian gagal ginjal pada anak kembali ditemukan. Di DKI Jakarta, sejumlah anak ditemukan mengalami gagal ginjal. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai bahwa pemerintah perlu menetapkan kondisi ini sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa). (tempo.co, 15-12-2024)

Sistem sekularisme kapitalisme memang mendorong masyarakat untuk mengonsumsi produk tanpa memperhatikan aspek halal dan thayib (baik) karena fokus pada tren dan keuntungan ekonomi. Para produsen hanya mementingkan keuntungan, sedangkan para penguasa negara berlepas tangan dari urusan ini.  Akibatnya, banyak anak terpapar makanan tidak sehat juga obat obatan yang tidak layak konsumsi.

Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan oleh Daulah Islam. Konsumsi masyarakat diatur berdasarkan syariat, dengan standar bahwa makanan harus halal dan thayib. Melalui pendidikan Islam, masyarakat diajarkan untuk memiliki kepribadian Islami dan memastikan produk yang dikonsumsi dan diproduksi sesuai syariat. Daulah Islam juga menetapkan undang-undang tentang produksi makanan dan sanksi bagi pelanggaran syariat, menjaga masyarakat, termasuk anak-anak, dari pola konsumsi yang tidak sehat (konsumtif) dan penyakit akibat pola makan yang salah. 

Daulah Islam akan mampu memastikan masyarakatnya termasuk anak-anak terhindar dari pola konsumsi yang salah dengan begitu anak-anak dapat terhindar dari penyakit gagal ginjal diabetes dan penyakit akibat pola makan yang salah lainnya. Wallahu a'alam bishawab. []